Masa waktu yang panjang terhadap mahalnya harga protein hewani di Indonesia sejak kehadiran periode masa Presiden Gusdur hingga SBY dan sangat diperparah pada masa Presiden Jokowi dengan menghilang-leburkan Dinas Peternakan di daerah dan ada yang disatukan dengan Dinas Ketahanan Pangan dan Dinas Pertanian, kondisi ini akan semakin memperparah posisi pemberdayaan dan pembangunan peternakan Nasional. Selama ini, pembangunan Peternakan Nasional selalu digalakkan dengan berbagai anggaran khusus yang diperuntukkan bagi pemberdayaan peternakan Nasional melalui APBN yang cukup besar. Dengan pengeleminasian dan peleburan tanpa dasar yang realistis Dinas Peternakan, bagaimana mekanisme pertanggungjawaban terhadap realisasi dana besar yang sudah masuk kedalam sektor Peternakan kita selama ini baik di Propinsi dan Kabupaten ?  Â
Adanya potensi sangat besar Peternakan di Indonesia, malah pada waktu itu ada wacana untuk lebih memfokuskan kinerja pembangunan pemberdayaan peternakan Nasional, untuk mengusulkan keberadaan Kementerian Peternakan RI disamping Kementerian Pertanian RI termasuk rencana penggantian UU Peternakan (UU No.18/2009 Jo. UU No.41/2014) menjadi UU yang lebih berkeadilan serta tersistem. Sehingga sinergi antara Pertanian dan Peternakan bisa menghasilkan kemampuan devisa bagi Negara setelah ketercukupan pangan protein nabati dan pangan protein hewani yang terjangkau dan berdaya saing serta berkualifikasi tinggi didalam negeri.
Kehendak Presiden Jokowi pada saat memasuki bulan Puasa tahun yang lalu, yaitu harga daging sapi harus pada posisi harga Rp. 80.000,- per Kg di konsumen, tidak bisa dijawab oleh para pelaku dan penentu kebijakan para pembantu Presiden didalam negeri, yang akhirnya bisa dijawab dengan solusi sangat memalukan bangsa dan Negara yaitu impor daging sapi dan daging kerbau beku dari India yang masih bermasalah dengan penyakit hewan, mulut dan kuku. Disamping itu, adanya permasalahan bancakan rantai rente yang cukup besar atas importasi ini. Â Â
Importasi daging beku hewan besar dari India maupun dari Negara lainnya, sebenarnya sangat mempermalukan Indonesia, karena dunia akan menyatakan bahwa Indonesia tidak memiliki kemampuan sendiri didalam negeri untuk bisa menyediakan protein hewani yang cukup bagi rakyatnya disamping besarnya dan berjangka panjangnya importasi protein nabati kedelai dari Amerika Serikat. Kemampuan swasembada protein, baik hewani dan nabati adalah merupakan unjuk kemampuan genetic selection kepada dunia bahwa Indonesia memiliki ketahanan pangan yang baik serta sangat kuat dan ini ada kaitan erat dengan persediaan logistik bagi ketahanan serta keamanan wilayah teritorial Indonesia juga. Sebuah peperangan tidak diukur dari andalan senjata yang dimiliki saja akan tetapi yang terpenting adalah kemampuan sebuah Negara memiliki cadangan logistik pangan yang besar serta cukup dan mandiri.Â
Memang selama ini dengan keberadaan para Dinas Peternakan didaerah, para SDM-nya tidak memperlihatkan kinerja pemberdayaan Peternakan seperti yang diharapkan oleh seluruh rakyat. Biaya APBN yang di salurkan ke daerah-daerah untuk bidang peternakan banyak yang disalah gunakan dan menjadi ajang bancakan rekayasa negatif anggaran dari para pelaksana kedinasan di daerah. Seharusnya para oknum SDM pelaksana kedinasan peternakan didaerahlah, yang di pecat tegas dan tuntas dan bukan lembaga kedinasannya yang dieliminir. Ibarat ada populasi tikus dirumah, bukan rumahnya yang di bakar/diberangus/dieliminasi akan tetapi para komunitas tikusnyalah yang diberanggus tuntas dari rumah tersebut. Â Â
Perguruan tinggi yang memiliki fakultas Peternakan serta Kedokteran Hewan, sudah banyak menghasilkan para sarjana Peternakan dan Doktor/ahli dibidang Peternakan akan tetapi sangat disayangkan, para ahli dibidang Peternakan ini tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh Pemerintah untuk pembangunan pemberdayaan Peternakan Nasional. Kebanyakam mereka hanya dimanfaatkan oleh beberapa perusahaan besar dibidang peternakan yang hanya memperkaya para kapitalis dalam negeri dan investasi asing dibidang perusahaan peternakan saja.
Sebaiknya Pemerintah menggiring serta melibatkan para ahli peternakan ini,untuk bisa membangun serta mewujudkan sistem terpadu perekonomian peternakan secara Kooperatif yang tersistem dengan sistem Pertanian terkait (Badan Usaha Koperasi) sehingga bisa menjadi andalan kemandirian ketersediaan pangan hewani dan nabati yang tangguh dan berjangka panjang bagi Indonesia kini dan kedepan.
Hanya untuk pengawasan yang akurat terhadap bibit indukan yang diimpor dari berbagai Negara (GGPS-GPS-PS) diperunggasan ayam ras misalnya, Pemerintah masih belum mampu. Audit Breeding Farm untuk bisa menata perbibitan serta ketersediaan Final Stock DOC (day old chick) lebih akurat, belum bisa berjalan akibatnya semua solusi terhadap permasalahan yang timbul penuh dengan keragu-raguan. Kepemilikan data yang akurat dari kemampuan aparat Pemerintah dibidang terkait tidak berjalan baik, sehingga dampaknya adalah solusi berdasarkan data karangan yang mendekati tapi jauh. Terbukti berbagai jenis ketentuan Permentan yang dibuat dengan susah payah (menguras energi sia-sia) tidak bisa berjalan sesuai target. Masihkah kita tega konsisten mengulangi ke sia-siaan ?
Didalam negeri Indonesia, sangat banyak bibit hewan besar asli asal Indonesia seperti Sapi, Kambing, Domba, apalagi Ayam Kampung dan Bebek Kampung berkembang secara inbreeding, akibatnya terjadi saling silang turunan yang mendegradasi kualifikasi bibit hewan besar dan hewan kecil sehingga produktifitas hasil protein hewani asli dalam negeri semakin menurun dan melemah. Sudah saatnya Pemerintah membenahi bibit asli hewan Indonesia menjadi sebuah potensi protein dan ekonomi hewani yang tangguh kedepan. Pada berbagai lokasi daerah kepulauan sangat bisa menjadi andalan Trah (Galur-Line) yang indukannya bisa saling disilangkan dan dipertukarkan. Mungkinkah pemikiran penulis bisa terwujud jika lembaga Dinas Peternakan dieliminasi seperti sekarang ini ? Mungkinkah target 1000 sentra peternakan bisa cepat terwujud ?
Wilayah Indonesia dalam format NKRI memiliki 945 jenis tanaman asli seperti 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, 110 jenis rempah-rempah dan aneka bumbu, 77 jenis sumber karbohidrat, 75 jenis sumber lemak/minyak, 26 jenis kacang-kacangan, 40 jenis untuk eneka bahan minuman dan belum masuk tanaman jenis obat-obatan herbal. Serta 17% spesies hewan/ternak dunia. Ini semua adalah potensi ekonomi Indonesia yang bisa dibangun untuk menghasilkan devisa serta pemberdayaan produtifitas usaha rakyat. Sangat disayangkan angka importasi kebutuhan pangan kita semakin hari semakin meningkat saja. Artinya, Pemerintah sangat lalai memaksimalkan serta memanfaatkan potensi ini secara maksimal dan berkembang serta konsisten.
Dari berbagai input data, importasi Indonesia yang menguras cadangan devisa Negara dan memperkaya Petani dan Peternak luar untuk berbagai komoditas pangan terus membesar. Diantaranya adalah : Â Gandum 4,5 juta ton; Beras 3,7 juta ton; Gula 1,6 juta ton; Jagung 1,3 juta ton; Kedelai 1,3 juta ton; Bungkil kedelai 1 juta ton; Ternak Sapi 450,000 ekor; daging dan jeroan 42 ribu ton; dan Susu, Mentega, Keju 170 ribu ton setiap tahunnya; Tepung ikan. Bahkan Garam, Singkong, berbagai buah-buahan dan Sayuran (Abdurrahman A-2014). Importasi ini sungguh sangat mempermalukan bangsa dan Negara Indonesia. Posisi harga protein hewani besar (sapi) dan hewani kecil (ayam) masih saja konsisten mahal di konsumen. Solusinyapun bersifat sangat sementara.