Ketika kami memiliki persoalan pengrusakan dan penghinaan, melaporlah kami ke Polsek setempat. Kami diterima dengan baik oleh anggota kepolisian, lalu kami dimintai untuk membuat "Berita Acara" (BA) yang sesuai dengan kejadian yang kami alami dan saat itu Polsek telah menggunakan komputer dan printer. Setelah BA selesai dan ditanda tangani, kami diberi tahu bahwa besoknya sampai dua hari yang akan datang, dua anggota Polisi akan memeriksa pihak terlapor di tempat kejadian peristiwa (TKP). Kami menunggu pada hari-hari yang dijanjikan, maksud kami agar kami bisa dijadikan saksi apabila Polisi memerlukan. Sampai hari ketiga, keempat sampai sepekan, Polisi masih belum datang juga. Kabar per Hp maupun telepon kami tidak diberi tahu. akhirnya pada pekan kedua kami datang ke Polsek untuk menanyakan perkembangan laporan kami, disaat itu dikatakan bahwa alasan Polisi tidak bisa datang ke TKP karena ada pendadakan pergantian personil dipindahkan ke Polsek lainnya. Pada saat itu kami terheran-heran tentang kinerja serta organisasi Polisi, bagaimana mungkin hanya dengan perpindahan/mutasi saja tindakan Polisi tidak jalan. Selanjutnya kami di anjurkan bila perkara ini ingin dilanjutkan maka kami harus membuat BA lagi seperti semula berhadapan dengan aparat Polisi yang baru. Membosankan. Setelah selesai BA kami seperti semula menunggu tindakan kepada terlapor, akan tetapi tetap saja berpekan-pekan kami tunggu Polisi belum saja datang ke TKP. Kamipun bosan dan patah arang untuk tidak lapor ke Polisi lagi. Kami perpikir, kalau Polisi budayanya demikian apakah dibenarkan untuk melakukan tindakan sendiri atau main hakim sendiri untuk memberi pelajaran kepada si terlapor ?
Selanjutnya kami pernah diberi amanah dari orang tua di Cirebon, untuk menyampaikan surat penundaan hadir di POLDA JABAR dari seorang karyawan dari orang tua kami yang turut membongkar sebuah kasus Jaringan Narkoba yang juga melibatkan pimpinan kepolisian setempat serta beberapa anak buahnya. Pada saat kami sampai di Polda, kami menuju ke bagian penanganan kasus Narkoba. Kami sampaikan surat tersebut kepada pimpinan bagian narkoba saat itu, akan tetapi kami harus menunggu untuk pemeriksaan kata Polisi saat itu, padahal kami hanya menyampaikan sebuah titipan surat dari seorang yang turut serta membongkar kasus Narkoba. Kami diperiksa dengan berbagai pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu oleh beberapa petugas kepolisian layaknya pertanyaan tersebut kami sebagai tersangka. Kami katakan bahwa kami hanya tahu dititipi sebuah surat dari Cirebon untuk bagian Narkoba POLDA JABAR, akan tetapi beberapa Polisi tersebut tetap ngotot menanya ini dan itu yang kami tidak mengetahuinya untuk menjawab. Akhirnya kami melapor melalui hp kepada salah seorang saudara di MABES POLRI dan beberapa petugas menanyakan mau telepon siapa, saya bilang saudara saya di Mabes. Setelah saya bicara panjang lebar di telepon, satu per satu para anggota yang menginterogasi kami keluar dan tinggallah seorang pimpinan bagian lalu dia katakan yaaa sudah saja lupakan saja peristiwa tadi dan anda bisa pulang. Inilah salah satu kebobrokan kepolisian kita.
Dalam kehidupan dimasyarakat sehari-hari, kami juga tidak merasa adanya Polisi yang patroli walaupun ada Polsek. Keamanan setempat selalu dijaga oleh komunitas masyarakat, pengamanan selalu dilaksanakan secara mandiri. Kami merasa tidak ada satupun Polisi yang berpatroli masuk dan keluar dari satu perkampungan ke kampung lainnya. Kami merasa keamanan lingkungan masyarakat tidak ada peran serta Polisi.
Pantaslah apabila kita membaca pada beberapa media elektronika digital atas survey Imparsial di kota Jakarta dikatakan bahwa ketidak puasan kepada Kepolisian mencapai angka 61% lebih dan dibebarapa kota dan daerah lainnya angka tersebut bisa lebih tinggi lagi.
Kita ketahui bersama bahwa masih banyak oknum aparat Kepolisian yang terlibat dalam berbagai kasus seperti : pemerasan kepada beberapa individu dan perusahaan, korupsi dalam lingkungan kepolisian, keterlibatan dalam pencurian kendaraan bermotor, keterlibatan dalam jaringan perdagangan Narkoba, keterlibatan dalam pungutan liar di jalan raya, keterlibatan dalam melakukan penyiksaan dan penyidikan, keterlibatan dalam praktek mafia hukum bersama para pengacara. Keterlibatan manipulasi barang bukti sitaan. Serta banyak kasus lainnya.
Inilah wajah buruk Kepolisian kita saat ini, dimana masyarakat mengharapkan perlindungan dan penegakan hukum kepada Polisi disitu pulalah para oknum Polisi disaksikan masyarakat melakukan pelanggaran hukum. Selanjutnya dimana masyarakat berharap Polisi bisa menindak kejahatan, disitu pulalah masyarakat menyaksikan para oknum Polisi melakukan kejahatan. Banyak lagi yang bisa disampaikan tentang tindak kejahatan yang dilakukan para oknum kepolisian.
Untuk memberantas para teroris, Polisi melalui satuan Densus 88-nya cukup membanggakan walaupun ada tersirat kesan berlebihan, kapan Polisi RI melakukan kinerja yang sama seperti Densus 88 untuk memberantas para KORUPTOR sampai keakarnya bahkan Polisi bisa menangkap para oknum petinggi Polisi sendiri yang selama ini dikatakan sebagai Polisi Gendut yaitu kekayaan spektakuler yang diperoleh dari sumber yang tidak wajar sebagai Polisi RI.
Dengan kenyataan ini, Pemerintah seharusnya bersegera membenahi carut-marutnya serta amburadulnya KEPOLISIAN RI agar CITRA Polisi dapat dikembalikan kepada missinya semula yaitu Polisi sebagai Pelindung dan Pengayom Masyarakat agar terjadi ketertiban dan kenyamanan berkehidupan dalam masyarakat. (Ashwnp 18072011)
Salam selamatkan NKRI dari marabahaya KORUPSI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H