Mohon tunggu...
Ashwin Pulungan
Ashwin Pulungan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Semoga negara Indonesia tetap dalam format NKRI menjadi negara makmur, adil dan rakyatnya sejahtera selaras dengan misi dan visi UUD 1945. Pendidikan dasar sampai tinggi yang berkualitas bagi semua warga negara menjadi tanggungan negara. Tidak ada dikhotomi antara anak miskin dan anak orang kaya semua warga negara Indonesia berkesempatan yang sama untuk berbakti kepada Bangsa dan Negara. Janganlah dijadikan alasan atas ketidakmampuan memberantas korupsi sektor pendidikan dikorbankan menjadi tak terjangkau oleh mayoritas rakyat, kedepan perlu se-banyak2nya tenaga ahli setingkat sarjana dan para sarjana ini bisa dan mampu mendapat peluang sebesarnya untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang produktif dan bisa eksport. Email : ashwinplgnbd@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pembangunan 'di’ Indonesia, Bukan Pembangunan Indonesia

3 Mei 2016   18:40 Diperbarui: 3 Mei 2016   19:34 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto dari beritatrans.com

Mencermati judul diatas, tentu para pembaca akan heran apakah benar pembangunan di Indonesia bukan merupakan pembangunan untuk memajukan seluruh rakyat Indonesia agar secepatnya mencapai tingkat kesejahteraan sebagaimana  amanat UUD 1945. Jadinya pembangunan di Indonesia apakah benar benar untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia atau hanya pembangunan bagi kepentingan sekelompok orang yang berpikiran dan berjiwa serta bertindak liberalisme atau neoliberalisme ?

Menurut  Prof. Sri Edi Swasono didalam pernyataannya, menegaskan bahwa : Pembangunan neoliberalistik tidak segan segan menggusur orang miskin bukan menggusur  kemiskinan demi keuntungan ekonomi untuk kaum pemodal. Maka tidak peduli pula apa yang terjadi adalah "pembangunan 'di' Indonesia" , bukan "pembangunan Indonesia", rakyat Indonesia hanya sebagai penonton pembangunan yang dilakukan oleh orang orang asing di negerinya sendiri”.

Memahami serta mencermati orang orang asing di Indonesia, akan sulit sekarang ini, mengingat sudah banyaknya para warga Negara Indonesia menjadi kaki tangan setia untuk kepentingan asing bahkan di Indonesia mereka sudah memiliki berbagai perusahaan besar, memiliki asset tanah yang sangat luas dan mereka selalu berkolaborasi usaha export dan pemasaran dengan pihak asing. Lucunya, pemerintah kita terutama para oknum berkedudukan tinggi pada instansi terkait, belum mengerti maksud dan tujuan inti serta misi dari para kaum ekonomi neoliberal kita ini. Betapa besarnya kerugian Indonesia, jika ada komoditas export Indonesia keluar negeri, hasil penjualannya disimpan atau parkir di Bank bank luar negeri dan sampai sekarang pihak Indonesia belum mampu untuk menarik keseluruhan uang devisa Indonesia yang masih tersimpan di berbagai Negara asing. Pada tahun 2013 saja, masih ada uang dari sebagian besar nilai ekspor Indonesia sebagai milik Warga Negara Indonesia yang parkir di berbagai Bank luar negeri sebesar $.140 Milyar jika Kurs sekarang Rp.13.165,- maka ada dana milik Indonesia sebesar Rp.1.843 Triliun. Pemilik semua dana tersebut adalah orang Indonesia yang sangat loyal dan patuh dengan kepentingan asing liberalisme atau neoliberalisme.

Indonesia adalah market nomor 4 terbesar dunia, oleh karena itu akan sangat banyak investasi asing yang akan masuk ke Indonesia jika income per capita masyarakat Indonesia meningkat serta berkurangnya berbagai gerakan demo buruh. Pada saat ini GDP per capita Indonesia hanya sebesar kurang dari (USD)$. 3.416, sementara Thailand (USD)$. 5.426, Malaysia (USD)$. 10.073, Singapore (USD)$. 53.224. Bandingkan dengan Negara makmur Luxemburg Pendapatan Domestik Bruto per capita sebesar (USD)$110.664,8 atau setara Rp. 1.456.902.100,- (diatas satu milyar rupiah).

Jika uang itu masuk ke Indonesia, pertama : rupiah di dalam negeri akan secepatnya menguat, kedua : bisa menopang likuiditas valas di dalam negeri, ketiga : bisa digunakan sebagai dana produktif dalam bentuk investasi langsung, keempat : bisa mendorong penguatan dan kestabilan nilai tukar rupiah, kelima : bisa memperkuat fundamental ekonomi Indonesia, keenam : bisa memperbaiki Neraca Pembayaran Indonesia (NPI).

Dibawah ini pernyataan Prof. Sri Edi Swasono, yang pada kepemimpinan Megawati hingga Jokowi tidak pernah lagi tampil di media TV Nasional ataupun media cetak, karena pola pikirnya yang selalu bertentangan dengan pola pikir para kaum liberalisme atau neoliberalisme kita yang menguasai berbagai media besar di Indonesia. Pernyataan beliau kami ambil dari Media on-line. (Ashwin Pulungan)

Mewaspadai Pemikiran “MARKET DRIVEN ECONOMY” Yang Dianut Kaum Ekonomi Neoliberal Kita.

Mengapa kita harus nenolak neoliberalisme atau liberalisme? Ini banyak ditanyakan  mahasiswa mahasiswi  kita dalam setiap ceramah ceramah saya diberbagai kampus. Terpaksa saya jelaskan dengan cara sederhana mengingat tidak semua mereka dari fakultas ekonomi.

Pembangunan yang neoliberalislistik adalah pembangunan yang "market driven" (berdasar kehendak dan selera  pasar alias  kehendak dan selera kaum pemodal, yang arahnya mengejar rente ekonomi, mengejar profit, mengejar keuntungan  berdasar hitungan untung-rugi ekonomi,  dengan landasan mekanisme pasar bebas) yang sering disebut "kapitalisme"  (atau capitalistic driven economy).

Maka pembangunan neoliberalistik tidak segan segan menggusur orang miskin bukan menggusur  kemiskinan demi keuntungan ekonomi untuk kaum pemodal. Maka tidak peduli pula apa yang terjadi adalah "pembangunan 'di' Indonesia" , bukan "pembangunan Indonesia", rakyat Indonesia hanya sbg penonton pembangunan yang dilakukan oleh orang2 asing di negerinya sendiri.

Pembangunan hendaknya berdasar "tugas negara" melaksanakan cita2 kemerdekaan, berdasar Pancasila dan UUD45, bersasar Demokrasi Ekonomi Pasak 33  (dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat), dengan Pemerintah yg komited pada tugas negara ini, dan  inilah pembangunan yang "state driven" atau "constitutional driven" development,  yang sangat bisa/hampir selalu tidak selaras dengan kehendak dan selera kaum pemodal yang bermotif keuntungan ekonomi semata.

Diktum (SES) pembangunan ekonomi Indonesia tidak hanya mengejar "nilai-tambah-ekonomi" tetapi juga "nilai-tambah humanistik sosial-kultural" (=melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan hehidupan bangsa serta ikut melasanakan ketertiban dunia –(Pembukaan UUD45).

Oleh karena itu pada Pasal 33 UUD 1945 ayat 1 s/d 5 menyatakan "perekonomian disusun ….." artinya disusun oleh negara (state driven), tidak dibiarkan tersusun sendiri (market driven) sesuai kehendak atau selera pasar (pemodal).

Secara teoretikal dan empirikal market driven forces ("invisible hand"- nya Smithian economics) tidak dapat mengatasi ketimpangan strukural di negara negara berkembang termasuk Indonesia. Ketimpangan struktural harus diatasi dengan the "visible hand" (the state). Negara harus mengutamakan "daulat rakyat" bukan mengutamakan "daulat pasar". Merdeka! (Prof. Sri Edi Swasono)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun