Mohon tunggu...
Yulherina Chaniago
Yulherina Chaniago Mohon Tunggu... Dokter - Pemerhati Jaminan/ Asuransi Kesehatan, Ketua Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia

1. Magister Kesehatan Masyarakat\r\n2. Dokter\r\n3. Dukung Medika Selaras

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Masa Tunggu di Program JKN Tidak Sesuai Prinsip Asuransi Sosial

17 Mei 2015   09:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:54 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Keluhan yang sangat mengemuka saat ini dalam implementasi program JKN adalah diberlakukannya masa tunggu 7 hari sejak peserta terdaftar sebelum dapat menggunakan manfaat program tersebut. Bahkan pernah ada pemberitaan di media cetak, Menko Perekonomian telah menyetujui perpanjangan masa tunggu sampai 1 bulan (30 hari). Tulisan Dr.Dr. Fachmi Idris, M,Kes di media ini tanggal 15 Mei 2015 lalu menuliskan bahwa masa tunggu lazim diterapkan dalam program asuransi social, sebagaimana diterapkan juga di Jepang. Pertimbangan yang digunakan adalah waktu yang diperlukan untuk melakukan verifikasi data kepesertaan dan penyelesaian administrasi di BPJS Kesehatan. Pesan yang tersurat dalam artikel tersebut adalah dorongan agar setiap penduduk Indonesia mengikuti program JKN dengan kesadaran untuk mendapatkan perlindungan sejak sehat, sehingga pendaftaran dilakukan tanpa dikaitkan dengan kebutuhan segera untuk mendapatkan pelayanan.

Asuransi Komersial

Masa tunggu (waiting period) lazim diterapkan dalam polis asuransi komersial untuk menghindari terjadinya seleksi risiko, dengan memberikan batasan waktu sejak tanggal polis berlaku, sampai peserta berhak menggunakan manfaat. Biasanya masa tunggu diberikan untuk pelayanan tertentu yang terjadi tidak mendadak dan terencana. Misalnya, tindakan tonsilektomi (operasi tonsil/ amandel), yang umumnya termasuk tindakan elektif (terencana), namun tindakan operasi apekdektomi (usus buntu) tidak diberlakukan masa tunggu, karena kejadiannya mendadak dan memerlukan penanganan segera.

Disamping masa tunggu untuk penyakit atau tindakan tertentu, ada pula kebijakan untuk jeda antar penyakit yang sama. Manfaat asuransi yang memberikan batasan plafon tertentu untuk setiap perawatan, maka jika ada perawatan dengan kasus yang sama, akan dihitung sebagai 1 kasus berupa akumulasi manfaat, jika perawatan dengan diagnosis yang sama terjadi kurang dari waktu tertentu. Sebaliknya jika dirawat untuk kasus yang sama setelah batas waktu yang ditentukan, akan diperhitungkan sebagai kasus berbeda. Kondisi ini tidak terjadi pada program asuransi menggunakan konsep managed healthcare. Ketentuan tersebut dibuat oleh perusahaan asuransi sebagai bagian dari manajemen risiko, karena kepesertaan asuransi komersial bersifat sukarela, sehingga cakupan kepesertaan sangat terbatas. Kegotongroyongan pada kelompokasuransi komersial dengan jumlah peserta terbatas tersebut, tentu akan kurang leluasa, sehingga perlu dibuat berbagai ketentuan underwriting yang ditujukan untuk menghindari seleksi risiko (yang mengikuti program asuransi hanya orang dengan risiko pasti untuk menggunakan manfaat karena sudah menderita penyakit). Bahkan untuk kepesertaan perorangan di asuransi komersial dibuatkan ketentuan harus melakukan Medical Check Up (MCU) dalam rangka seleksi kepesertaan dan penentuan regulasi underwriting sesuai factor risiko. Sebagaimana diketahui di asuransi komersial berlaku rumus High Risk, High Premium. Jika seseorang sudah memiliki factor risiko akan diberikan tambahan premi, dan jika calon peserta tidak setuju dapat menolak membeli produk asuransi tersebut.

