Swasta bisa mengatur Pemerintah, karena didalam Pemerintah sangat banyak OKNUM sehingga Pemerintah menjadi sangat tidak BERWIBAWA. Oknum di Pemerintah ini, selalu mendapatkan uang haram dari pihak Swasta, karena kemauan para Oknum ini mau diatur atau dipelihara (seperti peliharaan rumahan) oleh pihak swasta. Para oknum ini sering menjadi aparat pemerintah yang selalu merugikan rakyat, karena UU dan ketentuan lainnya akan sangat bisa dia perjual belikan demi kepentingan pihak swasta dan mereka memakai baju Pemerintah serta fasilitas dan bertindak sebagai Pemerintah. Kondisi inilah yang sedang berjalan di kehidupan kita sehari hari saat ini.
Semakin parahnya permasalahan Perunggasan adalah terjadi karena dipeliharanya dan tetap berlangsungnya UU No.18/2009 Jo.UU No.41/2014 akibatnya berdampak kepada rusaknya tata niaga dan tidak adanya Segmentasi Pasar serta HILANGNYA KEADILAN BERUSAHA di Indonesia pada sektor usaha Perunggasan.
Dampaknya adalah semua output produksi LB yang semuanya bermuara kepada pasar tradisional, maka terjadilah tarung harga didalamnya. Jika harga LB yang sekalipun baik diatas HPP, akan sering terjadi juga harga LB jauh dibawah HPP yang tetap saja hal ini adalah sebuah ketidak adilan UU, karena yang kuat modal akan sangat mudah menguasai dan mendominasi serta menghancurkan yang lemah modal.
Disyahkannya UU No.18/2009 memunculkan kerakusan berniaga untuk menguasai pangsa pasar Nasional dari pihak yang merasa terbesar dan sangat bertentangan dengan UU No.5/1999. Adanya nafsu “Double Comsumption (DC)” adalah sebagai wujud strategi keserakahan berbentuk konspirasi dari perusahaan integrator terbesar, dari DC ini, mereka mendapatkan dana besar Triliunan Rupiah dari sindikasi perbankan Nasional tanpa jaminan tentu atas rekomendasi BI (Bank Indonesia) yang berhasil diperdaya karena tim BI tanpa mau melihat dampak negatifnya atas presentasi mereka, yaitu dana besar Triliunan rupiah ini menjadi Predator bagi usaha menengah kecil pada sektor usaha yang sama.
Pembangunan dalam skala besar terhadap kandang budidaya Farm Close House (FCH) yang dilakukan perusahaan terbesar integrator, adalah realisasi dari DC ini yang telah dibangun diberbagai lokasi (sehingga ada usulan moratorium kandang budidaya FCH dari Peternakan Rakyat di dalam MOU) karena jumlah kandang budidaya FCH yang dibangun dalam kapasitas sangat besar jumlahnya.
Kalau sudah terjadi masing masing Perusahaan terintegrasi menjadikan perunggasan sebagai Industri, hingga mencakup budidaya FS, INI ADALAH KESALAHAN BESAR SEBUAH NEGARA, karena budidaya dan pasar dalam negeri yang tadinya dijalankan sepenuhnya oleh Peternakan Rakyat selama 42 tahun dengan UU No.6/1967, sekarang budiaya dan pasar dalam negeri juga dimiliki oleh para perusahaan besar terintegrasi, akibatnya, akan terjadi perang dagang besar diantara perusahaan integrator yang masing masing akan mendahului yang lainnya.
Akibatnya, ada salah satu perusahaan integrator bisa memasukkan GGPS dan yang lainnya tidak. Yang lainnya hanya bisa memasukkan GPS strain tertentu (bisa tidak ekonomis), akibatnya sumber bibit akan menumpu kepada hanya satu perusahaan dan inilah yang membuat diantara para perusahaan integrator saling tidak teratur didalam memproduksi bibit (modal GPS) disetiap BF (Breeding Farm) mereka. Dampaknya adalah OVER SUPPLY yang senantiasa membayangi (ini adalah manajemen bibit didalam poultry industry yang sangat primitif dan terjadi di Indonesia). Yang terjadi adalah manajemen kerakusan berusaha menghalalkan segala cara. Akibatnya over supply. Diharapkan Pemerintah mendata dan memeriksa keberadaan GGPS milik salah satu perusahaan Integrator di Indonesia.
Semua Permentan yang telah diterbitkan dan yang akan dibuat, menjadi tidak akan ada artinya dan tidak akan efektif jika Permentan itu masih saja mendasari kepada UU No.18/2009. Upaya untuk kembali membuat berbagai Permentan, adalah hanya buang waktu dan hanya upaya pengalihan secara terencana dari pihak salah satu perusahaan Integrator terbesar agar UU No.18/2009 Jo.UU No.41/2014 tetap berjalan. Jawaban solusinya adalah PEMERINTAH segera membuat PERPPU PETERNAKAN untuk menggantikan UU No.18/2009 yang didalamnya ada SEGMENTASI PASAR yaitu : 100% usaha budidaya dilakukan sepenuhnya oleh PETERNAKAN RAKYAT dan KEBUTUHAN PASAR DALAM NEGERI diperuntukkan SEPENUHNYA KEPADA usaha budidaya PETERNAKAN RAKYAT.
Peternak Unggas Rakyat, jangan cepat terpedaya dengan wacana BUMN PERUNGGASAN lalu melupakan yang terpenting yaitu UU No.18 Tahun 2009 Jo.UU No.41/2014 yang harus segera direvisi TOTAL lalu Pemerintah segera membuat PERPPU atau PERPRES. Dalam hal REVISI TOTAL UU No.18 Tahun 2009 Jo.UU No.41/2014, Pemerintah bisa membuat menjadi dua UU yaitu : UU-PETERNAKAN DAN TATA NIAGA terpisah dengan UU-KESEHATAN HEWAN.
Dengan Pemerintah membuat PERPPU PETERNAKAN saja untuk menggantikan UU No.18/2009 secara sementara, lalu didalamnya ada Pasal SEGMENTASI PASAR yang mengembalikan lagi BUDIDAYA dan PASAR DALAM NEGERI kepada BUDIDAYA PETERNAKAN RAKYAT, semua ini akan menjadi terselesaikan semuanya, sekaligus ada KEPASTIAN PASAR bagi PETERNAKAN RAKYAT. Peternakan Rakyat mengusulkan bagaimana perputaran uang di ekonomi perunggasan yang bisa mencapai ±Rp.500 Triliun/tahun, bisa sebesar besarnya mensejahterakan PETERNAKAN RAKYAT.
Hal ini, sudah merupakan solusi paling tepat sehingga posisi keberadaan Peternakan Rakyat yang katanya tinggal ±15% bisa secepatnya di berdayakan dari DITERPURUKKAN. Sehingga bisa bertumbuh menjadi 100% kemampuan Budidaya dan Pasar Dalam Negeri dan bisa diatur secara bertahap di PERMENTAN BUDIDAYA PERUNGGASAN. Kita sebenarnya belum memerlukan BUMN Perunggasan jika KEPASTIAN PASAR bagi usaha Peternakan Rakyat ada.