Aku memiliki sebuah bayangan yang aneh. Ia selalu berkata bahwa ia ingin pergi ke suatu tempat, mencoba menjaud dariku. Sudah berulang kali aku berkata ia tidak akan pernah bisa pergi sendiri tanpa kubawa, ia selalu jengkel dengan jawabanku. Ia sangat berbeda dengan bayangan orang lain yang dengan sukarela menerima kenyataan bahwa sebuah bayangan selalu terikat di kaki sang pemilik. Bayanganku menghabiskan hari - harinya untuk mencoba melepas ikatan di kakinya yang menjeratnya untuk mejauh dariku.
“Kamu itu bodoh!” kataku suatu hari padanya, “Kamu hanyalah sebuah bayangan, sesuatu yang terbentuk karena segurat cahaya menerpaku dan tak mampu menembus tubuhku sehingga sesisi gelap muncul di lantai menyerupai diriku. Kamu hanya sebatas itu!”
“Kamu yang kejam! Berani – beraninya kamu menahanku pergi!”
Aku kehabisan kata menghadapinya. Bahkan ia jauh lebih bodoh dibanding seorang anak kecil yang tidak disekolahkan. Benar – benar tercipta untuk menjadi sosok yang sangat bodoh. Tolol! Aku putus asa mengaturnya. Aku membiarkannya berusaha pergi, tidak menggubris setiap usahanya untuk berhenti mengikutiku.
Suatu hari aku bertanya mengapa dia begitu ingin pergi, kemana ia akan berjalan, dan apa yang ia cari. Aku terkejut seolah dunia berhenti berputar dan waktuku untuk bernafas telah habis saat mendengar ia berkata,
“Kamu tidak mengerti. Aku tengah jatuh cinta.”
Sebuah bayangan bisa jatuh cinta? Aku betul – betul tidak mengerti. Sepertinya aku sedang berwisata ke negeri dongeng dimana hal tak masuk akal bisa saja terjadi. Aku mencoba mencerna kenyataan ini dan mulai bertanya kepada siapa ia jatuh cinta.
“Aku mengikutimu, aku tidak pernah sadar seseorang itu begitu menarik. Sampai suatu hari bayangannya menimpa tubuhku saat kalian duduk berdua di pinggir jalan, dan bayangannya tersenyum menyapaku.”
Aku masih menyimaknya berkata – kata.
“Tapi, kamu begitu kejam! Kenapa kamu menyuruhnya duduk di hadapanmu? Bayangannya begitu setia, ia pun mengikuti tuannya dan beralih ke belakang tuannya. Sebuah tempat dimana dia memudar dan bahkan aku tak dapat lagi menatapnya.”
“Itu bukan salahku. Kamulah yang bodoh! Semua bayangan seharusnya memang begitu.”
“Tidak ada sebuah hukum yang mengharuskan kami harus demikian!”
“Hukum alam tetap berlaku.”
“Kamu, bahkan lebih kejam dari yang kukira!”
“Jika kamu tahu, aku memang kejam dan begitu ingin membunuhmu, bayangan!”
“Bunuhlah, kamu hanya akan mati bersamaku.”
Kami terdiam.
“Mengapa kamu tak menghampirinya saat itu? Mungkin itu saat terakhir kamu bisa menemuinya,” bayanganku berkata lagi.
“Kapan?”
“Saat kamu melihatnya duduk di sebuah bangku merah, di belakang kaca pembatas ruangan. Kamu melihatnya dengan jelas, dan kamu hanya tersenyum saja tanpa menghampirinya.”
“Oh..itu bukan urusanmu!”
“Hey, bodoh! Kamu pasti tidak berani, ya? Dan kini kamu menyesalinya. Habislah kamu!”
Aku tersenyum kecut mengingat sesosok pemuda berkacamata yang mengenakan kemeja biru tua senja itu. Sedikit menyesal, tetapi lupakanlah. Ada saat dimana aku tak perlu bertindak bodoh. Siapa dia? Siapa aku? Sama sekali tidak ada hubungannya untuk membentuk sebuah kata, menyesal.
Seperti sebuah bola Kristal yang terlihat bulat sempurna dari kejauhan, sebenarnya memiliki seribu sudut tajam ketika didekati. Begitulah aku dan dia. Sial, hanya dua atau tiga sisi saja yang bisa bertemu tanpa harus pecah diantara bolanya dan bolaku. Tak peduli seberapa cantik ia, tetap saja ia tidak akan dapat berputar bersamaku.
Bayanganku masih ngotot inging pergi menghampiri bayangan pemuda itu. Aku lelah menasehatinya setiap hari, aku juga sudah lelah memaki – maki kebodohannya. Aku berkata kepadanya,
“Kamu, tahu? Bayangannya sebenarnya sangat membencimu.”
Dia tidak pernah percaya. Aku habis akal. Cinta kadang – kadang bisa menjadi sangat kuat, ia mampu menelan logika dan merusak otak, termasuk jika cinta itu jatuh pada sebuah bayangan. Aku benar – benar tak mengerti.
“Hey, kejam! Kamu hanya takut aku jadi lebih bahagia dibanding kamu, kan? Kamu hanya tidak pernah mencintai seseorang sepenuh hati,” bayangan itu menyeringai kepadaku.
“Apa kamu lupa ingatan? Aku pernah mencintai seseoramng dengan sepenuh hati. Hanya hati kadang tak bisa berhati – hati, tidak bisa ditebak. Hatinya. Hatiku juga. Belum saatnya aku bermain lagi dengan hatiku. Hampir aku member, tapi aku urungkan saja.”
“Karena kamu sudah tak punya hati, kan?” katanya tajam. Sinis.
“Karena aku tak pernah setengah hati. Dan berpikir sebelum member hati.”
Bayanganku masih berusaha melepaskan ikatan di kakinya. Terakhir aku melihatnya berusaha memotong kakinya sendiri, tetapi semua sia – sia. Kakinya tak pernah bisa terluka, apalagi terpotong.
Ia terus saja bergerak, sampai suatu hari aku menjadi terganggu dan sangat marah. Aku membungkam mulutnya, dan mengikat tangannya sampai ia tak bisa bergerak. Katanya aku kejam, baiklah aku akan jadi kejam. Sekarang aku menghabiskan waktuku untuk berusaha membunuhnya.
#Purbalingga. 31/12/2011. 05.00 pm.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H