Oleh : Ashwin Pulungan
Setiap orang pasti jengkel, marah, jijik bila bertemu dengan hewan yang satu ini yaitu tikus sawah yang bersarang seenaknya atau masuk dirumah kita. Pernah suatu ketika, ketenangan dirumah diganggu oleh kehadiran sang tikus abu-abu berbadan cukup besar sehingga setiap orang memburu dan mengepung sang tikus, pokoknya ruang tengah rumah menjadi hiruk pikuk untuk menghukum mati si tikus pada saat itu. Mengapa semua individu dalam rumah turut serta dan kompak secara spontan memburu si tikus tersebut ? Â Karena tikus pada memori setiap orang adalah makhluk jahat, suka merusak, Â licik suka sembunyi jika ketahuan, suka mencuri, kotor, bau, penyebar penyakit pes sehingga menjadi musuh bebuyutan yang dibenci bersama bagi setiap orang turun-temurun. Bahkan perangkap tikuspun menjadi komoditas bisnis yang ada dijual pada setiap toko kelontong dan super market. Begitu hebatnya motivasi gerakan masyarakat menangkap tikus untuk menuju tahapan eksekusi hukuman mati bagi sang tikus.
Penegakan Hukum Indonesia Sangat Lemah.
Mendengar Korupsi dan adanya pelaku korupsi, banyak masyarakat kita juga merasa marah, jengkel, benci layaknya identik seperti pemberantasan kepada sang tikus tadi.  Pada rumah masyarakat yaitu Negara Indonesia ada manusia yang mengadopsi sifat tikus ini malah mereka merupakan para pejabat tertinggi Pemerintah dan pengurus Partai serta para anggota DPR-DPRD. Hanya saja lembaga kepolisian yang berwenang untuk menangkap sang koruptor tidak berfungsi maksimal apabila menghadapi pejabat yang korup bahkan lembaga lainnya seperti kejaksaan dan pengadilan juga belum berfungsi baik sebagaimana harapan masyarakat didalam UU hal ini bisa terjadi karena banyak oknum sdm Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman memiliki permasalahan mafia hukum didalam tubuh instansi dan organisasinya sendiri mengambil sifat tikus tadi yang belum terselesaikan direformasi hingga kini. Adanya lembaga KPK sampai kepemimpinan tahap III Abraham Somad yang disyahkan secara UU bersama Pengadilan Tipikor khusus menangani kasus Korupsi di Indonesia juga belum menampakkan kinerja seperti yang diinginkan masyarakat. Efek jera yang yang diharapkan masyarakat, seperti hukuman mati bagi para Koruptor, belum berani dijalankan para Hakim Tipikor walaupun alat UU untuk memvonis hukuman mati telah ada.
Logika Hukuman Maling Sandal vs Pejabat Maling Milyaran.
Ironisnya, ada siswa SMK di kota Palu Sulawesi Tengah dituduh mencuri sandal jepit seharga hanya Rp. 35.000,- Â milik seorang Briptu Ahmad Rusdi Harahap dari Polda Sulawesi Tengah diancam hukuman 5 Tahun penjara oleh Jaksa. Sedangkan kita ketahui bahwa banyak para Koruptor gendut di Indonesia yang mengemplang, memaling, merampok uang rakyat sampai dengan senilai Rp. 3 s/d 5 Milyar hanya dikenakan hukuman 2 s/d 3 tahun saja yang nantinya juga mendapatkan remisi 50% hukuman sehingga efektif sang koruptor hanya menjalani hukuman selama 1,5 tahun saja.
Kalau hukuman siswa SMK diatas jadi divonis Hakim selama 3 Tahun dan ini kita jadikan sebagai Jurisprudensi, maka para koruptor kita seharusnya dapat diancam kurungan rata-rata selama : Rp. 3 Milyar : Rp. 35.000,- x 3 Tahun = 257.142 Tahun mendapat remisi 50% pun tidak masalah. Artinya, hukuman selama itu adalah pantas merupakan hukuman mati bagi sang Koruptor.
Maling Dana Bansos di Beberapa Daerah Untuk Pilkada.
Adanya kasus sedang mencuat yaitu penyelewengan dana Bansos yang dikucurkan Kemendagri sejak tahun 2007-2010 untuk seluruh Indonesia sejumlah Rp. 300 Trilliun. Diduga kuat banyak diselewengkan oleh para kepala daerah untuk keperluan pemilihan kepala daerah selanjutnya. Kasus ini mirip dengan kasus pengadaan manipulasi kendaraan pemadam kebakaran terdahulu. Hal ini diungkap oleh Rizal Djalil sebagai anggota BPK.
Modus yang dijalankan oleh para kepala daerah adalah menyalurkan dana Bansos kepada beberapa LSM abal-abal rekayasa untuk manipulatif terencana miliknya para kepala daerah serta kepada LSM yang benaran serta lembaga-lembaga lainnya hanya diserahkan sejumlah 50% saja dari dana Bansos yang ditanda tangani pada tanda terima. Alokasi untuk Propinsi Jawa Barat saja ada sejumlah Rp. 836 Milyar bisa dibayangkan bila 50% lebih dimanipulasi oleh kepala daerah maka untuk Jawa Barat saja uang Bansos berpeluang dimanipulasi sejumlah Rp. 500 Milyar dan ini merupakan tugas KPK jilid III.
Pada sisi lain, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan akan menyerahkan bantuan hibah berupa 5.905 unit sepeda motor yang akan diserahkan kepada para Kepala Desa seJawa Barat katanya menggunakan dana APBD sejumlah Rp.85 Milyar. Artinya satu unit sepeda motor itu seharga Rp. 14.394.600,- (cukup mahal jika pembelian secara partai besar). Sepeda motor terdahulu masih layak pakai dan ada di para kepala desa Jawa Barat, tidakkah ini merupakan kebijakan terselubung pencitraan kedesa-desa apalagi Ahmad Heryawan berencana untuk ikut dalam pemilihan Gubernur Jawa Barat lagi pada tahun depan. Enak juga jadi Gubernur, Bupati, Walikota yaaaa.