Mohon tunggu...
Dicky Yusmandari Putera
Dicky Yusmandari Putera Mohon Tunggu... -

Mahasiswa IT Telkom, Teknik Informatika

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Nilai Sebuah Kejujuran Hati

18 Januari 2014   01:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:43 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masa liburan kala itu, tepatnya di kota dimana aku merintis perjalananku. Saat itu siang hari yang lumayan menyengat kulit sinar matahari ilahi, dijalanan sedang mengendarai motor (bahasa kece medannya kereta), tiba-tiba aja ban belakang bocor, langsung mencari tukang tambal ban, dan tak perlu waktu lama untuk mendapatkannya. Ah syukurlah pikirku, karena aku harus segera menempuh jalan lagi, karena ada sesuatu urusan. Dengan seksama ku perhatikan seorang bapak tua yang menjadi aktor si penambal ban itu, ku perhatikan juga ada berapa lubang yang menjadi penyebab bocornya, dan ku pastikan hanya ada satu. Setelah selesai proses penambalan, segera ku tanya beliau untuk harga yang harus ku bayar, dan agak sedikit terkejut karena dia menyebutkan harga diluar dugaanku dengan beralasan ada 2 lubang yang mengoyak ban dalam motorku. Ya jelas saja heran, ku coba mengatakan padanya bahwa aku juga melihat dan memperhatikan saat dia mengecek kebocoran pada ban ku. Namun dia tetap pada keputusannya. Yah akhirnya ku bayar berapa yang dimintanya walaupun tidak seharusnya itu yang ku bayarkan, dalam hatiku mengatakan “hitung-hitung sedekah”. Setelah selesai urusanku dan sampai dirumah, terus saja ku pikirkan kejadian yang tadi. Bukan bermaksud mengungkit keburukan orang, tapi justru sisi lainnya yang menjadi pergolakan dalam hati dan pikiranku. Coba kita ingat-ingat pada berita-berita dan kejadian tentang ranjau paku yang disebar di jalanan untuk membuat kebocoran ban pada kendaraan terutama motor. Ya memang kalau dinilai itu tindakan kejahatan, tapi coba pikir dan renungkan hal itu dengan hati, apakah yakin mereka melakukan itu sepenuhnya dengan niat, tanpa pertimbangan apapun, tanpa mengingat-ingat dosa, tanpa memikirkan bagaimana kalau mereka atau keluarga mereka yang terkena ulah mereka sendiri ? Aku yakin mereka juga tidak sepenuhnya ingin melakukan hal tersebut. Sama seperti pada bapak tua tadi, dia juga tidak mau mengatakan yang bukan sebenarnya itu, tapi mungkin karena kondisi atau keadaan yang menuntut mereka melakukan itu, lebih spesifiknya demi menyambung hidup. Jikalau kondisi ekonomi mereka tidak begitu, aku yakin, mereka takkan pernah mau melakukan hal tersebut. Ku pikir itu merupakan suatu contoh kejadian pada sehari-hari yang bisa menjadi bahan pemikiran kita, kenapa? Ya, dengan memikirkan hal-hal kecil itu kita bisa lebih mengerti posisi orang lain, karena setiap orang melakukan sesuatu ada alasan/penyebab dibaliknya sehingga dengan begitu kita tidak langsung men-judge atau memberi penilaian buruk sepenuhnya atas apa yang dilakukannya itu. Sangat banyak bentuk-bentuk keadaan sepeti itu, semisal juga pada petinggi-petinggi negara kita, para pejabat yang diberitakan terkena hukuman dan menjadi tersangka dari kasus yang menjegalnya. Seperti anggota DPR, gubernur. bupati, dan yaang lainnya. Mereka mempunyai tugas atau amanah yang besar, untuk mengerjakan tugas itu mungkin mereka memiliki tim atau bawahan yang membantu mereka. Berdasarkan pengalaman saya juga, yang namanya tim pasti ada pro-kontra terhadap suatu keputusan, pro-kontra pertimbangan baik buruknya. Dengan lebih banyak suara yang tidak sama dengan mereka terhadap suatu keputusan/kebijakan tentunya mereka harus menghargai suara itu dan mengakuinya. Padahal bisa jadi keputusan/kebijakan yang ditetapkan itu lebih banyak mudarat daripada manfaatnya. Nah dari sinilah, saya yakin, jauh di dalam hati kecil mereka menolak ini, karena mereka tahu itu tidak benar dan dapat merugikan masyarakat, terlebih negara, tetapi mereka tidak punya cukup kekuatan untuk melawannya. Contohnya mungkin yang real terjadi di negara kita yaitu pada presiden kita sendiri, Pak SBY, banyak yang menghujat kalau masa pemerintahannya telah gagal sejak periode ke-dua. Hey, darimana kita bisa mengatakan seperti itu? Apa dengan banyaknya kasus korupsi lalu bisa seenaknya mengatakan seperti itu. Bukan bermaksud membela atau apapun, tapi coba lihat, pikirkan, renungkan, siapa saja yang terjerat kasus-kasus itu? Para pejabat bukan? Kenapa mereka melakukan itu? Pastinya untuk kepentingan pribadi. Nah apa bisa langsung mengatakan bahwa Pak Beye tidak becus terhadap kasus-kasus korupsi. Ingatlah, dia Presiden, yang memiliki tugas untuk mengatur 250 juta warga negaranya, bukan cuma mengurusi yang itu-itu saja. Saya yakin, dia juga tidak mau dan menginginkan itu terjadi, dia juga pasti sangat menyayangkan pada anggotanya yang melakukan itu semua. Mungkin beliau pernah berpikir seperti ini “Kalau saja saya Tuhan”. Coba saja kita berpikir bertukar posisi padanya, pada orang-orang yang sering kita hujat seperti kejadian tersebut, kita juga akan memikirkan dan memiliki keinginan yang sama, ya, “Sebenarnya aku juga tak ingin ini terjadi, aku sudah berungkali mengingatkan mereka, tapi aku juga masih membutuhkan mereka di pemerintahanku…..” Ya mungkin banyak lagi kondisi-kondisi yang membuat pelakunya memikirkan hal yang sama. Dengan kejadian dengan bapak penambal ban itu memberiku pelajaran yang sangat berharga untuk perbaikan diri, terutama moral, bahwa tidak ada yang menjadikan seseorang itu terlihat buruk kecuali keadaan yang menimpanya, tapi kita masih memiliki hati yang bersih untuk berusaha menolak perbuatan keterpaksaan itu. Semoga dapat memberi pelajaran juga, terutama bagi para pemuda yang telah mempersiapkan dirinya untuk bangsa ini

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun