Dua hari berlalu tanpa berita. Tanpa catatan kecil. Tanpa tatapan dari seberang pagar.
Baru pada hari ketiga, saat Nora sedang membagi jatah bubur untuk anak-anak, seorang bocah lelaki, Rafa, cucu dari Ibu Lani, berlari mendekatinya sambil membawa selembar daun kering.
"Ada ini di lipatan kantongku waktu aku ambil sisa roti dari tong belakang," katanya.
Nora membuka daun itu dengan hati-hati. Di balik urat-uratnya yang rapuh, ada torehan tipis menggunakan arang:
"Hari ini tanganku luka, tapi pikiranku masih penuh kamu. Jangan hilangkan aku dari doamu. -- P."
Air mata Nora mengalir sebelum ia sempat menahan. Ia menyembunyikan wajahnya ke balik ember, pura-pura mengelap tangan.
Malamnya, Nora duduk di sisi ranjang dengan tangan gemetar. Di luar, suara tongkat penjaga menghantam tanah pelan-pelan, seirama langkahnya yang rutin. Di dalam pikirannya, suara lain terus berdengung: bisikan Pambudi, tatapan Suster Theresia, bayangan tentang waktu yang semakin kejam.
Ketika semua orang sudah tidur, ia mengambil kertas lusuh dan menulis dengan potongan arang:
"Aku tidak akan berpaling. Tapi aku juga tidak bisa menunggu tanpa berbuat apa-apa. Jika ini waktunya bertarung dalam diam, aku memilih diam yang melawan."
Ia melipatnya kecil-kecil, dan menyelipkannya ke bawah piring logam bekas yang biasa diantar bocah lelaki itu ke dapur luar.
Keesokan harinya, penjagaan diperketat. Dua orang interniran dari barak sebelah dibawa keluar karena ketahuan menyelundupkan pesan. Salah satu dari mereka dipukul di depan umum sebagai peringatan.