Mohon tunggu...
Dini Widya Herlinda
Dini Widya Herlinda Mohon Tunggu... -

Pena: Widya Karima

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Untuk yang Terakhir

10 November 2011   04:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:51 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Oktober, bulan yang penuh dengan sejarah dalam kehidupan keluarga kami telah terpaksa berlalu, dari ulang tahun ibu, ulang tahun adik, ulang tahun paman, ulang tahun bibi, ulang tahun sepupu, pernikahan sepupu, hingga ulang tahun sahabat-sahabatku seakan berkumpul jadi satu di bulan ini. Untunglah, jadi bisa hemat. Merayakan pesta kebahagiaan bersama-sama dalam satu waktu sambil menikmati kue dan santapan enak jerih kerja keras setahun. Sebenarnya aku ingin bercerita tentang, hmm, apa ya? Jadi bingung karena bercabang-cabang. Apa ini termasuk puisi, cerpen atau hanya sekadar catatan harian, juga aku tidak mengerti_Baca dong buku dari Annida, Buku Sakti Menulis Fiksi. Entahlah, jelasnya, ingin mengisi Kompasiana bulan ini. :p. “Haha!” Tawa ibu yang sederhana bunyinya di seberang pulang jawa ini terdengar geli di telingaku. Aku hanya senyum-senyum di sini tanpa sepengetahuan ibu. Memang nama yang barusan aku sebutkan kepada ibu lewat telepon ini sudah tidak asing lagi di keluarga besar kami, khususnya di keluarga ibu. Agak lucu memang. Entah sedang bermimpi, salah mendengar, sebagian skenario Tuhan, atau memang akan menjadi takdir di masa depan. Aku sungguh-sungguh tidak tahu. Sudah lama aku ingin menepis perasaan yang mungkin “salah” ini. Seperti mendikte Tuhan bahwa dialah nanti takdirku. Entahlah, jelasnya aku tahu masa-masaku adalah masa yang penuh misteri. Lebih jelas lagi, aku sudah mendapatkan materi-materi tentang perasaan ini sejak masih di bangku SMA dulu, pertama kali aku mengenal Tarbiyah Islamiyah. Namun, rasa ini sungguh sulit, rumit aku menepisnya. Sebab, mengapa dan mengapa. Setelah reda tertawa sederhana ibu di seberang sana, ibu langsung mengatakan, “Kalau suatu hari nanti ia datang ke sini, insya Allah ibu terima.” “Haha!” Kini giliranku yang tertawa, agak tidak lebih sederhana dari ibu. Aku pun semakin geli. Lucu sekali rasanya. Surakarta masa kuliah. Di mana setiap hari mencari bus Atmo untuk segera tiba di RSUD Solo sebelum jam tujuh pagi. Aku akan menuntut ilmu praktikum di sini juga bersama ribuan mahasiswa lainnya yang juga memenuhi RSUD ini. Surakarta berhati lembut. Walau cuaca waktu itu lumayan terik, tidak pernah hujan sampai banjir, Surakarta tetap membuat hati ini selalu mengingatnya. Dipikir-pikir, parah juga aku bila setiap detik harus mengingat orang itu. Nyebelin juga lama-lama. Seseorang yang padahal aku tahu kalau dia belum tentu jodohku. Tuhan, yang Maha Membolak-balikkan hati manusia, ampuni aku. Aku takut mendikte-Mu. Sekarang aku sudah berada di kampung halamanku di Sumatra. Memang beda rasanya bila berada di rumah sendiri walaupun sekaya-kayanya rumah orang atau kerabat di sana. Ada satu hal yang bila aku mengingatnya, aku menjadi lebih yakin. Padahal aku juga tidak tahu apakah itu berasal dari Tuhan atau dari setan. Ya Tuhan, tolong beri aku petunjuk. “Ibu paling setuju kalau kamu sama dia, nak.” Kata ibu suatu kali kami main ke halaman belakang kantor ayah yang ditumbuhi kebun ubi jalar, labu, pohon kelapa, dan ternak ikan lele kepunyaan penjaga kantor ayah. Aku pun terkejut ibu ngomong begitu. “Ibu suka dia, nak, yang jadi menantu ibu.” Kadang-kadang aku merasa ibuku jadi sok tahu tentang dia. Seperti sudah pernah bertemu dan kenal saja sama orangnya. Padahal aku sempat membencinya karena dia banyak teman juga ternyata. Padahal, aku juga banyak teman. “Emangnya ibu itu sudah tahu orangnya gitu?” Tanyaku menepis kata-kata ibu yang membuatku semakin merasa bersalah telah memberi tahu ibu tentang suatu hal yang tak pasti, tentang suatu hal yang harus membuat hatiku mengambil ancang-ancang kuda-kuda untuk ketahanan hati agar telah siap pada masanya bila aku harus sakit sati. “Ibu belum pernah ketemu. Ibu cuma suka saja. Kan juga dia sudah bekerja, bukan pengangguran.” Oh, itu saja yang membuat ibuku yakin. Tapi, aku ingat masa lalu, di mana ada seorang teman sekelasku yang mendekati. Aku rasa temanku yang dulu itu juga punya masa depan yang baik, punya keluarga yang baik, punya wajah yang baik di mata kami teman satu kampus, dan ikut jadi aktivis juga di masjid kampus, walaupun aku tidak tahu apa motivasi dia ikut jadi anak masjid kampus. Entahlah. Namun, waktu itu ibu tidak suka kalau aku didekati dia. Ibu kurang setuju kalau aku menanggapi dia, teman kelasku ini yang sempat ingin datang ke rumah juga. Tapi, ternyata dia memang bukan jodohku karena sekarang dia baru saja menikah dengan orang yang satu kampung dengan dia di Jawa, yang mana sebelum menikah dia sempat berkirim kabar yang selalu hampir aku abaikan. Sebab di mataku dia agak play boy. Lagian, kayak buku karangan kakaknya temanku saja, Apa Kata Dunia Kalau Akhwat Jatuh Cinta, sebuah buku yang aku disuruh ikut terlibat mempromosikan dan menjualnya di pasaran anak kampus. Oh, jadi serba salah kadang-kadang. Kadang-kadang ingin aku seperti judul buku karangan Cahyadi Takariawan, Di Jalan Dakwah Aku Menikah. Atau jadi Jihan yang jadi akhwaaat banget di buku Pilihlah Aku Jadi Istrimu karangan Leyla Imtichanah. Tapi, kadang-kadang merasa tidak salah juga kalau aku mengikuti judul buku, Apa Kabar, Cinta? Atau buku Ketika Cinta Bertasbih karangan Habiburrahman El Shirazi. Jadi bingung kadang-kadang aku. Membicarakan masalah ini adalah hal yang sudah tidak jarang lagi. Sudah basi kali, ye? Dan akhirnya aku hanya bertawakkal sama Tuhan saja. Terserah Tuhan saja siapa orangnya. Yang jelas, bila ada orangnya nanti, pasti itu dilandaskan dengan keikhlasan dan tanpa paksaan antara kedua belah pihak. Namun, untuk seseorang yang ibuku telah menyukainya sejak pertama kali aku bercerita padanya, aku menyukainya juga karena ibuku juga menyukainya. Namun, ada satu yang membuat aku terganjal sekarang, tentang penyakit dan pekerjaan yang mengharuskan aku berpuasa satu tahun tiga bulan dari sekarang untuk menulis tentang cinta. Mungkin ini tulisanku yang terakhir tentang cinta. Sampai bertemu lagi, cinta. Kuteteskan rinduku tentang cinta yang dengan cinta-Nya akan membuatku menjadi anak yang lebih kuat. Terima kasih cinta. Terima kasih Allah. Semoga lebih cepat sembuh dan tidak kambuh lagi sekali-kali pun, tidak ke dokter lagi, tidak takut capek lagi, dan bisa menyusul teman-teman yang sudah duluan dijemput pangeran impiannya masing-masing. Dan bisa jadi dosen di Poltekkes Bengkulu dua tahun lagi (kayaknya ini baru mimpi beneran, haha).. Aamiin, :p, :D. Untuk-Mu, Allah Aku tahu sedangkal apa cintaku pada-Mu Namun, apalah arti harapan jika tak kugantungkan hanya pada-Mu Sang Pemilik cinta Bengkulu, 02 November 2011 Salam, Widya Karima

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun