Fenomena mencontek massal yang diperbolehkan oleh parapengawas disaat Ujian Nasional (UN) sebenarnya telah berlangsung lama yaitu sejak UN itu diadakan. Kejadian di Jawa Timur di daerah Tandes-Surabaya yang sangat menghebohkan itu membuat kita merasa miris yang berbaur dengan kesedihan, bahwa secara tidak langsung, telah terjadi kaderisasi contek mencontek yang berakhir dalam jangka panjang akan menjadi kader maling massal kedepan telah berlangsung didepan mata kita bahkan para gurulah yang melakukan
pembiaran kebiasaan kecurangan itu.
Sungguh sangat ironis di satu sisi Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan ingin menjadikan ajang UN ini
sebagai alat tolok ukur serta untuk memetakan mutu kualifikasi pendidikan para siswa secara Nasional, disisi lain para pengawas yang juga sebagai guru para murid merusak mekanisasi tolok ukur itu dengan melakukan pembiaran contek mencontek yang sangat melanggar ketentuan UN itu sendiri. Sungguh sangat menyedihkan, pengrusakan pendidikan Nasional ini dimulai sejak dari tingkat SD, SMP dan SMA serta dilakukan oleh para guru dari murid-murid itu sendiri. Kalau sudah demikian, apa artinya kurikulum pendidikan kalau aspek moral/akhlak sangat diabaikan dan dilakukan disaat pelaksanaan UN. Mungkinkah dengan cara kotor demikian dapat dihasilkan para murid kedepan menjadi manusia yang memiliki sikap kepribadian serta karakter yang mandiri, kreatif, jujur, mulia serta unggul ?
Banyak sekolah membocorkan ataupun memberikan kunci jawaban kepada siswa-siswinya ketika
UN. Para pengawas (termasuk pengamat independen) lebih banyak bungkam melihat realitas tersebut. Tidak sedikit guru bahkan kepala sekolah memberi bocoran kunci jawaban secara terang-terangan agar pamor sekolahnya bertahan ataupun naik jika semua siswanya lulus atau bahkan lulus dengan nilai tinggi. Hal ini bahkan terjadi secara sistematik dan terkoordinasi massal bahkan kepala dinas pendidikan di beberapa daerah tertentu ikut ‘menfasilitasi’ kecurangan UN di wilayahnya.
Dan yang paling parah adalah terjadinya ‘mafia kunci UN’. Pada subuh hari, oknum diknas bekerja sama dengan mafia untuk mendapatkan sosial UN sekaligus pada pagi-paginya beberapa jam sebelum UN akan memberikan
kunci jawaban kepada ‘pemesan’, baik siswa, orang tua siswa, maupun pihak sekolah dan ini terdistribusi mulus melalui SMS.
Terjadinya pembiaran kecurangan UN dengan mencontek massal, tidak mungkin dapat terjadi apabila tidak tidak ada kesepakatan antara Dinas Pendidikan setempat dengan para kepala sekolah dan para guru pengawas. Dinas Pendidikan tidak ingin mengalami penurunan prestasi daerahnya maka ditempuhlah pelaksanaan membenarkan kecurangan tersebut. Kejadian dan prilaku penodaan pendidikan ini berlangsung dibanyak daerah. Kalau para pejabat pelaksana pendidikan didaerah sudah berkolusi secara jahat menodai pendidikan Nasional seperti ini, pastilah kualifikasi mutu pendidikan yang akan dicapai tidak akan didapat secara objektif bahkan yang terjadi adalah perkeliruan pendidikan Nasional. Dalam kenyataan seperti ini, masihkah diperlukan UN dilanjutkan untuk tahun mendatang ? Janganlah mencontek dijadikan suatu budaya baru yang dilaksanakan disaat UN.
Telah diketahui masyarakat luas bahwa Mahkamah Agung (MA) melarang Pemerintah melaksanakan Ujian Nasional (UN). MA menolak kasasi gugatan Ujian Nasional (UN) yang diajukan pemerintah. Dengan putusan
ini, UN dinilai cacat hukum dan Pemerintah dilarang menyelenggarakan UN. Batas waktu pelarangan UN ini berlaku sejak keputusan ini dikeluarkan dan sebagai konsekuensinya pemerintah illegal jika melaksanakan UN 2010. Pemerintah baru diperbolehkan melaksanakan UN setelah berhasil meningkatkan kualitas guru,
meningkatkan sarana dan prasarana sekolah serta akses informasi yang lengkap merata di seluruh daerah.
Ini berarti putusan perkara dengan Nomor Register 2596 K/PDT/2008 itu sekaligus menguatkan putusan
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 6 Desember 2007 yang juga menolak permohonan pemerintah. Namun, pada saat itu pemerintah masih juga ngotot melaksanakan UN pada tahun 2008, 2009 bahkan 2010. Ini berarti pelaksanaan UN 2008, 2009, 2010 dan 2011 yang ‘memaksa’ kelulusan siswa ditentukan hanya beberapa hari
merupakan tindakan melanggar hukum. Dalam hal ini, Presiden SBY, Wakil Presiden Budiono, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) M.Nuh, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), dinyatakan lalai memberikan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) terhadap warga negara, khususnya hak atas pendidikan dan hak anak yang menjadi korban UN.
Mengapa Menteri Pendidikan tetap ngotot melaksanakan UN 2011 padahal secara hukum telah ditetapkan MA agar tidak lagi melaksanakan UN ? Semoga para petinggi Kementrian Pendidikan tidak menjadikan UN ini sebagai proyek besar untuk bancakan korupsi. Pada tahun 2009, pemerintah telah menghabiskan Rp.572 Milyar (setengah triliun) untuk pelaksanaan ujian nasional. Namun sayangnya, anggaran negara yang besar yang
dikeluarkan untuk pelaksanaan UN 2009 masih sarat dengan praktik ketidakjujuran. Begitu juga pelaksanaan UN ditahun berikutnya. Untuk tahun 2011 ini, anggaran UN senilai lebih kurang Rp. 592 Milyar. Bisa dibayangkan berapa besar komisi pencetakan soal yang bisa masuk kepada para pejabat tinggi di Kementerian Pendidikan.
Sudah lama UN ini diresahkan serta dipersoalkan oleh banyak masyarakat namun Pemerintah tetap melaksanakan UN. Dampak yang akan terjadi kedepan adalah kualifikasi pendidikan dan SDM kita hanya bertujuan kepada pencapaian nilai ujian saja sementara kualitas pendidikan yang menyangkut kreatifitas, kemandirian, kejujuran, keluhuran budi, kedewasaan bersaing serta akhlak/moral yang baik dibaikan.
Janganlah terulang kembali peristiwa konyol yang terjadi di JATIM Tandes-Surabaya gara-gara seorang murid SD yang baik dan jujur melaporkan kepada orang tuanya lalu orang tua tersebut melaporkan kasus contek
mencontek di sekolahnya ke Polisi, lalu didemo oleh para orang tua murid lainnya yang mendukung pembenaran/pembiaran mencontek (sebenarnya masyarakat kita juga sudah dalam posisi sakit) walaupun mereka mengetahui bahwa perbuatan mencontek massal itu adalah suatu kecurangan massal. Mencontek adalah perbuatan terlarang.
Sudah saatnya seluruh komponen bangsa Indonesia melarang UN di Indonesia sesuai dengan keputusan MA. Realisasi dana APBN untuk pendidikan sebesar 20% sebenarnya dapat dimanfaatkan Pemerintah untuk melangsungkan pendidikan Nasional sehingga beban biaya pendidikan sampai ke perguruan tinggi bisa sangat terjangkau oleh seluruh masyarakat. Jangan ada lagi dikhotomi antara anak orang miskin dengan anak orang kaya karena semua warga negara adalah sama hak serta kewajibannya bagi bangsa dan negara. Banyaknya masyarakat menikmati kualitas pendidikan, berdampak positif dan pasti terhadap kemajuan bangsa dan negara dikemudian hari (Ashwp).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H