Ditetapkannya Hadi Poernomo (HP) Ketua BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) sebagai tersangka korupsi, oleh KPK, memang agak mengagetkan kita semua layaknya seperti tertangkap tangannya Ketua SKK Migas Prof. Rudi Rubiandini, Ketua MK H. Akil Mochtar serta tertangkap tangannya mantan Presiden PKS KH. Luthfi Hasan Ishaaq. HP ditetapkan sebagai tersangka, karena HP selaku Dirjen Pajak (2002-2004) ketika itu telah menyalahgunakan kewenangan jabatan dalam keputusannya menerima keberatan wajib pajak BCA tanpa melalui pertimbangan yang teliti dan cermat bersama tim Direktorat PPH (berdasarkan surat edaran Dirjen Pajak sendiri). Lucunya, HP membatalkan (15 Juli 2004) dengan nota dinas terhadap analisa Dirjen PPH (Pajak Penghasilan) yang telah menolak usulan keberatan pembayaran pajak BCA tersebut. Isi dalam nota dinas dari Hadi Poernomo "Agar menerima seluruh keberatan wajib pajak BCA". Akibatnya, terjadi pembebasan pajak sejumlah Rp. 375 Milyar yang diberikan kepada (BCA) Bank Central Asia.
Apakah hanya BCA yang melakukan kecurangan pajak seperti itu ? Dalam perbankan kita, banyak Bank pelaksana yang selevel BCA yang harus melakukan pembayaran pajaknya ke negara. Begitu juga berbagai perusahaan industri, pertambangan mineral, energy serta berbagai perusahaan outo mobil, property, jasa angkutan udara-laut-darat, berbagai perusahaan distribusi barang dan lain sebagainya. Permainan pajaknya selalu dalam berbagai modus, yang salah satunya adalah cara pengajuan "keberatan pembayaran pajak" seperti yang telah dilakukan BCA. Biasanya satu perusahaan yang mengajukan keberatan pembayaran pajak tidak hanya dalam satu tahun saja, akan tetapi bisa bertahun-tahun periode pembayaran pajak usulan keberatan pembayaran pajak itu selalu disampaikan.
Umpamana suatu perusahaan setelah membuat laporan keuangannya dalam satu tahun, maka akan didapat dalam income statement atau laporan laba/rugi perusahaan suatu angka keuntungan tertentu dan masuk sebagai penghasilan kena pajak misalkan sebesar Rp. 800 Milyar, maka pajak yang akan dibayarkan ke Negara setahun dalam suatu perhitungan rumus pajak (25%) sejumlah Rp. 200 Milyar. Dalam income statement, angka Rp. 200 Milyar itu adalah angka yang harus dibayarkan kepada Negara sebagai pajak. Oleh para Direktur Keuangan perusahaan dan mungkin bekerja sama dengan Direktur Utama, uang itu disisihkan pada rekening bank tertentu atau dicairkan secara cash uang yang harusnya masuk kenegara sejumlah Rp. 200 Milyar disimpan sementara oleh mereka, lalu dibuatlah surat resmi dari perusahaan yaitu "surat keberatan pembayaran pajak sejumlah Rp. 200 Milyar" kepada Direktorat PPH Dirjen Pajak Kementerian Keuangan RI dengan berbagai alasan argumentasi dari perusahaan yang mengusulkannya. Dalam tenggang waktu pengusulan dan keputusan analisa penilaian dari pihak Dirjen Pajak, disinilah permainan manipulasinya bersama para oknum Dirjen Pajak. Apabila dalam periode penilaian dan analisa terhadap keberatan itu, diputuskan oleh Direktorat PPH diterima, dan surat persetujuan itu ditanda tangani oleh Dirjen Pajak, maka uang Rp. 200 Milyar akan menjadi bancakan bagi-bagi antara para Direksi Perusahaan dengan para oknum pajabat Dirjen Pajak. Atau bisa jadi angka yang disetujui atas keputusan Direktorat PPH hanya Rp. 100 Milyar yang masuk Negara dan Rp. 100 Milyarnya lagi menjadi bancakan manipulasi para oknum perusahaan dengan oknum Dirjen Pajak. Bagi perusahaan yang membuat laporan keuangannya, uang Rp. 200 Milyar sudah resmi masuk untuk alokasi pajak Negara.
Sebenarnya sejak kasus Gayus Tambunan dahulu, KPK sudah bisa membongkar seluruh kejahatan yang terjadi di Dirjen Pajak khususnya dan Kementerian Keuangan pada umumnya. Kasus Gayus Tambunan sangat berpeluang menjadi pintu masuk pembongkaran tuntas "Permasalahan Perpajakan Nasional" Sangat disayangkan kehebohan kasus Gayus Tambunan tersebut hanya menghukum seorang Gayus Tambunan sang pegawai kecil saja bersama beberapa orang yang kedudukan jabatannya tidak begitu tinggi.
Bisa dihitung, betapa besarnya kebocoran uang Negara dari pendapatan pajak Negara selama ini, jika praktek manipulasi pola seperti ini masih berlangsung hingga sekarang. Ratusan ribu perusahaan besar dan menengah di Indonesia mayoritas berpeluang sangat besar untuk membuat "surat keberatan pembayaran pajak" secara aspal (asli tapi palsu) yang akhirnya dimanipulasi antara para Direksi perusahaan dengan para oknum Pajak termasuk para petingginya. Mau dibawa kemana Negara Indonesia kalau para pejabat tingginya, para legislatifnya bermanipulasi ria ? (Ashwin Pulungan)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H