Mohon tunggu...
Dhenok Praptiningrum
Dhenok Praptiningrum Mohon Tunggu... -

a student of English Department Satya Wacana Christian University

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita Jendela

6 Januari 2012   15:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:14 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku menatap kabut tipis yang terlihat seperti selendang bidadari dari balik kaca. Kabut itu turun sedikit demi sedikit dan terlihat transparan ketika melewati lampu jalan di tiang listrik yang bersinar kekuningan menerangi beberapa ruas jalan kecil di bawah balkon sana. Angin terasa lembut menyentuh rambutku yang basah dan kulitku yang baru setengah kering menebarkan aroma sabun mandi yang segar. Aku merasa ada sesisi kosong dalam rongga dadaku setiap kali aku menarik udara masuk ke dalam paru – paru. Udara yang dingin itu seolah – olah masuk menusuk satu sisi paru – paru dan menyelimuti, memenuhi rongga kosong di antara jantung di balik tulang rusukku. Bahkan aku merasa sekalipun aku mendapatkan setengah harta dunia rongga itu akan terus kosong, kepuasan tidak akan mampu mengusirnya.

Aku menutup kaca yang dibingkai kayu berpelitur cokelat tempat aku meletakan sesisi daguku dan menuruni tangga, lalu keluar. Aku berjalan menyeberangi jalan dan memasuki sebuah gang tepat di samping sebuah café, Kampung Steak, dan melihat seorang penjual nasi goreng yang seharusnya lewat di bawah balkon tempatku berdiri tadi. Rupanya dia ada di sini.

Aku memesan seporsi nasi goreng. Ah, tidak!

“Pak, nasi gorengnya ndak jadi. Minta mie rebus saja.”

“Oh, iya, Mbak. Pedes?”

“Pedes banget, Pak.”

Aku menatap bapak penjual nasi goreng dan mie keliling itu, dia tampak tidak ramah dan sedikit ketus. Ya, memang begitu. Kadang dia juga marah jika ada pembeli yang makan dengan piringnya terlalu lama, sehingga dia tidak bisa segera berkeliling menjajakan jualannya itu, tetapi orang masih lebih mementingkan rasa. Agaknya banyak pelanggan setia yang memakluminya dan tetap menikmati masakannya yang memuaskan lidah.

Aku berdiri di seberang gang, di sisi samping sebuah rental komputer dan fotokopi sambil memandang kaca – kaca lebar Kampung Steak yang membiaskan cahaya kekuningan lampu dinding. Seorang laki – laki yang mungkin beberapa tahun lebih tua dariku duduk di balik salah satu jendela, sesekali kedua mata di balik kaca mata berbingkai hitamnya menatap langit di luar, lebih sering dia meletakan tangan di atas meja sambil memandang seorang gadis di depannya yang berambut lurus hampir sepunggung. Aku tersenyum sendiri, keduanya nampak bercerita di balik jendela kaca bening yang lebar, sebuah jendela yang diapit dua jendela dengan bentuk yang sama persis.

Pikiranku melompat – lompat membentuk cerita tanpa alur yang semakin kacau ketika menangkap sebait lagu terdengar sampai keluar café.

Maukah kau tuk menjadi pilihanku…

Menjadi yang terakhir dalam hidupku…

Sial, lagu ini membawaku kepada hal lain. Bukan ini yang seharusnya meracuni otakku. Sedikit terlalu pagi untuk memutar lirik sejenis itu dalam player otakku. Ada sebait senandung lain yang terputar di alam bawah sadarku yang memang tidak sadar, dan terlalu jauh dari kenyataan.

“Mbak, jadinya mie rebus?”

Suara itu mengembalikan kesadaranku ke titik tertinggi. Aku beralih ke sisi lain gang, tepat di bawah jendela tadi. Menempatkan punggungku bersandar di tembok abu – abu di bawah layar yang dibentuk lembaran kaca besar, orang menyebutnya jendela, aku menyebutnya bingkai film lama. Di sini aku tidak dapat menonton film di balik kaca itu.

“Mbaknya kuliah di Satya Wacana, ya?” agak heran, penjual nasi goreng kelilingan itu mendadak mengajakku memulai percakapan, “Jurusan apa?”

“Bahasa Inggris, Pak.”

“Asalnya mana, to?”

“Purbalingga, Pak.”

“Itu ndak yang di Jawa Timur? Opo sing habisnya Wonosobo.”

“Habis Wonosobo, Pak. Nek yang Jawa Timur itu Probolinggo, sanes Purbalingga.”

“Oh, iyo. Anakku, yo, kuliah okh Mbak?”

“Oh, wonten pundi, Pak?” aku agak canggung memilih bahasa.

“UNY Jogja, ndek kemarin sudah lulus jurusan elektronika, sekarang lagi S2.”

Aku tersenyum, luar biasa. Entah dari mana sekuncup kagum merekah dalam dadaku.

“Di UNY juga, Pak?”

Iyo,  sekarang malah lagi kuliah S1 lagi, tapi informatika. Lah, nek S1 elektronika ndak bisa ngajar di semua sekolah, yak’e.

“Wah, S1nya dobel. Kuliah bareng S2 juga, to, Pak?”

Iyo, tapi dia nyambi ngajar. Nglamar ngajar disana, kok yo angel banget. Katanya yang nglamar banyak, ada dosen juga, dari empat puluh orang, cuma diambil dua, yo kuwi anakku masuk,” bapak itu mengipasi tungku bara tempat dia memasak pesananku, aku melihat matanya setengah menerawang.

Syukur, yo, Pak. Wong, rejeki nggih wonten mawon”

“Iya, berarti besok dia sudah punya tiga ijazah. Kemarin yang elektronika, tahun ini nambah S1 informatika sama S2,” katanya sembari membungkus mie rebus buatanku.

Aku membayar, lalu menatap sekilas ke jendela di atasku dan memandang sekilas. Jendela itu tampak kosong, café terasa lengang, lampu kuning yang redup itu masih bersinar dari balik dinding, dan musik masih terdengar sampai luar. Udara semakin dingin, angin memainkan rambutku nakal, tetapi rasa di dadaku berubah menjadi hangat.

Menyeberangi jalan yang terasa agak sepi, hanya satu dua sepeda motor dan sebuah mobil sedan melintas pelan perasaanku masih kosong. Mataku teralih pada sebuah jendela lain dengan kaca hitamnya yang membuyarkan film dibaliknya menjadi siluet – siluet orang yang sedang memainkan sendok garpunya untuk memotong steak makan malam mereka. Namun aku disini, di luar jendela. Selalu ada cerita dari balik jendela kaca, hanya saja lebih banyak rasa ketika aku melangkahkan kakiku di luar, di pinggir jalan, di tepian gang, dimanapun itu saat aku jauh dari jendela yang terhalang kaca.

#Salatiga.Gang Monginsidi II. 4/01/2012.09.15 pm.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun