Tulisan ini merupakan pengalaman nyata seorang teman yang berurusan dengan "KOMISI YUDISIAL (KY)" teman ini mengalami kerumitan yang mengundang anggapan kuat masih tetap berlangsungnya Mafia Hukum pada jajaran menengah bawah pada lembaga hukum kita. Teman ini  menggambarkan pengalaman ketika mengalami persidangan betapa carut-marutnya Pengadilan Agama Islam Negeri disamping para Hakimnya yang sering terpengaruh Mafia Hukum dan para Hakim ini juga memakai KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang telah dicemari oleh Hukum non-Islam selama ini apalagi KHI hanya berstatus merupakan (Inpres) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 kepada Menteri Agama. Teman ini juga mengalami situasi yang sangat mengherankan ketika mengadukan perilaku Hakim yang tidak adil dan sangat berpihak kepada kekuatan duit kepada KOMISI YUDISIAL (KY). Inilah lanjutan pengamatan dan pengalaman teman ini sejak tahun 2007 sampai kini Agustus -September 2011.
Pengalaman saya dengan KY pada tahun 2007.
Saya telah ditipu berupa "Investasi" oleh saudara sepupu suami saya. Selanjutnya Dia pura2 tertipu juga, yang menipu adalah keponakannya sendiri. Kami pakai Pengacara Iwan Hilmansyah (ternyata pengacara bermasalah). Perkara berjalan pincang dan memihak terlihat dari sikap Hakim. Saya tulis keluhan itu di Koran Kompas. Dan Pengacara mengarangkan surat pengaduan ke KY mohon pemantauan. Baru dua hari melapor, sudah datang pemantau namanya Syaiful dan Andi (Andi kini di bagian Pengaduan KY). Katanya mereka sudah cek ke kantor Panitera. Kata Syaiful, yang mantan Pengacara di Bandung, saya harus punya bukti2 indikasi "suap" atau bukti foto Hakim" bertransaksi" dengan pihak lawan. (Apakah Mungkin ?!)
Saya berupaya mengajak  orang KY itu ke Kantin yang berada di depan PN, dipertemukan dengan kedua Pengacara saya. Sepertinya mereka tidak saling kenal. Kata Pak Syaiful : "Nah, tinggal kepintaran Pengacara untuk NEGO pengembalian uang. Buat apa orang dihukum, uang tidak bisa lagi kembali", katanya. Aneh, tiba2 masuk Terpidana yg baru kemarinnya dikabulkan "penangguhan tahanan"nya, bersama dua pengawal tegap, istrinya dan pengacaranya. Jadi baru keluar "penjara. Si Terpidana sengaja duduk tepat di kursi yg saling berpunggungan dengan saya. Saya memberi isyarat kepada Pak Syaiful, bahwa si Terpidana adalah yg ini. Kemudian Pengacara saya bicara dengan Pengacara lawan minta waktu bertemu.
Namun begitu KY terus minta tambahan bukti, Sungguh saya kecewa datang ber-kali2 ke KY Pernah bersama suami saya juga karena surat undangan resmi KY untuk saya ber-AUDIENSI dengan Komisioner Zainal Arifin. Kami berdua datang tepat waktu, ternyata menunggu dua jam, lalu ternyata Pak Syaiful lagi yang terima saya, dia katakan bahwa sang Komisioner Pak Zainal Arifin tiba-tiba berhalangan. Pikir saya, teguran dari KY akan membuat Hakim benar dan adil dalam PUTUSAN, dan si Terpidana memilih damai dengan mencicil, tidak akan terpantau apalagi tersolusi oleh KY.
Bukti rekaman beda PUTUSAN Hakim antara yg diucapkan dan yang ditulis, di TES oleh Pak Syaiful. Alat perekam sudah siap di ruangan itu, sesuai surat permohonan Audiensi, akan membawa bukti rekaman. Pak Syaiful menyuruh anak buahnya memasang. Ternyata kresek2 tidak terdengar sama sekali. Pertemuan kali itu menjadi NOL kosong. Belakangan ini saya sadar, bahwa Pengacara saya Iwan Hilmansyah pasti sudah kenalan lama dengan Pak Syaiful yg mantan Pengacara di Bandung. Semua hanya SANDIWARA pura-pura tidak kenal. Membuat anggapan kita semua bahwa Pengacara, Hakim dan Yang berperkara bila punya duit, bisa memenangkan sebuah perkara secara tidak adil.
AMBURADULNYA SISTEM ADMINISTRASI KOMISI YUDISIAL (KY)
Terasa sekali KY memberi harapan boleh Audiensi, ternyata waktu saya datang hanya dicegat Sdr. Hardi, staf bagian investigasi. Sebelumnya Hardi menelepon ke Bandung, menanyakan alasan permohonan Audiensi saya.
Saya kisahkan upaya saya ke DPR, kontak telepon dengan Eva Sundari (PDI-P) dan pertemuan dengan Ahmad Yani (PPP) di DPR Komisi III. Ahmad Yani langsung menelepon Pak Suparman Marzuki, Komisioner Investigasi di KY saat itu meneleponnya didepan saya, menyampaikan bahwa saya dulu pernah ceramah di UII Yogya, diundang Senat Mahasiswa UII, diantaranya Pak Suparman (menurut temannya di Yogya). Kemudian nama saya, nomor perkara dan tanda terima pengaduan di KY di SMS-kan oleh Ahmad Yani, dan Pak Suparman berjanji akan memantau segera. Apa hanya sandiwara Ahmad Yani ? begitu tanggap dan cepatnya dia memperhatikan masalah hukum saya.
Ketika saya kembali menelepon KY Jakarta, kata Hardi via telepon, dia tidak tahu soal itu, tetap KY harus tunggu PUTUSAN, dan tidak bisa Audiensi. Maka segera saya susul ke Jakarta, minta bertemu langsung Komisioner Suparman Marzuki hanya 5 menit. Hardi menerima saya, minta rumusan soal yg akan disampaikan, karena Pak Suparman sibuk Ujian Kelayakan (Tes) para Calon Hakim Agung. Mencuat lah dialog : "Masyarakat sering salah tafsir Bu, bahwa KY bisa masuk ke materi perkara. O, tidak, Bu, itu wilayah "kekuasaan Hakim".
Kilah2 ini yg sering didengar orang kalau KY mulai memandang sepele pada perkara yg dilaporkan. Yakni perkara yg terlalu kecil untuk diurus secara nasional oleh lembaga sekaliber KY sehingga harus tersingkir, tetapi sayang kalau "dibuang" karena cukup "bernilai" bagi pembelajaran atau petualangan hukum karena yang akan saya ungkap untuk KY adalah tentang perilaku jahat hakim dan mafia hukum pada acara pengadilan yang saya alami dan banyak masyarakat mengalaminya juga. Timbul prasangka "diperjual-belikan" (???!!). Karena pernah saya alami tidak jelasnya fungsi KY dan kelambanannya. Beban membuat pengaduan terlalu berat syarat2 nya, disuruh tambah bukti2 terus-menerus, tetapi apakah itu ada gunanya ? Bahkan alat bukti-bukti administratif dari instansi hukum yang rumit didapat diminta dan masyarakat biasa tidak berwenang mendapatkannya. Sejak kapan perkara mulai "disepelekan", si pelapor pencari keadilan tidak akan tahu. Keluhan, telepon dan bukti2 diterima terus oleh Lembaga KY, sampai diujung, akhirnya ditolak juga.