Mohon tunggu...
Didik Prasetyo
Didik Prasetyo Mohon Tunggu... Live - Love - Life

Menulis adalah cara untuk menyulam hidup dan mengabadikan kasih yang tak lekang oleh waktu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sunyi di Bukit Elia

4 April 2025   17:40 Diperbarui: 4 April 2025   17:40 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sunyi di Bukit Elia I pixabay

Sudah hampir lima tahun sejak suaminya meninggal, pagi di Ambarawa masih membawa rasa yang sama bagi Bu Ratmi, yaitu sepi, tapi damai. Kota kecil ini tak banyak berubah. Sesekali kabut masih turun perlahan dari lereng perbukitan, warung nasi pecel di pertigaan terminal juga masih senantiasa buka dan angkot biru serta kuning juga masih lewat membawa serta anak-anak menuju sekolah. Namun, dibalik segala yang tetap, ada satu hal yang hilang, yaitu kehadiran Pak Darmo.

Rumah mereka di pinggiran kota itu kecil, tapi cukup hangat untuk dua orang yang percaya bahwa kebahagiaan bukan soal ukuran rumah, melainkan hati yang saling menampung. Namun demikian, sejak Pak Darmo pergi karena serangan jantung mendadak, rumah itu jadi sunyi. Anak-anak mereka sudah lama pindah ke Jakarta dan Bogor, sibuk dengan pekerjaan dan keluarga masing-masing. Mereka mengirim uang, tentu. Tapi tak ada yang bisa menggantikan suara manusia yang kita cintai di dalam rumah.

Setiap hari Minggu pagi, Bu Ratmi akan naik ke Bukit Elia, sebuah bukit kecil di sisi Barat Laut kota yang tepat menghadap ke lembah Ambarawa. Bukit itu dulu tempat favorit Pak Darmo. Di sanalah mereka biasa duduk berdua setelah Misa Pagi, minum teh dari termos dan berbagi roti sobek yang Bu Ratmi buat sendiri. Kadang mereka membaca Kitab Suci, kadang pula hanya diam dan memandangi kabut yang turun perlahan. Mereka menyebutnya 'doa tanpa kata'.

Pagi itu, seperti biasa, Bu Ratmi membawa termos kecil, dua potong roti sobek dan buku doa yang sampulnya sudah mulai mengelupas. Jalur ke bukit masih sama, yaitu setapak tanah, dikelilingi semak liar, dan sesekali diselingi kicau burung dari pepohonan pinus di sekitarnya. Udara sejuk mengusap pipinya dan setiap langkah membawa kenangan. Bukit Elia bukan tempat ramai. Hanya sedikit orang datang ke sana, kebanyakan peziarah diam-diam, atau orang-orang yang butuh jeda dari hiruk-pikuk dunia.

Sesampainya di atas, ia duduk di bangku kayu yang dulu dibuat oleh Pak Darmo. Meski kini lumut mulai tumbuh di kakinya, bangku itu tetap kokoh.

"Darmo, aku ke sini lagi." bisiknya. 

Ia membuka termos, menuang teh ke dalam cangkir plastik, lalu meletakkan satu potong roti di sisi bangku yang kosong. Sudah jadi kebiasaannya dengan tetap menyisakan sepotong, seakan Pak Darmo masih duduk di situ.

Tapi pagi itu, sesuatu berbeda. Ketika sedang tenggelam dalam doa pelan dan pikiran yang melayang-layang, ia mendengar suara langkah kaki. Pelan, namun pasti mendekat.

"Permisi, Bu. Boleh duduk di sini?" suara seorang pria, paruh baya, sedikit berat tapi lembut.

Ia menoleh. Seorang pria tua, mungkin seumuran dengannya, berdiri membawa tongkat kayu dan mengenakan kemeja batik pudar. Wajahnya teduh, tapi matanya menyimpan kesedihan yang tak asing.

"Tentu saja, Pak. Silakan." jawabnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun