Dengan berlakunya UU No.18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, kalau dibaca didalam beberapa Pasalnya, dinyatakan bahwa usaha peternakan sudah masuk didalam sebuah aktifitas usaha yang bersifat Industri Korporasi yang padat Modal. Berbeda ketika Indonesia memiliki UU No.6 Tahun 1967 kalau kita membaca Pasal-Pasalnya usaha peternakan merupakan usaha ekonomi komersial yang padat karya yang merupakan Industri berbasis kerakyatan, karena para perusahaan industri makanan ternak dan para perusahaan pembibitan belum masuk kepada usaha budidaya yang saat itu diserahkan kepada sebanyak banyaknya rakyat agar dapat melakukan usaha ekonomi peternakan.
Sejak berlakunya UU No.18 Tahun 2009 hingga kini, usaha peternakan unggas masuk dalam kategori Industri besar Korporasi yang padat modal. Oleh karena itu, sepantasnyalah berbagai komponen bahan baku impor dapat dikenai pajak. Perputaran omzet bisnis perunggasan didalam negeri per tahun saat ini, telah mencapai Rp.460 Triliun. Bisa masuk PPn dan PPh ke Negara setahunnya minimal ±Rp. 65 Triliun dari sektor bisnis perunggasan.
Bila kita perhatikan data FCR (Feed Convertion Ratio) dari tahun ketahun menampakkan angka yang semakin membesar naik pada tahun Tahun 2012 FCR Industri Perunggasan hanya 1,45 saja akan tetapi pada tahun berikutnya terus menaik flat sebesar 0,05 begitu selanjutnya menuju tahun berikutnya. Bahkan di tahun 2017 di prediksi angka FCR mencapai 1,70 (bukannya menurun malah naik dibandingkan FCR tahun 2012).
Angka FCR adalah ukuran penggunaan atau konsumsi pakan untuk menghasilkan 1 Kg berat tubuh hidup ayam Final Stock yang sedang dibudidayakan. Jika angka FCR menaik terus, artinya bibit DOC (Day Old Chick) FS (Final Stock) yang dihasilkan oleh para perusahaan Breeding Farm (BF) adalah bibit yang bermasalah karena FCR-nya meningkat terus setiap tahun 0,05 (angka kenaikan yang sangat besar) untuk setiap tahunnya. Artinya kemungkinan ada permasalahan penyakit atau permasalahan genetika di GPS (Grand Parent Stock) atau di PS (Parent Stock).
Kenaikan FCR yang disosialisasikan oleh GPPU (Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas) ingin menujukkan betapa besarnya konsumsi pakan unggas di Indonesia, sekaligus menunjukkan betapa juga besarnya keuntungan yang didapat oleh para Perusahaan Makanan Ternak (PMT). Kita ketahui bahwa para perusahaan terintegrasi di bisnis perunggasan merupakan para perusahaan industri besar yang sudah terintegrasi secara vertikal didalam jaringan bisnis mereka memiliki Perusahaan Makanan Ternak, Perusahaan Breeding Farm, berbagai Perusahaan Budidaya & Kemitraan ayam Pedaging-Petelur, Perusahaan Obat & Vaksin Hewan, Perusahaan Pengolahan daging unggas, Perusahaan Sapronak dan berbagai perusahaan lainnya. Kalau sudah merupakan sebuah Perusahaan Besar terintegrasi, artinya harus bisa didapat suatu kemampuan efisiensi tertinggi sehingga harga produk akhirnya akan sangat berdaya saing tinggi. Akan tetapi apa yang terjadi didalam industri perunggasan Indonesia, justru sebaliknya yang terjadi adalah INEFISIENSI serta tidak memiliki kemampuan dan budaya daya saing yang sangat tinggi. Dengan data yang dikeluarkan oleh GPPU, dengan FCR yang meningkat sepanjang tahun, menunjukkan bahwa Integrasi Vertikal yang dijalankan oleh Industri perunggasan saat ini adalah GAGAL untuk bisa memiliki kemampuan daya saing yang tinggi. Dipastikan ada yang tidak beres didalamnya.
Dari penjualan bibit DOC yang dilakukan oleh para perusahaan Breeding Farm (BF) selama ini, selalu kualitasnya sangat rendah, karena didalam satu box DOC selalu berbaur dengan DOC kualitas baik dan kulitas G-3 dan G-4. Begitu juga kualitas pakan unggas selalu peternak rakyat mendapatkan kualitas protein dalam komposisi pakan yang tidak berimbang dengan umur ternak peliharaan sedangkan harga ditetapkan seperti harga kualitas terbaik. Akibatnya usaha budidaya peternakan rakyat Harga Pokok Produksinya (HPP) selalu lebih mahal atau lebih tinggi dari HPP budidaya perusahaan Integrator. Sering terjadi HPP LB (Live Bird) budidaya di perusahaan integrator Rp. 14.000,-/kg hidup, di peternak rakyat HPP LB pada posisi Rp.18.000,-/kg ayam hidup. Karena mata rantai yang panjang, terjadilah harga karkas bersih di konsumen pada posisi Rp. 35.000,- s/d Rp. 37.000,-/kg daging ayam. Berlakunya UU No.18 Tahun 2009 membuat pasar unggas didalam negeri selalu bertabrakan sehingga yang selalu menang adalah budidaya perusahaan Integrator. Oleh karena itu segera diperlukan adanya ketentuan Segmentasi Pasar agar pemasaran komoditi unggas didalam negeri tidak saling bertabrakan dan saling membunuh.
Seharusnya bisnis unggas yang beromzet cukup besar ini (Rp.460 Triliun/tahun) bisa mensejahterakan banyak rakyat Indonesia yaitu :
1). Adanya kesempatan berusaha dan lapangan kerja yang luas bagi Peternak Rakyat Indonesia.
2). Tersedianya protein hewani yang cukup, berkualitas dan terjangkau bagi masyarakat.
3). Export untuk bisa mendatangkan devisa bagi Negara, yaitu perusahaan Integrator PMA dan PMDN yang sudah mampu hasilkan tingkat efisiensi tinggi masuk ke budidaya yang seluruh produknya harus bisa diexport. Pasar Dalam Negri yaitu pasar tradisional dimana konsumennya ±90% senang dengan daging ayam segar (potong ayam dadakan) diisi sepenuhnya oleh peternak rakyat UKM atau Koperasi Peternak Unggas Rakyat.