Mohon tunggu...
Dito Aditia
Dito Aditia Mohon Tunggu... Penulis Pemula, Karyawan Swasta, Jatim Bersastra dan Menulis -

Alumni Universitas Brawijaya Malang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

21 April 2016: Mewujudkan Kartini Masa Kini sebagai Ibu yang Mulia dan Baik Hati

25 April 2016   21:26 Diperbarui: 25 April 2016   21:42 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hari Kartini. Siapa yang tak kenal dengan hari tersebut. Semua orang baik pria maupun wanita, dari usia sekolah dasar hingga dewasa mayoritas mengetahuinya. Hari Kartini adalah hari yang dikhususkan untuk mengenang jasa sosok wanita bernama Raden Ajeng Kartini, yang lahir di Jepara, pada tanggal 21 April 1879. 

Beliau dikenal atas jasa-jasanya memperjuangkan hak-hak kaum hawa yang terpinggirkan di era kolonial Belanda. Kaum wanita telah dikenal menjadi objek perbudakan, penindasan, dan kekerasan di masa itu. Jangankan menunjukkan eksistensinya seperti saat ini, di masa itu wanita dipandang sebelah mata. Mereka dilarang untuk pergi kemanapun oleh orang tua (dipingit) sampai seorang pria datang meminang. Hal ini terus terjadi hingga akhirnya Ibu Kartini hadir, mencoba membuka mata dunia dengan bahwa wanita harus diakui kehormatan dan haknya.

Perjuangan Ibu Kartini di masa lalu tidaklah sia-sia, walaupun beliau wafat di usia 25 tahun. Beliau menghasilkan salah satu karya yang fenomenal yakni sebuah buku berjudul (dalam bahasa belanda) yakni “Door Duisternis toot Licht”, yang berarti “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Menurut Budi Santoso, salah satu pengamat pendidikan asal Surabaya, buku tersebut menggambarkan kegamangan sosok Kartini terhadap budaya disekitarnya yang cenderung menyisihkan sosok wanita di era kolonial Belanda. “Bentuk kegamangan tersebut tergambar dari surat-surat yang beliau sampaikan kepada seorang temannya di Belanda, yang kemudian dikumpulkan jadi satu dalam buku tersebut”, ucap Budi kepada penulis disela aktivitasnya sebagai pengamat pendidikan di Surabaya pada tanggal 19/4/2016.

Memang, urgensi perjuangan Ibu Kartini masih menjadi perdebatan sengit di berbagai kalangan, khususnya sejarawan dan pengamat kebudayaan. Sebagian kalangan menilai perjuangan Kartini hanyalah bagian dari rekayasa Belanda untuk mendukung ide feminisme dan kesetaraan gender di masa itu, meskipun sebagan lain membantah anggapan tersebut. Terlepas dari segala  perdebatan tentang hal tersebut, penulis akan membahas bagaimana harusnya sosok Kartini masa kini yang dapat menjadi teladan bagi agama, keluarga, serta bangsa dan negara. Wanita adalah sosok istimewa, ciptaan terindah-Nya yang hadir di alam dunia sebagai pelita hati bagi suami dan anak-anaknya, penerang bagi sebuah rumah bernama keluarga.

Wanita adalah kasih sayang dan cinta. Jika kita melihat kesuksesan seorang tokoh besar dalam hidupnya, pastilah dibelakangnya terdapat sosok wanita yang senantiasa mendukungnya. Wanita memiliki andil yang sangat besar dalam mensukseskan suami, keluarga, serta bangsa dan negara. Pepatah mengatakan bahwa “baik buruknya sebuah negara tergantung pada wanitanya. Apabila wanitanya baik, otomatis negara akan menjadi baik”. Begitu mulianya sosok wanita ini, sehingga Allah muliakan ia dengan ganjaran surga apabila ia mampu menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya.

Di masa kini, wanita dihadapkan pada berbagai realita hidup yang kadang menyayat hati, meskipun emansipasi dan kesetaraan gender terus didengungkan. Kekerasan terhadap wanita masih menjadi momok mengerikan. Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri masih diselimuti ketidakadilan. Perdagangan wanita masih mencengkeram wanita dalam jerat kenistaan, hingga eksploitasi seksual yang membuat martabat wanita menjadi bahan permainan. Terdapat dua masalah besar yang penulis anggap dapat melemahkan peran wanita yakni kekerasan dalam rumah tangga yang berujung perceraian, serta terkikisnya akhlak dan moral anak-anak dalam kehidupan sehari-hari.

Ketidakharmonisan hubungan keluarga, dalam hal ini antara suami dengan istri seringkali memicu kekerasan dalam rumah tangga, yang pada akhirnya berujung pada perceraian. Wanita menjadi objek kemarahan suami atas permasalahan yang cukup pelik ini, disaat suami menjadi sosok yang ringan tangan untuk mengayuhkan pukulan pada bagian tubuh sang istri. Kenaikan angka kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terus terjadi. Berdasarkan data Komnas Perempuan, pada tahun 2012, kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) mencapai angka 8.315 kasus, sedangkan tahun 2013 meningkat menjadi 11.719 kasus. Bahkan lima tahun lalu, angka KDRT di Jawa Timur cukup tinggi. Provinsi Jawa Timur menduduki peringkat 3 terbesar dalam jumlah kasus KDRT di Indonesia setelah Jawa Barat dan Kalimantan di tahun 2009. Selama tahun 2009, kasus KDRT di Jawa Timur mencapai 1200 kasus. Menurut Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Jawa Timur, jumlah kasus KDRT terbanyak di Jawa Timur yaitu di Kabupaten Malang sebanyak yaitu 347 kasus, disusul 128 kasus di Kabupaten Sidoarjo, serta 119 kasus di Kabupaten Situbondo.

Terkikisnya akhlak dan moral anak-anak dalam kehidupan sehari-hari tidak boleh diangga remeh, karena hal ini berkaitan dengan peran wanita sebagai pendidik anak-anaknya. Indikasi terkikisnya moral dapat dilihat dari beberapa kasus kriminal yang melibatkan anak-anak seperti konflik anak dengan orangtua (anak membunuh ibu kandung) dan pelecehan seksual yang pelakunya melibatkan anak dibawah umur. 

Komisi Perlindungan Anak mencatat bahwa pada tahun 2013 terdapat 730 kasus kriminalitas yang pelakunya melibatkan anak-anak, kemudian jumlahnya meningkat lagi menjadi 1.851 kasus di tahun 2014. Menurut Aris Merdeka Sirait, faktor penyebab kriminalitas yang dilakukan oleh anak-anak antara lain anak meniru perilaku orang tua dan lingkungan sekitar, serta tayangan-tayangan televisi dan internet yang memuat pornografi. Fenomena-fenomena diatas setidaknya patut kita cermati. Setidaknya, sosok-sosok Kartini baru sebagai ibu yang mulia dan baik hati wajib kita hadirkan kembali.

Lantas, bagaimana cara menghadirkan kembali sosok Kartini masa kini yang dimaksud ? Tentu kita mesti bijak dalam menyikapi pertanyaan ini. Yang harus kita pahami, zaman terus bergerak maju secara dinamis. Perkembangan informasi dan teknologi sangat luar biasa menerobos berbagai sendi kehidupan. Perjuangan Kartini masa kini sangatlah berbeda. Dalam pandangan penulis, ibu yang mulia dan baik hati dapat diwujudkan dengan pengokohan kembali perannya sebagai abdi agama, abdi keluarga, dan abdi negara. Wanita berperan mendukung kesuksesan kegiatan peribadatan dan keagamaan sebagai abdi agama. Wanita berperan mengkokohkan bahtera rumah tangga dan mendidik anak-anaknya dengan kasih sayang sebagai abdi keluarga. Wanita juga berperan mensukseskan tugas dan kewajiban pemerintah dalam kebaikan dan kemaslahatan sebagai abdi negara.

Dalam hal ini, penulis memandang bahwa peran wanita yang perlu lebih dikokohkan adalah sebagai abdi keluarga, karena keluarga adalah lingkup terkecil dari sebuah bangsa. Keluarga adalah madrasah pertama yang mengajarkan kemuliaan akhlak bagi anak-anaknya. Kartini masa kini hendaknya lebih mengenali dan mengembangkan potensi anak-anaknya. Jangan selalu menuntut anak-anak untuk menjadi apa yang anda inginkan, tapi bantulah anak untuk mencapai keinginan dan cita-cita yang sesungguhnya sesuai potensi anak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun