Mohon tunggu...
Ashwin Pulungan
Ashwin Pulungan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Semoga negara Indonesia tetap dalam format NKRI menjadi negara makmur, adil dan rakyatnya sejahtera selaras dengan misi dan visi UUD 1945. Pendidikan dasar sampai tinggi yang berkualitas bagi semua warga negara menjadi tanggungan negara. Tidak ada dikhotomi antara anak miskin dan anak orang kaya semua warga negara Indonesia berkesempatan yang sama untuk berbakti kepada Bangsa dan Negara. Janganlah dijadikan alasan atas ketidakmampuan memberantas korupsi sektor pendidikan dikorbankan menjadi tak terjangkau oleh mayoritas rakyat, kedepan perlu se-banyak2nya tenaga ahli setingkat sarjana dan para sarjana ini bisa dan mampu mendapat peluang sebesarnya untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang produktif dan bisa eksport. Email : ashwinplgnbd@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Wajah Terburuk Pengadilan RI

9 Mei 2014   16:01 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:41 1064
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
-Ilustrasi, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Hamdan Zoelva (tengah) memimpin sidang putusan uji materi (judicial review) (Tribunnews.com/Herudin)

[caption id="" align="aligncenter" width="560" caption="-Ilustrasi, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Hamdan Zoelva (tengah) di salah satu sidang judicial review (Tribunnews.com/Herudin)"][/caption]

Tidak ada pelayanan yang baik apalagi terbaik yang bisa kita rasakan apabila kita mengalami proses perkara di Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama diseluruh Indonesia bahkan kenyataan buruknya pelayanan bisa kita rasakan sampai kepada Mahkamah Agung. Pengalaman ini, disampaikan oleh seorang teman yang sudah lama berperkara dalam masalah Perdata di Pengadilan Agama Kota Bandung. Saya pernah mendampingi teman ini di pengadilan TK.1, lalu saya ditanya langsung oleh Hakim Ketua saat itu dengan intonasi agak kasar, "tergugat, siapa orang yang disamping saudara itu" bukannya pertanyaan Hakim "tergugat, siapa seorang Bapak yang disamping saudara itu". Ini pengalaman tidak enak saya dalam hal buruknya kalimat tanya seorang Hakim sewaktu mendampingi seorang tergugat di Pengadilan Agama Kota Bandung.  Anda bisa bayangkan, perkara Perdata yang telah dijalani teman ini sudah sejak tahun 2007 hingga kini April 2014, perkara itu masih saja berlangsung dalam keberpihakan para Hakim kepada para Penggugat bermasalah rekayasa.

Pada saat saya mendampingi teman ini, sangat terlihat adanya kecurigaan yang sangat kental para hakim dan penitera terhadap saya, seolah-olah acara pengadilan negeri yang sedang berlangsung seolah-olah miliknya para hakim dan penggugat saja (padahal sidang terbuka), jika ada orang baru yang hadir, maka pantas dicurigai. Ada apa sebenarnya pengadilan negeri kita selama ini ? Padahal sudah ada UU Keterbukaan Informasi dan Pengadilan Negeri harus terbuka, agar keadilan dan kebenaran bisa disaksikan oleh publik dan ini juga sebagai bentuk pengawasan rakyat kepada Hakim dan peradilan kita.

Bagi masyarakat yang sangat awam dalam hal hukum, maka setiap masyarakat yang berperkara di Pengadilan Negeri, akan mendapatkan kesulitan yang sangat pelik, karena para pelaksana atau petugas sipil PNS di Pengadilan, tidak akan bisa memberikan tuntutanan dan arahan yang baik untuk menyelesaikan administrasi perkara. Apabila anda tidak memiliki Pengacara, maka anda akan habis dan dibohongi serta dibodohkan untuk menyelesaikan berbagai dokumen administrasi perkara terutama dalam perkara Perdata. Hal buruk ini akan sangat dirasakan apabila kita naik banding dan kasasi. Para petugas administrasi Pengadilan sangat terlihat budaya manipulasinya yang menduitkan setiap dokumen administrasi perkara.

Pernah ada masyarakat yang menyampaikan permasalahan wajah buruk Pengadilan ini kepada Presiden dan para Wakil Rakyat, akan tetapi mereka yang sangat berwenangpun tidak mampu berbuat untuk memperbaiki keburukan instansi Pengadilan Negara. Kenyataan keburukan ini, akan memberi peluang yang sangat besar kepada munculnya atau semangkin menguatnya 'mafia peradilan, mafia hukum". Ternyata, mafia hukum ini, dimulai dari sejak dokumen perkara masih berada pada tingkat bawah para karyawan administrasi. Disinilah para mafia melakukan kasak kusuk kejahatan hukum untuk bisa mengalahkan lawannya dengan cara kotor tentunya dengan kekuatan uang haram. Kondisi kebusukan bawahan ini, sudah berlangsung sejak di Pengadilan Tk.1, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Rangkaian bawahan administrasi ini, ternyata sudah melembaga dengan para mafia antar tingkatan pengadilan.

Berkas perkara dari tergugat, oleh para karyawan bawahan selalu dimintai hardcopy dan soft copy-nya. Ternyata, soft copy tersebut adalah digunakan untuk merekayasa berkas perkara untuk dimasukkan kepada tim hakim. Selama ini ternyata berkas soft copy inilah yang direkayasa bersama pengacara penggugat sehingga berkas bisa memihak peggugat dan mengalahkan tergugat hingga masuk ke kepada tim hakim. Jika tim hakim bisa dibeli juga oleh para mafia ini, maka jalannya acara perkara perdata bisa sangat mengalahkan posisi hukum tergugat. Selanjutnya jika terjadi putusan Pengadilan Tk.1 yang mengalahkan penggugat, jika naik banding kepada Pengadilan Tinggi, maka mata rantai para pelaksana administrasi di Pengadilan TK.1 dengan pelaksana administrasi di Pengadilan Tinggi, bisa bekerja sama, karena mereka sudah saling mengenal dan saling paham budaya kenerja jahat mereka satu sama lain. Maka selanjutnya, dikondisikanlah berkas perkara naik banding, kembali untuk mengalahkan tergugat, tentu kembali para pelaksana administrasi meminta berkas hardcopy dan berkas softcopynya, disinilah kembali berkas perkara naik banding kembali direkayasa melalui softcopy sehingga menjadi hardcopy yang disampaikan kepada tim hakim Pengadilan Tinggi. Pekerjaan kotor mafia yang dikomandoi oleh Pengacara Penggugat memang sudah lama terjadi seperti ini. Pekerjaan rekayasa cara mafia seperti ini masih berlangsung sampai hari ini pada Mahkamah Agung RI.

Maksud diadakannya Pengadilan yang bertingkat : Dari Pangadilan TK.1, bisa naik banding ke Pengadilan Tinggi, lalu bisa Kasasi ke Mahkamah Agung RI, adalah untuk mengoreksi berbagai keputusan Hakim, karena Hakim sebagai manusia yang tidak luput dari kekhilafan, kekurangan sehingga putusannya belum tentu bisa adil, cermat dan tepat. Untuk mengantisipasi ketidak adilan inilah Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung sebagai koreksi agar masyarakat bisa mendapatkan rasa keadilan yang memuaskan. Kenyataannya saat ini di Indonesia, justru Pengadilan bertingkat ini dijadikan ajang mafia untuk menghasilkan ke-tidak adilan oleh para oknum administrator tingkat bawah, oknum Panitera dan oknum para Hakim hanya untuk memperoleh uang haram.

Kalau hal ini masih terjadi di masa Reformasi ini, maka dipastikan sebenarnya reformasi hanya selogan belaka dan reformasi yang dicanangkan oleh Pemerintah selama ini adalah gagal total. Pengadilan Negeri adalah merupakan wadah pencarian dan mendapatkan keadilan dari seluruh rakyat, tapi kenyataan yang terjadi, KETIDAK ADILAN lah yang banyak didapat dan dirasakan oleh rakyat yang berperkara dan sangat banyak putusan vonis inkrakh yang salah sasaran mengandung ketidak adilan dan ketidak benaran bisa selalu dimenangkan oleh tim hakim dan kebenaran serta keadilan telah dikuburkan oleh para hakim jahat. (Ashwin Pulungan)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun