Tidakkah Menko Perekonomian mengetahui bahwa kenaikan gas LPG 12 kg dari penetapan kenaikan harga secara serampangan dengan penghilangan beban biaya distribusi hanya beberapa pekan yang lalu sehingga menjadi harga Rp. 85.000,-/12 kg yang tadinya harga dikonsumen hanya Rp. 73.500,-/12 kg, sekarang tiba-tiba kembali naik mendadak menjadi Rp. 137.000,-/12 kg bisa dibayangkan harga gas yang terjadi didaerah terjauh. Jadi ada kenaikan luar biasa di konsumen sebesar ±(46% - 55%). Kenaikan yang cukup besar ini, akan berdampak migrasinya konsumen LPG 12 kg menuju gas LPG 3 kg. Saat ini diberbagai daerah terjadi kelangkaan gas LPG 3 kg dan harga sangat bervariatif tidak menentu dari harga Rp. 13.500,-/3 kg sekarang berada pada harga Rp. 18.000,- s/d Rp. 22.000,-/3 kg dan barang tidak ada. Dalam kondisi seperti ini, terjadi adanya penimbunan gas 3 kg oleh distributor diberbagai daerah.
Apa artinya konversi energi rumah tangga ke gas LPG kalau seluruh masyarakat akhirnya dijebak dengan harga yang juga sangat mahal ketika seperti seluruh masyarakat memakai mitan dahulu. Efisiensi energi yang didegungkan pemerintah tidak ada artinya dan itu hanya sebagai tipuan belaka. Gas LPG yang sering langka dan harga yang selalu naik tidak menentu adalah merupakan terror/penipuan pemerintah juga kepada rakyatnya. Kalau kita bandingkan dengan harga LPG di Indonesia saat ini per kg Rp. 9.809,- , di Thailand hanya Rp. 7.118,- , di Malaysia hanya Rp. 7.053,- . Bagaimana di Thailand dan di Malaysia bisa lebih murah dari di Indonesia sedangkan kita di Indonesia memiliki cadangan gas terbesar didunia.
Mungkinkah kenaikan LPG 12 kg yang berdampak efek domino kepada LPG 3 kg, mau dimanfaatkan oleh pemerintah SBY untuk memperbaiki citranya menjelang Pemilu 2014 dengan mengatakan "kenaikan harga gas LPG 12 kg ditunda kembali ke harga semula". Citra yang ingin dibangun SBY dan PD adalah sebagai penyelamat beban hidup masyarakat atas kenaikan LPG 12 kg. Kalau ini yang terjadi, memang selama ini kita hanya membuang energi pikir dalam hal politik dan pencitraan saja, bukannya produktifitas, kreatifitas nasional yang dilakukan oleh pemerintah untuk mendatangkan devisa bagi negara. (Ashwin Pulungan)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H