Menteri Pertanian RI Ir. Suswono mengatakan dengan gagahnya bahwa usaha perunggasan Nasional harus didukung dan diberikan kesempatan untuk terus tumbuh dan berkembang, jangan sampai industri perunggasan dalam negeri yang sudah dibangun sekian lama hancur karena Impor. Pernyataan tersebut menunjukkan besarnya keberpihakan sang menteri Pertanian kepada para perusahaan industri perunggasan PMDN dan PMA besar yang telah lama menghancurkan ratusan ribu usaha peternakan unggas rakyat di dalam negeri sehingga menimbulkan pengangguran baru dibidang perunggasan. Bahkan usaha pertanian jagungpun tidak kondusif karena patani jagung selalu dipermainkan dengan harga murah hasil panennya. Kulminasi penghancuran usaha rakyat ini, adalah digantinya UU No.6 Tahun 1967 menjadi UU No.18 Tahun 2009 (yaitu UU yang melegalkan kejahatan ekonomi unggas menjadi UU).
Kelompok Tantangan Pertama :
Tantangan yang pertama ini adalah tantangan yang sangat berat selama ini dialami pada sektor perunggasan Nasional dan terjadi sejak 5 tahun setelah berlakunya UU No.6 Tahun 1967. Pada awal berlakuknya UU No.6 Tahun 1967, peternakan rakyat sangat berkembang sehingga merupakan primadona usaha masyarakat yang sangat menjanjikan pendapatan dan peningkatan kesejahteraan hidup hanya beternak unggas dengan populasi 5.000 ekor saja dapat mendatangkan penghasilan yang sangat lumayan. Pada periode ini, usaha perunggasan Indonesia telah memasuki tahap awal pertumbuhan yang ditunjukkan dengan besarnya perputaran uang pada usaha di sektor ini. Jerih-payah Pemerintah untuk men-sosialisasikan ayam-ras dimasyarakat agar mau memakan daging dan telur ayam-ras serta mau membudidayakan ayam-ras untuk pendapatan tambahan masyarakat adalah sangat berhasil dan telah menyerap tenaga dan dana triliunan rupiah untuk membiayai program sosialisasi budidaya ayam-ras dengan nama program Inmas-Bimas Perunggasan pada periode itu.
Pada periode Inmas-Bimas Perunggasan, Pemerintah telah memprogram bidang-bidang usaha bagi masyarakat yaitu sektor hulu dengan pabrik Pakan (Feedmill) dan Pembibitan (Breeding Farm) dapat dikelola oleh swasta baik untuk PMA maupun PMDN. Sedangkan sektor hilir untuk budidaya, pemotongan sepenuhnya dilakukan oleh masyarakat peternak dan pemasarannya adalah pasar-pasar tradisional didalam negeri. Periode awal pertumbuhan yang dapat disebut periode emas dan primadona perunggasan Nasional, telah merambah kemasyarakat sehingga menjadi usaha sampingan/utamayang sangat diminati masyarakat. Pada saat itu lahirlah wadah asosiasi peternakan rakyat dengan nama Perhimpunan Peternak Unggas Indonesia (PPUI) pada tanggal 11 Januari 1970.
Periode sampai dengan Tahun 1980-an dimana berlakunya Keppres No.50 Tahun 1981 sampai dengan Tahun 1985 adalah merupakan periode puncak kemampuan kandang budidaya-komersial peternakan-rakyat yang dapat mensuplai kebutuhan protein hewani asal unggas untuk kebutuhan Nasional dan bahkan pernah terjadi over suplai dari kandang rakyat. Pada saat itu, perputaran uang dalam bisnis perunggasan Nasional telah mencapai ±Rp. 10 Triliun per Tahun (suatu jumlah yang cukup besar pada saat itu). Periode tahun 1985 sampai dengan tahun 1990 pertumbuhan kebutuhan protein hewani unggas ras ini meningkat terus sehingga dapat mencapai perputaran uang±Rp. 20 Triliun per Tahun. Pada periode inilah perusahaan PMA mulai memaksakan diri memasuki lahan usaha budidaya peternakan rakyat dengan cara mereka membentuk dan membuat perusahaan-perusahaan dibidang perunggasan berstatus PMDN dan Koperasi rekayasa. Pada saat periode ini mulai terjadi politisasi usaha unggas dengan cara kartel dan monopoli usaha dimana para Breeding Farm (BF) mereka mengeluarkan DOC (Day Old Chick) secara berlebihan dengan target terjadinya over-suplai di peternak rakyat dan sering DOC dilangkakan sehingga harga DOC mahal dan terjadi berkali-kali sehingga timbul permasalahan dan benturan peternakan-rakyat dengan Pemerintah dan perusahaan PMA. Selanjutnya untuk memuluskan rencana mereka lebih jauh, perusahaan PMA memasuki lahan usaha peternakan rakyat, melalui tokoh perusahaan PMDN dipengaruhilah banyak oknum pejabat Pemerintah di Departemen Pertanian cq. Direktorat Peternakan pada saat itu untuk menggantikan Keppres No.50 Tahun 1981 dan diisukan bahwa Keppres tidak aspiratif lagi melalui banyak Seminar oleh para pakar-sarjana perguruan tinggi yang dibayar oleh perusahaan PMA tersebut. Banyak para pakar peternakan saat itu tidak sadar bahwa dia telah menggunakan keahliannya untuk menghancurkan usaha rakyatnya sendiri turut serta bersama perusahaan PMA menggusur usaha budidaya peternakan rakyat. Penggusuran ini tentu saja melalui Keppres baru pengganti Keppres No.50 Tahun 1981 sehingga terbitlah Keppres No.22 Tahun 1990 yang isinya sudah dimasuki pemikiran dan kepentingan pihak investasi asing melalui tangan para ahli dan pakar peternakan kita. Keppres No.22 Tahun 1990 berakhir pada bulan 23 Juni2000 berdasarkan Keppres pencabutan No.85 Tahun 2000. Pada saat itu yang terjadi adalah Intervensi serta pelanggaran terhadap peraturan Pemerintah dan UU No.6 Tahun 1967 yang dilakukan para perusahaan PMA & PMDN serta sekutu mereka sehingga posisi budidaya-komersial peternakan rakyat yang tadinya ± 90% kini hanya tinggal kurang dari ±8%-nya.
Pada saat ini setelah berlakunya UU No.18 Tahun 2009, peternakan unggas nasional telah sepenuhnya merupakan industri dan peternakan rakyat secara mandiri tinggal dihitung jari dan pada kondisi kehancuran usaha. Kalau Menteri Pertanian Ir. Suswono menyatakan perlindungan usaha perunggasan Nasional, artinya adalah melindungi para perusahaan PMA dan PMDN kolaborator mafia unggas yang telah menguasai pangsa pasar Nasional sebesar ±70% (Selama ini PPUI menyebutnya sebagai kejahatan ekonomi PMA melakukan Kartel & Monopoli usaha). Negara Indonesia saat ini melindungi para perusahaan PMA dengan UU No.18 Tahun 2009. Seharusnya yang dilindungi adalah usaha rakyat banyak yang terlibat dalam ekonomi unggas. Setelah berlakunya UU No.18 tahun 2009, tidak boleh lagi adanya pernyataan melindungi perunggasan nasional karena usaha peternakan rakyat terancam sampai kedesa-desa, karena secara nyata usaha rakyat telah habis dan yang ada hanya usaha perunggasan secara industri oleh para perusahaan PMA dan PMDN termasuk para asosiasi perunggasan kolaborator didalamnya seperti GPPU, GPMT, FMPI, GOPAN, GAPPI, serta aneka asosiasi bentukan baru peternak kemitraan yang ada dibeberapa daerah adalah merupakan asosiasi rekayasa PMA yang turut serta dalam melakukan kejahatan ekonomi unggas nasional dengan cara Kartel serta Monopoli usaha. Para asosiasi ini akan digunakan oleh perusahaan PMA untuk melindungi usaha kotornya mengeduk keuntungan ekonomi unggas di Indonesia melalui opini seolah-olah seluruh aspirasi masyarakat peternak Indonesia.
Hal yang tidak lazim, selalu terjadi dalam usaha unggas harga pokok yang selalu naik, akan tetapi tidak diikuti dengan kenaikan harga panen unggas peternak di konsumen pedagang sehingga terlihat situasi yang aneh dalam sistem ekonomi unggas. Hal ini membuktikan bahwa nyata ada yang salah dalam tataniaga komoditas unggas nasional dan ini luput dari perhatian Pemerintah.
Kelompok Tantangan Kedua :
Iklim dunia yang berubah karena adanya akibat dari efek rumah kaca yaitu berupa pemanasan global, akan mengakibatkan harga biji-bijian dunia meningkat serta biaya tranportasi laut yang juga meningkat (badai laut ada dimana-mana). Peternakan unggas Indonesia yang masih banyak bergantung kepada komponen impor, akan sangat berdapak.
Beraneka penyakit unggas akan meningkat karena tingkat kelembaban permukaan bumi meningkat sehingga biaya penanggulangan penyakit unggas juga akan meningkat.
Kemungkinan terjadinya penyakit antar negara tetangga yang bersifat mewabah (endemi/pandemi) karena adanya rekayasa ekonomi oleh beberapa pengusaha, bisa saja memasukkan ternak atau alat/bahan peternakan dari daerah yang mewabah. Sangat perlu diperketat pengawasan pintu masuk barang seludupan di beberapa daerah.
Solusi Perunggasan Jangka Pendek :
Adanya aktifitas MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang telah mengeluarkan pengakuan halal kepada 4 lembaga sertifikasi halal AS, membuat para industriawan PMA unggas di Indonesia ketakutan adanya impor CLQ, sehingga perusahaan PMA mengirim para asosiasi bentukan PMA (FMPT, GPPU, GPMT, GOPAN, GAPPI, Pinsar, ASOHI) kepada Menteri Pertanian dam MUI untuk melakukan pernyataan penolakan importasi daging unggas dari AS dengan menggunakan Pasal dalam UU No.18 Tahun 2009 yaitu Pasal 36 ayat 4 “Pemasukan hewan atau ternak dan produk hewan dari luar negeri, dilakukan apabila produksi dan pasokan hewan atau ternak dan produk hewan di dalam negeri belum mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat”.
Harga yang sangat mahal untuk produk karkas bersih dikonsumen yang mencapai Rp. 22.000,- s/d Rp. 24.000,-/kg menunjukkan tidak efisiennya integrasi industri unggas di Indonesia yang dikuasai PMA. Mencermati harga harga non boneless/skinless dari industri unggas AS yang hanya US ±$.1,55,-/kg (FOB), sedangkan harga boneless/skinless thights hanya US $. 2,25,-/kg. Membandingkan kenyataan ini, betapa mahalnya harga daging unggas di Indonesia.
1. Mahalnya daging unggas di Indonesia, menyebabkan konsumsi daging unggas di masyarakat sangat berkurang, apalagi daya beli masyarakat yang sangat melemah saat ini. Atas dasar mahalnya harga daging unggas di Indonesia sehingga belum mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat, maka Pemerintah harus membuka “IMPOR DAGING UNGGAS” agar daging unggas dapat terjangkau dibeli oleh masyarakat Indonesia.
2. Usaha perunggasan Nasional yang berjalan selama ini telah dikuasai oleh perusahaan industri PMA dengan membunuh para peternak plasma rakyat dengan cara Kartel & Monopoli usaha, sehingga selama ini kehadiran para perusahaan PMA tidak mendatangkan manfaat bagi peternak plasma bahkan mendatangkan beban hutang bagi peternak plasma. Atas dasar ini, PPUI berharap agar pemerintah mengundang serta mengajak investor asing baru dari ASuntuk berinvestasi di usaha perunggasan agar peternak plasma rakyat bisa hidup kembali dalam omzet ekonomi unggas yang telah mencapai Rp. 140 Triliun/tahun.
Kemitraan yang selama ini berjalan antara peternakan rakyat plasma dengan perusahaan besar PMA adalah memposisikan peternak (plasma) pada posisi sangat lemah tidak ada kesetaraan posisi apalagi keadilan dan disamping itu perusahaan besar sebagai inti juga memiliki kandang komersial farm budidaya yang sama dengan budidaya kemitraannya dan hasilnya juga dipasarkan pada pasar yang sama yaitu pasar becek (Pasar Tradisional) sehingga harga jual selalu hancur. Dalam hal ini pihak plasma selalu merugi dan menderita.
3. Para perusahaan PMDN yang tidak memiliki usaha secara terintegrasi, segera berbenah menuju usaha yang integrasi penuh dari hilir hingga hulu serta memiliki kemandirian memperoleh bibit serta bahan baku pakan.
Solusi Perunggasan Jangka Panjang :
1. Agar terjadi peningkatan konsumsi protein daging asal unggas, Pemerintah harus berupaya keras untuk mengkondusif-kan suasana usaha para petani, peternak dan nelayan sehingga kebiasaan klasik harga panen jatuh dan over suplai dengan cepat dapat ditanggulangi. Pemerintah saat ini harus secepatnya bertindak untuk mempersiapkan pembangunan Silo-Silo penyimpanan biji-bijian, Cold-Storage untuk penyimpanan Buah-buahan, Sayuran, Protein Hewani serta teknologi terapan untuk pengawetan bahan pertanian dan peternakan. Ini semua dapat didirikan dan diwujudkan didaerah sentra penghasil pertanian dan peternakan-perikanan. Melalui cara inilah, kita dapat dengan cepat meningkatkan pendapatan dan daya beli kelompok 50% petani & nelayan dan mereka ini merupakan konsumen daging ayam dari kelompok kelas menengah kebawah. Pertanian yang sangat erat sekali dengan bisnis perunggasan adalah Pertanian Jagung dan Padi. Didalam komposisi Pakan unggas, jagung mencapai 52%, dedak padi 10%. Apabila Pemerintah dapat memfasilitasi kerjasama (Net-Working) yang sinergis berkesinambungan dan saling menguntungkan antara petani dan pabrik pakan unggas (swasembada jagung), akan terjadi percepatan peningkatan pendapatan petani, lalu akan terpenuhi lebih 62% kebutuhan bahan baku dari dalam negeri sendiri sebagai srategi efisiensi untuk produksi unggas bagi para peternak pembudidaya serta para pabrikan unggas.
2. Menindak tegas dan tuntas perusahaan-perusahaan yang melakukan usaha secara Kartel dan Monopoli dibidang perunggasan yang melanggar UU No.5 tahun 1999.
3. Pemerintah meninjau kembali UU No.18 Tahun 2009 yang telah melenceng jauh dari jiwa UUD 1945.Segera dibuat dalam UU tentang segmentasi pasar dengan cara :
- Pasar dalam negeri sepenuhnya untuk pemasaran dari output produksi budidaya peternakan rakyatdan koperasi.
- Budidaya peternakan dari perusahaan besar atau PMA hanya boleh dipasarkan pada pasar export. (mereka sudah memiliki Breeding Farm, Pabrik Pakan dan Sapronak lainnya yang sudah sangat menguntungkan).
Penciptaan iklim usaha yang kondusif dan/atau meningkatkan kewirausahaan tidak akan tercapai selama pengaturan segmentasi pasar tidak ada.
Semoga tulisan PPUI (Perhimpunan Peternak Unggas Indoneisa) ini menjadi bahan pertimbangan bagi para pakar, tokoh perguruan tinggi, para wartawan dan aparat pemerintah sebagai bahan masukan untuk mengkondusifkan ekonomi unggas Nasional. (000)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H