Seluruh ketentuan yang diuraikan diatas, dituliskan dalam polis asuransi, sehingga dapat dibaca oleh pemegang polis, dan wajib dijelaskan secara rinci oleh tenaga pemasaran asuransi. Praktik dilapangan menunjukkan polis asuransi kumpulan yang umumnya berlaku untuk polis perusahaan dengan penerima manfaat karyawan beserta keluarganya, berbagai ketentuan tersebut diabaikan, karena dianggap pembeli sudah memenuhi hukum bilangan besar. Apalagi jika cakupan kepesertaan dalam satu polis sudah lebih dari 10.000 peserta. Berbagai keleluasaan lain untuk polis kumpulan ini juga dalam bentuk peniadaan MCU untuk seluruh peserta, nilai premi bukan berdasarkan kelompok risiko penyakit. Premi umumnya diberikan dalam bentuk kelompok perempuan, laki-laki, dan anak, tanpa perbedaan kelompok umur dan jenis penyakit/ risiko yang dimiliki calon peserta. Kondisi diatas terjadi pada produk asuransi berkonsep indemnity maupun managed healthcare.

Asuransi Sosial

Perbedaan mencolok antara asuransi komersial dan social adalah aspek kepesertaan. Program asuransi social mewajibkan seluruh kelompok tertentu menjaid peserta asuransi. Program JKN adalah asuransi social yang mencakup seluruh penduduk Indonesia, baik yang berada didalam, maupun diluar negeri. Bahkan juga WNA yang bermuim di Indonesia sekurang-kurangnya selama 6 bulan, juga menjadi sasaran program ini. Melihat target peserta yang dimaksudkan dalam undang-undang dan peraturan pelaksanaannya, kepesertaan program JKN sudah sangat memenuhi hukum bilangan besar, karena jumlahnya sudah melebihi 100 juta peserta.

Memperhatikan latar belakang penerapan masa tunggu dan seleksi risiko yang dilakukan oleh asuransi komersial didasarkan atas distribusi risiko tidak merata karena kepesertaan terbatas, maka pemberlakuan masa tunggu dalam program JKN sulit untuk diterima. Kecuali alasan yang digunakan adalah kemampuan layanan administrasi BPJS kesehatan. Keterbatasan kemampuan layanan administrasi kepesertaan, membuat tidak dapat memberikan akses langsung kepada calon peserta untuk segera dapat menggunakan pelayanan, dapat diterima secara logika operasional program asuransi, namun mungkin sulit diterima dalam konteks pelayanan public untuk hak-hak dasar warganegara, apalagi penduduk sudah membayar untuk pelayanan tersebut.

Alasan lain yang menjadi pemikiran penerapan kebijakan masa tunggu 7 hari untuk peserta mandiri tersebut adalah telah terjadi seleksi risiko karena peserta mandiri yang mendaftar ke BPJS Kesehatan “hanya” orang-orang yang sudah memiliki masalah kesehatan, seharusnya tidak diatasi dengan pemberlakukan masa tunggu. Prinsip penting dalam asuransi social adalah antiseleksi, karena kepesertaan bersifat wajib, sakit atau sehat, kuat atau lemah, tua atau muda, mampu atau tidak mampu, wajib menjadi peserta program asuransi social ini. Adapun penggunaan haknya tidak bersifat wajib. Tidak sedikit peserta non PBI yang tidak menggunakan manfaat dengan berbagai alasan, walaupun sudah mengalami gangguan kesehatan karena masih memiliki sumber daya lain seperti jaminan dari perusahaan, asuransi komersial yang dibeli sendiri, atau uang tunai yang tidak ditagihkan ke BPJS Kesehatan. Jika alasan penyebab claim ratio BPJS Kesehatan di tahun 2014 melebihi 100% yang menunjukkan jumlah klaim lebih besar dari iuran diterima, perlu dikaji secara mendalam, apakah memang benar seleksi risiko dipeserta mandiri sebagai penyebabnya.

Penyebab klaim ratio tinggi secara garis besar adalah iuran terlalu kecil karena kesalahan asumsi yang digunakan dalam kalkulasi iuran, atau penggunakan biaya pelayanan kesehatan yang sangat tinggi, melebihi perkiraan sebelumnya. Biaya pelayanan kesehatan yang tinggi juga dapat pula dianalisis, apakah itu terjadi karena risiko alamiah populasi yang dikelola ini memang tinggi, atau pengendalian biaya oleh pengelola yang kurang efektif.

Jika dikatakan asumsi risiko alamiah yang tinggi, mengapa ketika program ini masih dalam bentuk Askes PNS, Jamsostek, TNI/ Polri, Jamkesmas, dan Jamkesda dalam bentuk pengelolaan terpisah semua membukukan realisasi biaya lebih rendah dari iuran yang dikelola. Perhitungan statistic seharusnya menggambarkan risiko alamiah populasi dalam program JKN akan lebih rendah dari risiko program terpisah, sehingga pemerintah memilih menggabungkan seluruh program menjadi JKN dalam bentuk pengelolaan 1 badan melalui BPJS Kesehatan. Sulit untuk diterima dengan logika matematika, karena iuran yang dibayarkan bahkan lebih tinggi dari program pendahulunya, dengan manfaat tidak banyak berbeda. Iur biaya (ekses klaim) yang dibayarkan peserta eks Askes, Jamsostek, dan TNI/ Polri masih terjadi, bahkan tidak jarang lebih besar dari sebelumnya.

Perkiraan lemahnya pengendalian biaya lebih masuk akal, karena saat ini BPJS Kesehatan tidak sepenuhnya mengendalikan risiko, akibat regulasi bentuk dan pola pembiayaan sepenuhnya diatur oleh pemerintah. Ketentuan pasal 24 UU No 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang mengatur besar pembayaran kepada fasilitas kesehatan dilakukan atas dasar kesepakatan antara BPJS dan asosiasi fasilitas kesehatan, tidak berjalan sama sekali, karena telah ditentukan sepihak oleh pemerintah. Akibatnya berbagai dampak terhadap kualitas pelayanan kepada peserta sangat jelas terlihat. Bahkan keengganan RS swasta untuk menjadi mitra BPJS Kesehatan salah satunya karena kelayakan nilai biaya yang ditentukan pemerintah.

Titik lemah pengendalian biaya juga terletak pada sistem INA CBGs, bukan pada konsepnya, tapi pada impelementasinya. Perangkat lunak yang dibeli jadia dari Negara lain, menjadikan hambatan utama BPJS Kesehatan melakukan verifikasi klaim, karena logika grouper yang mengeluarkan kode pembayaran INA CBGs tidak dikuasai dengan baik. Idealnya, pemerintah cukup menentukan pola penerapan pembiayan, sedangkan implementasinya seharusnya sepenuhnya diserahkan kepada risk taker, dalam hal ini BPJS Kesehatan. Sehingga kalau terjadi klaim rasio yang tidak rasional, pertanggungjawabannya akan lebih mudah, karena audit keuangan dan klaim akan lebih mudah dilakukan. Tidak seperti sekarang, kalau ada fasilitas kesehatan yang tidak puas dengan INA CBGs, silahkan protes ke Pemerintah, karena BPJS Kesehatan hanya administrator yang mencatat dan melaksanakan, tidak sebagai pengendali risiko.

Masa tunggu harus dihapus

Memperhatikan uraian diatas, maka pemberlakukan amsa tunggu 7,14 atau 30 hari tidak tepat untuk program asuransi social sebagaimana diterapkan di Indonesia. UUD 45 menjamin hak setiap warganegara untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, dengan atau tanpa membayar biaya pelayanan kesehatan tersebut. Kebijakan masa tunggu bukan solusi untuk pengendalian risiko program JKN, karena letak masalahnya bukan hanya pada aspek seleksi risiko, masih banyak aspek lain yang harus diperbaiki. Jika pemerintah tidak siap menerapkan program JKN, jangan sekali-kali memaksa penduduk untuk mengikuti program tersebut, atau memaksa semua fasilitas melayani peserta program JKN, apalagi dengan ancaman pencabutann izin atau pemidaaan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun