Mohon tunggu...
Doni Mubarok Ramdani
Doni Mubarok Ramdani Mohon Tunggu... -

Mahasiswa UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA Angkatan tahun 2011

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pulang Malu Gak Pulang Rindu

22 September 2012   01:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:01 1468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Disaat sekarang ini banyak orang-orang merantau kesana kemari dengan keinginan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Tetapi tidak lah mudah untuk kita hidup di tanah orang lain, apalagi di kota kota metropolitan atau kota kota besar megapolitan seperti ibukota Indonesia yaitu Jakarta. Nasib merantau tentunya dipertaruhkan dalam menghadapi kerasnya di kota metropolitan atau megapolitan seperti Jakarta. Kepadatan penduduk dan kemacetan serta sedikitnya lapangan pekerjaaan itulah menjadi hambatan bagi orang-orang yang singgah di Jakarta. Bukan hanya untuk mencari pekerjaan yang sulit, tetapi untuk mencari tempat tinggal pun malah akan lebih sulit karena merebahnya tingkat penduduk di Jakarta tersebut. Maka dari pada itu, hanya orang yang memiliki tekad tinggi yang dapat mampu bertahan di kota Jakarta. Para perantau yang dapat mampu bertahan adalah orang yang sabar dan kuat terhadap rintangan serta resiko yang akan menimpanya jika memaksa tinggal dan bekerja di Kota besar. Jika bercerita tentang seorang perantau, sekilas teringat pada seorang perantau dari Jawa yang merantau seorang diri di kota megapolitan yaitu kota Jakarta, lelaki itu bernama Beny, berusia 50 tahun, dan telah memiliki keluarga yang tinggal di Jawa. Beny di Jakarta telah sepuluh tahunan merantau dan mencari nafkah di Jakarta. Dia bukan bekerja kantoran, kuli, ataupun pedagang, melainkan Pak Beny ini bekerja sebagai tukang keliling Patri Panci serta alat dapur lainnya. Seiring dengan jaman modernisasi, tentunya pekerjaan ini telah jarang ditemukan. Tak dapat dipungkiri, bahwasannya Pak Beny ini menekuni pekerjaan tersebut. Walau sangat sulit melakoni pekerjaan ini, Pak Beny tetap Tabah dalam menjalani pekerjaannya. Dengan jalan kaki berkeliling melewati kampung demi kampung, dengan menjalani pekerjaan seperti ini Pak Beny dapat menempuh jarak 40 kilo meter setiap harinya. Sejauh Pak Beny melangkahkan kaki serta sambil memikul alat-alat kerjanya yang beratnya kira-kira lima belas Kilo , Pak Beny terus erpijak mencari nafkah. Dengan jauhnya jarak yang ditempuh Pak Beny , Setiap harinya terkadang ada beberapa ibu rumah tangga yang berusaha memperbaiki panic atau alat-alat dapur lainnya ke Pak Beny, dan terkadang juga dalam pencarian nafkahnya tidak ada satu pun konsumen yang menggunakan jasanya. Di Jakarta Pak Beny tinggal di kontrakan rumah petak, dia tidak tinggal sendiri tetapi ada beberapa teman-temannya dari luar kota yang juga sama menjalani pekerjaan sebagai Tukang Patri namun mereka berasal dari luar Jawa. Sudah beberapa tahun ini Pak Beny tidak pernah pulang ke Kampung halamannya, setiap pendapatan yang dihasilkan Pak Beny selalu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di Jakarta seperti untuk makan, rokok, dan sebagainya. Sempat terbersit dipikirannya untuk pulang kampong sekedar bertemu sanak saudara namun apadanya Pak Beny tak memiliki cukup uang untuk pulang, Sehingga rindu terhadap anak, istri serta sanak saudara yang lain tersimpan dalam hati. Dengan keadaan seperti ini , Pak Beny juga menyadari bahwa untuk kehidupan sehari-hari saja sudah susah atau sekedar cukup untk dirinya sendiri, sehingga untuk pulang kampong serasa hanya ada tersimpan dalam hatinya. Dengan ketabahan serta Kesabaran Pak Beny, Dia tetap bersemangat untuk melalkukan pekerjaannya dan memotivasi dirinya sendiri untuk lebih giat lagi untuk melakukan pekerjaannya agar mendapatkan pendapatan yang lebih besar lagi di hari – hari kedepannya. Kemudian di hari selanjutnya Pak Beny mendapatkan sedikit keuntungan yang cukup lumayan yang didapat melalui banyaknya para ibu rumah tangga yang menggunakan jasa patrinya untuk membenahi pancinya. Dengan uang yang telah di dapat, ia sedikit demi sedikit mengumpulkan uang untuk merealisasikan rencanya yang telah lama tersimpan untuk pulang ke kampung halaman. Ketika menghitung uang yang didapatnya yang dirasa tidak terlalu banyak yang jika digunakan untuk pulang kampong masih dirasa kurang. Uang yang telah didapat hanya cukup untuk sekedar ongkos pulang kampung saja. Sehingga uang untuk keluarga tidak ada. Keesokan harinya Pak Beni ini sempat bergurau: “ Pulang Malu Gak Punya Duit, Tapi Gak Pulang Tersimpan Rindu “. Walau begitu Pak Beny tetap mensyukuri apa hasil yang telah didapatkannya. Gurauan itu ditanggapina dengan penuh senyuman..:) . Bukan hanya Pak Beny saja, para perantau lainnya juga merasakan hal seperti itu: “ Pulang Malu Gak Pulang Rindu “. Kata – kata seperti itu pasti muncul dibenak para perantau. Dengan lamanya bekerja di tanah orang lain, pasti merasakan kerinduan di kampung halamannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun