Mohon tunggu...
Donny Anggoro
Donny Anggoro Mohon Tunggu... -

bukan siapa-siapa, hanya seorang yang ingin mempublikasikan gagasan-gagasan kecil ke dalam tulisan yang mungkin berguna

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Film Sebagai Aset Budaya: Menunggu Godot

18 April 2011   15:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:40 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13031523791587155359

[caption id="attachment_103264" align="aligncenter" width="680" caption="Arwah Goyang Karawang a.k.a Arwah Goyang Jupe-Depe, film budaya pura-pura?"][/caption] Sejarah film Indonesia sebenarnya sudah cukup lama. Tapi entah kenapa dari dulu hingga sekarang film Indonesia masih belum dianggap sebagai asset budaya yang penting sehingga selalu “mengabdi” pada “selera” saudagar dalam kerangka “menghibur diri sampai mati” seperti judul buku karangan profesor ahli komunikasi asal New York, Neil Postman. Film konon masih dianggap sebagai barang dagangan sehingga selalu mengandalkan “prominence” (keterkenalan) bintang-bintang yang diraih dari dunia sinetron, iklan, atau model. Dalam sebuah wawancara di tabloid “Kabar Film” edisi 16 Januari 2011 dan sejumlah media massa film, produser ternama Shankar RS tatkala meluncurkan film terbarunya yang dibintangi Julia Perez dan Dewi Perssik selalu mengatakan bahwa filmnya “Arwah Goyang Karawang” (yang kemudian diubah judulnya menjadi “Arwah Goyang Jupee-Depee”) bermaksud mengangkat budaya goyang Karawang yang populer sebagai jaipongan. Singkatnya ia ingin mengatakan filmnya mengangkat budaya lokal yang terpinggirkan, film budayalah! Padahal ketika ditonton film itu benar-benar hanya menjadi kisah horor norak yang sebetulnya “pura-pura” mengangkat budaya lokal dengan menjual sensualitas dan perseteruan dua selebriti kondang Julia perez dan Dewi Perssik! Buntutnya, film tersebut diprotes warga Karawang dan dilarang beredar di sana karena mereka menolak tidak ada budaya Karawang sebetulnya ditampilkan dalam film tersebut. Jadi, kalau produsernya sendiri menganggap filmnya bukan semata barang dagangan dengan dalih “kebudayaan” yang sebenarnya terjadi di Indonesia masih mengulang lagu lama yang diperdengarkan kembali. Memang masih ada film-film seperti “Lost in Papua” (sayang kenapa judulnya harus berbahasa Inggris?), “Tebus”, atau “Rumah Tanpa Jendela” yang masih mengusung sedikit idealisme bukan sekedar barang dagangan melainkan pada asketisme seni yang sebetulnya masih layak diperhitungkan. Memang investasi untuk memproduksi sebuah film layar lebar bukan perkara gampang. Banyak uang dipertaruhkan untuk itu akan tetapi mengapa sangat jarang terpikirkan membuat film atau paling mudah (meski mahal) mengedarkan kembali film-film lama yang sudah tergolong klasik sebagai asset budaya? Sekolah film tak banyak didirikan sehingga masyarakat melulu terpaku hanya pada lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang membuka pendidikan formal film. Ini contohnya pemerintah dan juga pelaku industri film kita yang melulu memerlakukan film sebagai barang dagangan. Keaktoran menjadi sempit dengan hanya memunculkan nama-nama yang itu-itu saja. Atau jika memang ingin menggunakan pemain baru yang honornya bisa dipangkas dengan “harga teman” selalu dari kalangan dunia model saja. Selebihnya yang betul-betul berangkat dari dunia teater hanya menjadi peran pembantu atau yang rada terhormat menjadi “acting coach” (guru akting) saja. Mungkin masih terlampau jauh mengharapkan pemerintah untuk mengarahkan perhatiannya kepada film sebagai asset budaya dengan memberi dukungan membuka berbagai pendidikan formal perfilman atau membantu mengirimkan sineasnya ke festival film internasional. Dan hal itu terus digugurkan dengan berhentinya subsidi untuk Sinematek Indonesia yang dirintis dengan berdarah-darah oleh sineas Misbach Yusa Biran atau turut memproduksi ulang film-film klasik Indonesia yang mewarnai sejarah perfilman Indonesia sehingga khalayak masyarakat pencinta film-film Indonesia mudah mendapatkannya seperti kita mudah mendapatkan koleksi lama film-film bermutu dari Hollywood atau negara lain yang terus menerus diolah dalam bentuk VCD atau DVD. Memang investasi untuk mendaur ulang film-film lama Indonesia terbilang mahal karena melibatkan restorasi gambar dan pengolahan suara yang hanya mampu diolah dengan teknologi canggih. Konon kata seorang kawan yang dulu ingin trejun ke dunia film biayanya sampai tujuh miliar rupiah. Akan tetapi jika tiada yang berpikir ke situ apakah film-film klasik Indonesia yang pernah membuat harum bangsa ini terus menerus hanya mampu dijangkau oleh pencinta dan pelaku seni yang akrab dengan kegiatan kantong-kantong budaya saja seperti baru-baru ini yang diselenggarakan oleh Kineforum-Komite Film Dewan Kesenian Jakarta? Daur ulang film lama adalah salah satu usul untuk mengangkat film sebagai asset budaya yang konon bisa dijual juga sampai ke luar negeri selain membantu memberi kemudahan para sineas dan produser film baru memasarkan filmnya sendiri entah itu di dalam atau ke luar negeri melalui festival film internasional. Banyak negara-negara Asia seperti Korea atau negara lain terangkat keberadaannya melalui film yang diproduksinya sehingga nama-nama sineas asing seperti misalnya Majid Majidi atau Jafar Panahi dari Iran terdengar sampai ke luar negeri. Film-film Indonesia sendiri toh di masa keemasannya sampai ditulis oleh pengamat film Pete Tombs dalam bukunya“Mondo Macabre” (Titan Books, 1997) yang menulis film-film Indonesia sebagai kajian budaya (kali ini tertuju khususnya pada film horor dan laga Indonesia) yang terbentang dari Brasil, Hongkong, Meksiko, Argentina, sampai Jepang. Kenapa Indonesia tidak? Bukankah sebenarnya dalam sejarahnya yang panjang film-film Indonesia toh sebenarnya mampu pula memancing minat untuk diteliti sebagai kajian budaya? Sungguhlah masygul kalau sikap penggiat kesenian kita juga pemerintah dalam dunia film justru masih membekukannya lantaran hanya berpikir dalam jangka pendek, sehingga hasilnya selalu menjadi realitas tunggal yang umum. Pasar bebas sebenarnya sudah memberi banyak kesempatan, hanya ia masih saja dianggap sempit dalam arti selalu mengulang pemahaman stereotip yang klise. Pertanyaan mengusik, sampai kapan film Indonesia akan dianggap sebagai asset budaya? Apakah sama saja dengan menunggu Godot?* Rawamangun, April 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun