Beberapa pejabat Pemerintah dan para pakar ekonomi mengatakan sebuah teori bahwa usaha yang dijalankan secara terintegrasi, akan bisa mendapatkan tingkat efisiensi yang tinggi serta bisa menghasilkan produksi yang berdaya saing tinggi. Memang secara teori bisa diperhitungkan, dan secara kenyataan dilapangan juga bisa terjadi apabila manajemen perusahaan terintegrasi dijalankan secara baik dan benar. Kebanyakan perusahaan terintegrasi di Indonesia, selalu dimiliki oleh pihak asing dalam bentuk investasi Penanaman Modal Asing (PMA). Jika hal ini yang terjadi, diperlukan sebuah regulasi (UU) yang baik dan benar, berkeadilan serta pengawasan yang akurat dan ketat dari Pemerintah sebagai pelaksana sekaligus pengawas UU. Sehingga semua pihak pelaku perunggasan baik rakyat pembudidaya, perusahaan besar terintegrasi, tidak saling baku hantam harga didalam pasar yang sama. Disnilah diperlukan segmentasi pasar untuk setiap pelaku usaha didalam negeri Indonesia.
Sistem integrasi yang berjalan selama ini di usaha perunggasan Nasional, adalah dalam bentuk Integrasi yang Vertikal bukan dalam bentuk Integrasi yang Horizontal. Integrasi vertikal yang didominasi oleh PMA inilah penyebab terjadinya kehancuran didalam tata ekonomi perunggasan Indonesia ditambah dengan tidak adilnya beberapa pasal UU No.18 Tahun 2009 tentang “Peternakan dan Kesehatan Hewan” yang berisi berbagai pasal yang sangat memihak kepada usaha terintegrasi dan senyatanya berjalan secara integrasi vertikal. Sebuah perusahaan terintegrasi selama ini, bisa memiliki usaha dari sejak importir bahan baku pakan, pabrik pakan, pabrik pembibitan GGPS,GPS,PS,FS, usaha budidaya komersial, rumah potong unggas, perusahaan koordinasi kemitraan, cold storage, processing serta ratusan outlet penjualan diberbagai kota besar. Setelah berlakunya UU No.18/2009, pangsa pasar usaha perunggasan Nasional berpindah secara cepat kepada perusahaan integrator dengan pencapaian ±80%, ±16% PMDN non Integrasi sisanya ±4% budidaya kemitraan dan peternak mandiri.
Dalam tata niaga perunggasan Indonesia selama ini, perusahaan yang dijalankan secara terintegrasi, tidak menunjukkan potensi kinerja produksi yang bisa memperlihatkan sebuah keunggulan kompetitif dan berdaya saing tinggi, akan tetapi sebaliknya, integrasi usaha didalam tata niaga ekonomi perunggasan malah menghasilkan produksi hasil unggas (tidak hanya harga daging sapi) yang bisa dikatakan sebagai harga protein hewani unggas yang sangat mahal didunia dan tidak memiliki kemampuan daya saing yang tinggi. Sebagai contoh : rakyat Indonesia yang merdeka sudah 70 tahun, memiliki income per capita hanya ±Rp.30 juta, harus membeli karkas daging ayam sebesar Rp.35.000,- s/d Rp.40.000,-/kg, bandingkan dengan rakyat Malaysia yang memiliki income per capita ±Rp.104 juta, membeli karkas daging ayam hanya sebesar Rp.14.000,- s/d Rp.15.000,-/kg.
Mengapa hal ini bisa terjadi di Indonesia? Karena tata niaga ekonomi perunggasan, selama ini berjalan secara Kartel dan Monopoli, Oligopoli, apalagi UU No.18 Tahun 2009 tentang “Peternakan dan Kesehatan Hewan” merupakan UU yang mendukung dan melegalkan kejahatan ekonomi secara Kartel dan Monopoli serta Oligopoli. Akibat semua kejahatan ini adalah bentuk pemerasan kepada konsumen Indonesia. Mahalnya harga hasil produksi unggas di Indonesia, karena harga yang dibentuk dari kejahatan ekonomi, sehingga para perusahaan terintegrasi besar yang menguasai pangsa pasar cukup besar, mengeduk keuntungan yang sungguh sangat besar dari konsumen hasil unggas secara Nasional. Disamping UU No.18 Tahun 2009 yang bermasalah, ditambah lagi dengan tidak adanya kehendak Pemerintah Cq. Kementan RI (Dirjen terkait) serta Kemendag RI enggan menjalankan pengawasannya secara baik, benar dan terukur. Kejahatan ekonomi ini tidak mungkin bisa berjalan mulus kalau tidak ada kepentingan dan pembiaran tertentu dari para oknum Pemerintahan selama ini.
Ada hal yang terlihat berubah saat ini adalah seorang Dirjen PKH (Dr.Muladno) di Kementerian Pertanian RI, mau mendampingi para perwakilan peternak rakyat seluruh Indonesia untuk menyampaikan aspirasinya di Kementerian Perdagangan RI untuk bersama sama membahas permasalahan tata niaga di perunggasan Nasional (18/2/2016). Malah Dirjen PKH setuju untuk mencabut UU No.18 Tahun 2009 Jo. UU Ni.41 Tahun 2014 dan ingin mengganti UU No.18 Tahun 2009 menjadi dua UU yaitu UU Tentang Peternakan dan UU Tentang Kesehatan Hewan. Kita apresiasi komitmen Dirjen Peternakan ini. Begitu juga Mentan RI ingin memotong permainan bisnis bahan baku jagung kepada satu pintu yaitu hanya melalui BULOG (Permentan No.57/2015). Jika para pejabat tinggi Negara mau bersatu dengan rakyatnya, maka Indonesia akan mudah menghadapi tantangannya kini dan kedepan.
Seperti yang terjadi sejak tanggal 13 s/d 18 Februari 2016, harga ayam panen (Live Bird=LB) dikandang peternak terus menurun hingga mencapai harga LB sangat tidak wajar anjlok sampai ±Rp.11.500,-/kg. Padahal tadinya harga LB mencapai Rp.23.000,-/kg. Mengapa harga bisa tiba tiba tinggi lalu hanya dalam beberapa hari harga hancur jatuh sampai 50% dan dibawah HPP. Diketahui oleh para pelaku bisnis perunggasan, adanya pemotongan (Cutting) PS (Parent Stock) sebesar ±3 juta ekor yang diharapkan populasi FS (Final Stock) bisa stabil hanya pada ±40 juta ekor saja/pekan dari ±60 juta ekor biasanya permintaan pasar. Cutting PS ini dilakukan adalah atas perintah Dirjen PKH berdasarkan surat Dirjen No.15043/FK.010/F/10/2015 tgl. 15 Oktober 2015 dimaksud agar tidak terjadi over supply mengingat daya beli masyarakat yang sangat lemah. Ternyata dengan adanya izin impor GGPS (Great Grand Parent Stock) inilah permasalahan trend over supply terjadi. Seharusnya disamping cutting PS harus juga dilakukan cutting GGPS, GPS secara proporsional terukur. Harga LB naik Rp.23.000,-/kg didahului naiknya harga DOC dan Pakan adalah disebabkan adanya kartel harga oleh pemain besar integrator unggas karena mereka telah menjalankan usaha terlarang dengan cara monopoli usaha. Dikatrolnya harga LB adalah untuk menekan Pemerintah agar terjadi reaksi yang kuat dari konsumen karkas ayam sekaligus untuk pembentukan alibi dari perusahaan integrator terhadap kelangkaan jangung yang direkayasa integrator, karena Pemerintah akan mengambil alih importasi jagung diserahkan kepada BULOG (Permentan No.57/2015). Sehingga terbentuk opini bahwa mahalnya harga jagunglah (Rp.7.000,-/kg) penyebab mahalnya harga karkas ayam di konsumen. Kejadian ini, menyebabkan KPPU turun kelapangan untuk investigasi permasalahan. Sehingga atas dasar inilah, KPPU menolak adanya pemotongan (Cutting) PS (Parent Stock) sebesar ±3 juta ekor yang juga adanya perekayasaan hilangnya DOC FS dipasar peternak rakyat.
Hancurnya harga LB pada posisi ±Rp.11.500,-/kg jauh dibawah HPP peternak rakyat, hal ini merupakan pembuktian cara dumping yang dilakukan oleh perusahaan integrator terbesar, maksudnya adalah untuk menghancurkan usaha budidaya diluar integrator terbesar. Merupakan harga LB yang tidak logis dalam kondisi pemotongan (Cutting) PS (Parent Stock) sebesar ±3 juta ekor, seharusnya harga LB berada diatas HPP. Ini membuktikan bahwa perusahaan integrator terbesar memiliki kapasitas kandang budidaya yang sangat besar sehingga mampu untuk melakukan dumping harga LB (ini merupakan kejahatan ekonomi). Dalam kondisi ini, cold storage kapasitas besar milik perusahaan integrator terbesar diisi penuh. Cold Storage selama ini digunakan perusahaan integrator untuk melakukan spekulasi serta permainan stock karkas ayam dan permainan harga LB secara Nasional.
Pemerintah terlihat tidak berdaya menghadapi keberanian perusahaan integrator terbesar melakukan kejahatan ekonomi secara Kartel, Monopoli dan Oligopoli serta terang terangan, walaupun banyak masyarakat peternak rakyat memprotesnya melalui demo di Kemendag RI, terlihat dari lambannya solusi yang dapat dilakukan oleh Pemerintah dari dua Kementerian (Kementan dan Kemendag), malah perusahaan integrator terbesar masih saja memposisikan harga LB sangat rendah berada pada kisaran ±Rp.11.500,-/kg s/d ±Rp.12.500,-/kg sampai dengan sore hari (18/2/2016). Sampai pagi ini, 19/2/2016 harga LB sudah mulai bergerak naik menjadi Rp.16.700,-/kg menuju HPP LB.
Solusi :