Nora menatap adegan itu dari jendela kecil barak, tangan gemetar memegang ujung bajunya. Dalam hatinya, ia tahu, ini bukan lagi sekedar soal cinta. Ini soal bertahan sebagai manusia dalam sistem yang ingin menghapus kemanusiaan mereka dan mungkin, diam memang bisa melawan.
Sesungguhnya pula, Camp 6 tak pernah benar-benar sepi, meski suara-suara yang terdengar lebih sering berasal dari perut-perut yang lapar, atau derit kayu dari dipan-dipan tua yang digerakkan tubuh gelisah. Ada detak-detak kecil yang hidup di dalam senyap, bisikan dalam bahasa Belanda yang cepat dan pendek, isak anak-anak yang terbangun karena mimpi buruk, atau doa-doa lirih yang dipanjatkan di bawah selimut lusuh.
Di sebuah sudut barak, seorang perempuan tua bernama Mevrouw Anka mencatat hari-harinya dengan pensil tumpul di balik potongan kertas bekas kemasan obat. Tak ada yang tahu pasti untuk siapa catatan itu, tetapi banyak yang percaya ia sedang menulis surat-surat yang akan dikirimkan entah ke mana, entah kepada siapa. Ia pernah berbisik kepada Nora, "Kalau nanti kita keluar, aku akan punya cerita untuk dunia. Dunia harus tahu tempat ini." Tapi tak ada yang berani berharap kapan 'keluar' itu akan terjadi.
Pagi hari selalu membawa kabar yang tak terucap. Kalau tak ada pengumuman kematian, maka itu sudah dianggap pagi yang baik. Tapi tetap saja, pagi datang dengan antrean panjang menuju satu-satunya sumur air. Di sinilah, kadang-kadang, para perempuan bertukar gosip singkat, atau sekadar memberi isyarat lewat tatapan mata, tentang makanan yang bisa diselundupkan, tentang penjaga baru yang lebih kejam dari sebelumnya, atau tentang seseorang yang menghilang diam-diam malam sebelumnya.
Kehidupan di Camp 6 bukan sekadar tentang bertahan hidup, tetapi tentang menjaga kewarasan. Itulah sebabnya mengapa beberapa dari mereka mencoba menciptakan rutinitas yang menyerupai kehidupan di luar pagar kawat dan anyaman bambu.
Setiap Kamis sore, seorang guru sekolah dasar dari Semarang, Meneer Willen, menyelenggarakan 'kelas bayangan' untuk anak-anak, menggunakan potongan arang untuk menulis di papan kayu. Mereka belajar alfabet dan menggambar peta dunia yang hanya bisa mereka bayangkan dari ingatan.
Namun, tak semua memilih bertahan lewat harapan. Di balik barak belakang, ada kelompok kecil yang menyimpan rasa pahit terhadap dunia. Mereka jarang berbicara, lebih suka duduk di bawah pohon tua sambil menatap kosong ke arah utara, ke arah yang mereka percaya sebagai arah pulang. Di antara mereka, ada seorang bernama Adriana yang pernah mencoba melukai tangannya sendiri agar bisa keluar dari kerja paksa. Ia gagal. Sebagai hukuman, ia dikurung tanpa air selama dua hari. Sejak itu, ia tak pernah bicara lagi.
Hubungan antar penghuni pun tak selalu hangat. Perselisihan kecil bisa meledak hanya karena sepotong ubi atau giliran mencuci pakaian. Rasa lapar, ketakutan dan keputusasaan menciptakan jarak yang lebih lebar dari pagar camp. Ada keluarga yang tidak lagi saling bicara karena persoalan sepele. Ada pula yang saling bergantung, menciptakan ikatan lebih kuat daripada saudara.
Namun di tengah retak-retak itu, kadang muncul sesuatu yang tak terduga, secercah tawa, pelukan spontan, atau nyanyian lirih dalam bahasa Jawa yang dilantunkan oleh seorang ibu muda sambil menidurkan bayinya. Nora pernah mendengar nyanyian itu suatu malam. Ia tak mengerti liriknya, tapi ada nada rindu yang menembus dinginnya malam Camp 6. Dalam hati ia tahu, di tempat seperti ini, cinta dan luka berjalan berdampingan, diam-diam, seperti retak yang tak kasat mata.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI