Presiden Joko Widodo kembali membuat permasalahan baru yang menyebabkan buang energi nasional bagi banyak media dan kalangan hanya untuk mengulas kata "Sontoloyo dan Politisi Sontoloyo" yang di sampaikan Presiden Joko Widodo secara gestur dan intonasi yang agak emosi pada saat acara penerimaan sertifikat tanah di lapangan Achmad Yani Jakarta Selatan Selasa tanggal 23 Oktober 2018 yang juga dihadiri Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Pernyataan Presiden Joko Widodo ini mendapatkan reaksi yang sangat banyak baik yang pro dan kontra di kalangan masyarakat dan netizen sehingga kita kembali terbuang waktu dan energi hanya untuk mengulas pro-kontra tentang cuatan seorang Presiden dalam kata "Sontoloyo". Termasuk penulis saat ini terpaksa mengulas tentang sontoloyo.
Sebaiknya, seorang Presiden tidak terpancing emosinya dengan berbagai bentuk komentar dan ocehan yang mengkritisi kinerja seorang Presiden selama ini dari para Netizern. Wajar saja ada banyak masyarakat yang mengkritik Pemerintahan Jokowi, itu tandanya empati positif dengan kondisi politik, ekonomi dan sosial yang sedang terjadi di Indonesia dan adalah sebuah bentuk keperdulian masyarakat agar kinerja pemerintah bisa lebih baik serta bisa dirasakan oleh semua pihak. Inilah salah satu ciri dan pola sebuah kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Â Â
Kata dan ucap "Sontoloyo" adalah merupakan ucapan kasar berupa sumpah-serapah keseharian yang terjadi didalam masyarakat kita terutama di Pulau Jawa. Sontoloyo hampir sama dengan ucapan sumpah-serapah "bajingan", "jancuk (Jawa Timur)", "pukimak (di Sumatra)", "pantek (Sumatra Barat)".
Sontoloyo menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah kata yang senantiasa dipakai untuk keperluan makian serta umpatan dalam reaksi kemarahan yang artinya adalah "tidak beres", "konyol", "bodoh". Kata sontoloyo juga bisa bermakna : Tolol amat, idiot amat, bego amat, beleguk (sunda), bodoh amat.
Judul diatas hanya penulis tambahkan dengan kata "planga plongo" karena orang yang sontoloyo biasanya selalu planga plongo, karena dia bingung sendiri atas ke-sontoloyoannya, makanya dia bersikap planga plongo artinya tidak mau tau (masa bodoh) yang akhirnya terkaget heran atas reaksi dampak yang bisa timbul dengan makna ucapannya tersebut, apabila kata dan ucapan itu disampaikan oleh seorang tokoh penting dalam masyarakat.
Orang yang sangat suka dengan pencitraan diri, biasanya dialah yang sontoloyo sebenarnya. Menurut kosa kata dan kalimat cerita leluhur Jawa, sontoloyo adalah pengangon bebek. Barisan bebek sangat patuh kepada majikan sontoloyo dan majikan sontoloyo ini, sangat bangga dengan bebek angonannya yang patuh menuruti perintahnya (inilah pencitran semu yang perintahnya hanya dipatuhi oleh para bebek dan pembebek).
Harapan penulis, jika kita berada pada posisi sebagai tokoh penting dalam masyarakat, hendaknya bisa berhati hati didalam mengeluarkan pernyataan atau pidato sehingga bisa menghindari pemborosan waktu dan energi munculnya kelompok yang pro dan kontra di dalam kehidupan masyarakat. Permasalahan bangsa Indonesia akhir akhir ini sudah semakin sangat banyak serta runyam dan janganlah ditambah permasalahan baru lagi. (Ashwin Pulungan)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H