Kalau kita melakukan usaha komersial dimanapun didunia yang sudah mencapai perputaran omzet perusahaan hingga Rp. 150 Triliun setahun, mau tidak mau kita sebagai pebisnis harus melibatkan diri didalam kancah Politik Ekonomi dimana kita berinvestasi disamping teknis ekonomi yang rutin intern perusahaan untuk capaian efisiensi.
Artinya dengan omzet sebesar itu adalah bagaimana cara taktik manajemen perusahaan kita agar bisa mempertahankan omzet tersebut, bahkan diupayakan bisa bertambah besar. Politisasi ini tentu dimainkan melalui berbagai media dan tema acara aneka strategi yang konspiratif dengan berbagai pihak terutama dengan pihak petinggi Pemerintah agar eksistensi perusahaan bisa tetap dapat berjalan sesuai dengan rencana strategi yang telah ditetapkan.
Hanya pemerintahan yang berisi para oknumlah (tidak cerdas & dungu, manipulatif) yang bisa diatur seenaknya oleh pihak swasta dengan kekuatan uang mereka. Oleh karena itu peran UU dan aparat pemerintah disini sangatlah penting agar tetap bisa menjalankan aktifitas usaha ekonomi masyarakat yang berkeadilan. Â
Adanya upaya untuk mengalihkan perhatian Petryt kepada usaha budidaya ayam lokal seperti ayam kampung, adalah strategi dan konspirasi lama dari kelompok usaha unggas terbesar agar semua Peternak Rakyat (Petryt) digiring kearah itu sehingga SEGMENTASI PASAR adalah HAK budidaya ayam ras dan PASAR DALAM NEGERI yang telah di bina Pemerintah selama 42 tahun dengan UU No.6/1967 dapat dirampas secara mulus sepenuhnya oleh perusahaan terbesar unggas dengan berlakunya UU No.18/2009 serta adanya pemacuan pembangunan kandang-kandang budidaya Farm CH (Close House) menuju kapasitas populasi budidaya FS terbesar secara Nasional. Dampak dari konspirasi double comsumption ayam ras yang salah kaprah, merupakan kontribusi yang lebih memperparah permasalahan perunggasan ayam ras Nasional. Â
Oleh karena itu, dikondisikanlah daya tarik usaha budidaya ayam lokal unggul dimana dahulu perusahaan integrator terbesar juga membuat pengembangan ayam lokal/kampung unggul dan mereka bertujuan mau serius di ayam lokal juga, bahkan sudah memiliki kemampuan produksi bibit (mulai sekitar 1992, kelanjutannya pending).
Berkembangnya dan dibiarkannya upaya komersialisasi ayam lokal diluar perusahaan integrator terbesar tidak diganggu oleh perusahaan integrator terbesar tersebut agar ada ketertarikan yang spontan dan emosional dari para Peternak Rakyat unggas ras untuk beralih usaha dari ayam ras kepada ayam lokal (perusahaan besar sedang menunggu dan mengintai omzet perputaran bisnis ayam lokal yang besar).
Jika omzet ayam lokal nasional membesar, mereka akan masuk juga kedalamnya. Kalau demikian, sejak dahulu Indonesia jangan dimasuki upaya sosialisasi ayam ras dengan biaya sangat besar pada program Inmas-Bimas unggas ras sebaiknya ayam lokal saja. Dalam hal ini, banyak aparat Pemerintah tidak mengerti strategi konspirasi ini, dan terkadang terpancing didalam berbagai seminar-seminar ayam lokal dengan mengatakan di usaha ayam ras banyak tantangan dan kemelut berbagai permasalahan dan resiko tinggi sedangkan diayam lokal sedikit tantangan dan masih berpeluang besar.
Untuk pelaku pembudidaya ayam lokal yang jumlahnya masih sedikit, saat ini memang bisa berjalan baik, akan tetapi jika pelakunya semakin banyak, tentu akan bertemu dengan permasalahan seperti yang terjadi di usaha budidaya ayam ras apabila UU nya masih UU No.18 Tahun 2009.
Budidaya ayam ras periode panennya hanya selama 28-30 hari berat hidup bisa mencapai 1,5 Kg/ekor, sedangkan ayam lokal/buras/kampung unggul periode rataan panennya selama 2 bulan (55-65 hari) berat hidup rataan ±1,20 Kg/ekor. Begitu juga pada ayam lokal/buras/kampung unggul petelur maksimal ±110 butir/tahun, jumlah telurnya jauh lebih kecil dari ayam ras petelur hingga mencapai ±248 butir/tahun.
Kebodohan para oknum di Pemerintahan adalah energi yang telah terkuras sejak Inmas-Bimas ayam ras (pedaging-petelur) sejak 1970 yang menempatkan Peternak Rakyat sebagai mitra utama Pemerintah didalam sosialisasi budidaya unggas dengan UU No.6/1967, Keppres No.50/1981 dan Keppres No.22/1990, hingga omzet perputaran uang di tata niaga unggas ras pedaging dan petelur setahun menjadi potensi ekonomi sebesar Rp.485 Triliun.Lalu setelah menjadi potensi ekonomi, pemerintah menyerahkan saja secara aklamasi potensi ekonomi unggas itu sejak dari usaha hulu dan hilir kepada hanya beberapa perusahaan kapitalis terintegrasi termasuk PMA didalam perunggasan dengan UU No18 Tahun 2009 (UU yang menyengsarakan Peternak Rakyat). Serta memarginalkan, mengkerdilkan secara cepat potensi budidaya PETERNAKAN RAKYAT untuk ayam ras pedaging dan petelur.
Malah beberapa oknum Pemerintah mau menggiring pembudidaya Peternak Unggas ras Rakyat kepada ayam lokal/ayam kampung yang telah dibina selama 42 tahun lamanya. Ini adalah bentuk kejahatan Pemerintah (para oknum) kepada rakyatnya sendiri, juga kejahatan oknum pemerintah kepada Negara.