Mohon tunggu...
Teguh Sunaryo
Teguh Sunaryo Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pemerhati Pendidikan Berbasis Bakat (Tinggal di Yogyakarta)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Empat Model Kecurangan Pilpres

5 Agustus 2014   14:20 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:23 1856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setidaknya ada empat model kecurangan suatu pilpres pada suatu Negara yang menganut sistem demokrasi one man one vote antara lain (1) Money Politics (2) Moral Politics (3) Material Politics (4) Metoda Politics. Keempat model kecurangan tersebut bisa dikurangi dengan tiga langkah manajerial antara lain : (1) Pembenahan kualitas SDM yakni berupa peningkatan kecerdasan rakyat dan kejujuran saksi serta panitia (2) Pembenahan sistem demokrasi yakni mengutamakan transparansi dan penggunaan kalimat UU yang tegas dan tidak ambigu (tidak multitafsir) (3) Pembenahan fasilitas yakni mengoptimalkan teknologi informasi dan profesionalitas para saksi “dan” panitia pemilihan. Adapun keempat kecurangan pilpres yang mungkin terjadi sebagai berikut:

1. Money Politics

Demokrasi “one man one vote” adalah suatu sistem yang menghargai suara seseorang “adalah sama”, tidak pandang jabatan, kepandaian, keimanan dan tingkat kekayaan. Dampaknya adalah, (1) jika pada suatu Negara masih banyak (mayoritas) orang bodoh daripada orang cerdas maka suara mereka (orang bodoh) akan mendominasi, (2) jika masih banyak (mayoritas) orang miskin daripada orang kaya maka suara mereka (orang miskin) akan mendominasi, (3) jika masih banyak (mayoritas) kelompok abangan daripada kelompok hijau maka suara mereka (kelompok abangan) akan mendominasi. Jika orang bodoh, orang miskin dan kelompok abangan masih mendominasi maka kondisi ini bisa dimanfaatkan oleh orang-orang kaya (pemilik modal) untuk membayar (membeli) suara mereka dengan money politics.

Money politics bisa ditujukan pada pemilih yang bodoh dan miskin, pada para saksi, para panitia dan pada para penguasa sekalipun. Uang menjadi sangat menentukan ketika rakyat masih didominasi oleh mayoritas pemilih bodoh (tuna-ilmu), pemilih miskin (tuna-harta) dan pemilih abangan (tuna-agama). Ketika jumlah kelompok “abangan” (nasionalis) lebih besar (mayoritas) daripada jumlah “santri” (alumni pondok pesantren) maka kelompok abangan akan memenangkannya. Suara kiai hanya didengar oleh mayoritas santrinya, apalagi jika para kiai terpecah-pecah ini menambah sulitnya kelompok “hijau” menjadi pemenang (bahkan sebagian santri mulai berani menggugat petuah kiainya), dan (maka) menjadikan lebih mudah money politics untuk bermain dan menjadi penentu atas suatu kemenangan dalam pilpres. Jangan salahkan uang dan pemilik uang jika system demokrasi masih seperti ini dan tidak ada perubahan yang sangat berarti. Serahkan semua pada ahlinya, jika tidak maka dunia akan hancur.

2. Moral Politics

Moral dari para pemilih, para saksi, para panitia, para tim sukses, dan para oknum yang sedang punya kekuasaan di semua jenjang seperti di tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, propinsi dan nasional. Mereka siap melakukan segala cara agar jagoannya (capresnya) menjadi pemenang, bahkan menghalalkan hal yang sebenarnya bathil dan zalim. Hukum Tuhan tidak lagi dihiraukan terlebih hukum Negara. Hukum Negara lebih mudah dilanggar oleh oknum yang sedang berkuasa.

3. Material Politics :

Membuat kartu suara palsu. Caranya, kartu suara palsu-lah yang dibagikan ke masyarakat di TPS-TPS. Setelah kartu suara palsu dicoblos oleh pemilih asli maka berikutnya kartu suara palsu itu ditukar dengan kartu suara yang asli yang sudah dicoblosi oleh oknum panitia untuk dibawa ke panitia pada level berikutnya. Pengadaan kartu suara palsu bisa dilakukan oleh oknum panitia di tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Propinsi atau bahkan oleh oknum di tingkat Nasional.

4. Motoda Politics

(a) Menaikkan angka capres idaman dengan cara mengoptimalkan (mencobloskan) kartu suara yang utuh dari orang yang tidak datang mencoblos dan atau dengan sengaja Golput. (b) Menurunkan angka rival politik dengan cara merusak (mencoblos semua gambar) kartu suara rival yang sudah dicoblos oleh pendukungnya.

Renungan dan Pertanyaan :

(1) Apakah setiap partai sudah punya saksi yang professional? Apakah para caleg dari setiap partai bersedia dan bersungguh-sungguh mau menjadi saksi pada semua tahapan pilpres? (2) Apakah penyelenggara pemilu memiliki personil panitia yang professional dan dibayar secara memadai? (3) Apakah mayoritas rakyat sudah bisa diajak berpikir tentang konsep kebangsaan, jika mereka saja berpikir konsep keluarga masih carut-marut? (4) Apakah organisasi partai politik didirikan dan dikelola secara profesional atau sosial belaka atau masih serabutan? (5) Siapa yang memiliki kewajiban melakukan pendidikan politik di negeri ini? Dan apakah sudah berjalan dengan baik? Jawaban dari kelima pertanyaan tersebut bisa menggambarkan bagaimana kualitas suatu demokrasi pada suatu bangsa dan negara. Semoga bermanfaat, setidaknya bisa untuk memahami proses dan hasil pilpres, atau mungkin melahirkan inspirasi baru bagi perbaikan dan kemajuan negeri tercinta Indonesia.

Siapa yang sesungguhnya berkompetisi dalam suatu pilpres?

Satu kemasan yang berkompetisi dalam pilpres yaitu orang orang parpol. Siapakah orang-orang parpol itu? Mereka itulah yang sebenar-benarnya pemain sejatinya. Parpol adalah benda mati, menjadi hidup karena dalam parpol ada manusia-manusia yang hidup (bernyawa dan masih punya nafsu dunia), dan mereka itu adalah kelompok para : (1) Kekuatan Militer yang pegang senjata (2) Kekuatan Uang yaitu para Pengusaha Nasional (3) Kekuatan masa yaitu para pemuka agama (Islam, Kristen, Hindu, Budha) yang memiliki pondok pesantren, masjid, gereja, kuil, sekolah atau kampus beryayasan suatu agama tertentu, panti asuhan, dll) (4) Kelompok Nasionalis atau Pluralis atau Humanis atau Abangan yang memiliki pandangan bahwa Negara dikelola oleh siapa saja warga negaranya yang penting mengutamakan persatuan bangsanya dan bukan oleh bangsa lain, sehingga aspek agama tidak menjadi penting. Pada kelompok yang keempat ini mengutamakan : (a) persatuan dan kesatuan negara, kemudian (b) kesejahteraan dalam dimensi ekonomi (c) ketenteraman dalam dimensi psikologi, dan yang terakhir (d) kebutuhan beragama.

Pandangan pribadi saya :

Jika suatu Negara aturan tertulisnya atau UU-nya : (1) Mudah di ubah-ubah (2) Pasal dan ayatnya saling bertabrakan atau tumpang tindih (3) Kalimatnya multitafsir atau banyak pasal karet atau tidak transparan (4) Isinya tidak rasional dan tidak mengutamakan rakyat banyak (kepentingan umum dan atau mayoritas), maka jangan berharap suatu Negara akan aman dan akan stabil. Jika Negara tidak aman dan tidak stabil maka jangan berharap Negara tersebut akan fokus membangun bangsanya. Aman tetapi tidak stabil maka akan mudah guncang, karena hanya aman sesaat. Stabil tetapi tidak aman maka akan kacau berantakan, karena stabilitasnya dibentuk atas suatu ancaman dan atau tekanan (tidak aman). Maka dampak lanjutannya adalah : (a) para penguasanya akan arogan dan (b) rakyat jelatanya akan anarkis. Serahkan semua pada ahlinya, jika tidak maka akan membingungkan dan berantakan, penuh ketidakpastian dan menuju kepada jurang kehancuran.

Masih ada waktu untuk berbenah, mari berpartisipasi aktif sesuai yang kita bisa, walau hanya sedikit tetapi berguna bagi Negara dan bangsa. Salam damai dan sejahtera untuk Indonesia tercinta.

Yogyakarta, Selasa, 5 Agustus 2014

Teguh Sunaryo

HP : 085 643 383838

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun