Bertempat di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Selasa malam, 3 Juni 2014 lalu, dua pasangan calon peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014, yaitu pasangan Capres dan Cawapres Nomor Urut 1 (Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa) serta Nomor Urut 2 (Joko Widodo dan M Jusuf Kalla), mendeklarasikan pelaksanaan kampanye yang berintegritas dan damai
DeklarasiI Bidakara diucapkan bersama-sama oleh Prabowo Subianto, Hatta Rajasa, Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
“Kami, Calon Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 beserta tim kampanye dan para pendukung, dengan semangat persatuan dan persaudaraan, berjanji kepada seluruh rakyat Indonesia dan menyatakan siap menciptakan Pemilu Berintegritas dan Damai demi terwujudnya kemajuan Indonesia dan terjaganya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,” demikian dikatakan para peserta Pilpres 2014 itu.
Usai pengucapan, pada acara yang juga dihadiri para anggota penyelenggara Pemilu, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), serta tim sukses masing-masing pasangan, kedua pasang kontestan Pilpres 2014 menandatangani naskah dan prasasti Deklarasi Bidakara.
Adapun makna tersurat dan tersirat dari Deklarasi Bidakara, yaitu bahwa semua peserta kampanye (pasangan calon, tim kampanye dan para pendukung) harus mematuhi peraturan yang ada. Yaitu, menciptakan kampanye yang damai, bersih dan demokratis. Tak saling caci maki. Tak saling menyalahkan. Tak saling hujat. Tak saling fitnah. Tidak melakukan kampanye hitam (black campaign) atau kampanye negatif (negative campaign). Tidak melakukan kampanye yang mengandung SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). Apalagi memaksakan kehendak.
Lantas yang jadi pertanyaan, sampai hari ini, sudahkah Deklarasi Bidakara terimplementasi dengan baik dan benar? Melihat realitanya, rasanya tak berlebihan bila dikatakan; “Jauh panggang dari api.”
Apa buktinya? Karena sampai saat ini juga yang namanya black campaign atau negative campaign, terus dan sengaja dimunculkan. Begitu pula saling hujat dan saling fitnah antar dua kubu. Pokoknya, hujat sana, hujat sini. Fitnah sana, fitnah sini. Kampanye yang mengandung unsur SARA yang jelas-jelas dilarang, oleh kedua kubu, justru dijadikan ‘senjata utama’ untuk saling ‘menjatuhkan’.
Sekecil apapun borok ‘kawan sebelah’ (meminjam istilah M Jusuf Kalla), pasti dicari dan dijadikan ‘racun’ untuk membunuh karakternya (character assassination). Kalaupun tak memiliki korelasi, ya tetap dikait-kaitkan. Begitu pula media yang dipakai, beraneka ragam. Selagi bisa dipakai, pasti digunakan. Entah itu televisi, media cetak, media online, facebook, twitter, pesan singkat (SMS atau Short Massage Service), dan sebagainya.
Dan yang lebih menyedihkan lagi, justru ada diantara para peserta Pilpres) 2014 yang ‘rada-rada pikun’. Lupa dengan Deklarasi Bidakara yang diucapkannya. Lupa bahwa mereka adalah warga negara yang paling terbaik diantara yang terbaik dari lebih kurang 253,6 juta jiwa penduduk Indonesia. Meskipun yang paling terbaik dimaksud hanya berdasarkan sigian partai politik pengusung dan pendukung fanatiknya.
Pertanyaan selanjutnya, mengapa Deklarasi Bidakara sampai hari ini dapat dikatakan tak akan bisa menciptakan Pemilu Berintegritas dan Damai demi terwujudnya kemajuan Indonesia dan terjaganya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana yang diharapkan?
Jawabnya, karena baik itu anggota penyelenggara Pemilu 2014 (KPU Pusat, Bawaslu, DKPP, maupun pasangan peserta Pilpres 2014 beserta tim kampanye dan para pendukung (relawan, sahabat dan sebagainya), gagal melakukan sosialiasi yang menjadi ‘inti’ dari Pilpres 2014 itu sendiri.
Saya yakin dan sangat yakin, apabila ‘inti’ dari Pilpres 2014 tersosialisasikan dengan baik dan benar, maka video yang berisi pernyataan M Yusuf Kalla (JK) yang sekarang berpasangan Joko Widodo (Jokowi), yang mengatakan; “Jangan hanya karena Jokowi terkenal, lantas tiba-tiba dicalonkan di menjadi presiden. Bisa Hancur negeri ini, bisa masalah”, tak perlu diekspose berulang-ulang. Dijadikan materi kampanye negatif untuk menurunkan elektabilitas Jokowi-JK yang diusung PDI Perjuangan, Partai Nasdem, Partai Hanura PKB dan PKPI ini.
Begitu pula pendapat Anies Baswedan yang saat ini menjadi pendukung Jokowi-JK yang pernah berucap bahwa blusukan Jokowi hanya pencitraan. “Saya ngak mau pencitraan dengan blusukan. Bukan cuma mendengarkan tapi mengajak berubah. Blusukan itu hanya nonton masyarakat. Hanya hadir lalu kesannya sudah melakukan," kata mantan peserta Konvensi Partai Demokrat ini pada bulan Desember 2013 lalu.
Bila tersosialisasi dengan baik dan benar, Tabloid Obor Rakyat yang isinya menghujat Jokowi-JK, tak akan pernah diterbitkan Setyardi Budiono (Pimpinan Redaksi). Begitu pula pertanyaan JK soal penuntasan Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu kepada Prabowo Subianto (Prabowo) saat debat perdana di Balai Sarbini, Jakarta. Tak terkecuali juga soal adanya sindiran tentang siapa yang menjadi ibu negara seandainya Prabowo terpilih jadi Presiden.
Jika disosialisasikan dengan baik dan benar, sindiran Jokowi saat kampanye di Jayapura, Kamis, 5 Juni 2014 lalu, yang mengatakan; "Kalau yang lain yang di sana, kampanye di hotel. Kalau kita, kampanye di kampung saja, karena Jokowi dan Jusuf Kalla milik orang-orang kampung, milik orang-orang di daerah”, tidak akan pernah terlontar dari mulut mantan Walikota Solo itu.
Demikian pula pernyataan JK untuk menjawab berbagai black campaign yang dialamatkan kepada pasangannya, Jokowi. Misalnya, jawaban JK soal kampanye hitam yang mengatakan Jokowi bukan Islam yang baik. “Alhamdulillah dia (Jokowi) imam salat yang baik, 'kawan sebelah' belum tentu seperti itu,” kata JK saat berorasi dalam kampanye akbar di Kendari, Sulawesi Tenggara, Rabu, 11 Juni 2014.
Andaikan saja tersosialisasi dengan baik dan benar, selaku Dewan Penasihat Tim Pemenangan Nasional Prabowo-Hatta, Akbar Tanjung, tak perlu sampai beberapa kali menyindir pasangan Jokowi-JK saat melakukan kampanye di Lapangan Alun-Alun Kota Bekasi, Minggu, 15 Juni. “Prabowo adalah calon presiden yang memang mendapat panggilan hati. Bukan calon yang awalnya pura-pura tidak mau. Pura-pura tidak niat. Tapi ternyata kepingin juga jadi presiden. jabatan presiden harus diisi oleh orang-orang yang memang memiliki panggilan. Bukan bagi orang yang hanya menerima mandat tertentu. Hanya orang yang terpanggil yang mampu memberikan hal terbaik,” sindir Akbar Tanjung, kala itu.
Demikian pula pernyataan Marzuki Alie yang mengatakan; “Kalau Jokowi jadi presiden, kita kehilangan gubernur yang bagus. Biarlah kita dukung Jokowi jadi gubernur yang bagus," ujarnya di Gedung DPR Jakarta, Jumat 12 Juni 2014. “"Kita nggak mau kehilangan kemenangan. Kita dukung Prabowo supaya jadi presiden yang bagus dan JK ngurus masjid," imbuhnya.
Kemudian, dijamin bahwa Surat Dewan Kehormatan Perwira yang ditandatangani tujuh Jenderal, yaitu Letjen Djamari Chaniago sebagai Sekretaris, Ketua tim DKP Jenderal Subagyo HS, Wakil Ketua, Letjen Fachrul Razi, Anggota yaitu Letjen Susilo Bambang Yudhoyono, Letjen Yusuf Kartanegara, Letjen Agum Gumelar, dan Letjen Arie J. Kumaat, yang konon katanya bersifat rahasia itu, tidak akan kehilangan sifat kerahasiannya seperti yang terjadi saat ini.
Selanjutnya, tidak perlu pula mantan Kasum TNI Letjen Purn Suryo Prabowo menghabiskan pulsa telepon selulernya untuk mengirim SMS kepada Wiranto, Luhut Panjaitan dan Agum Gumelar yang mendukung pasangan Jokowi-JK. Ini bunyi SMS yang dikirim Suryo Prabowo yang mendukung pasangan Prabowo-Hatta kepada ketiga jenderal itu; “Berikan contoh kepada para juniormu dan Rakyat Indonesia cara berkompetisi yang sehat sebagaimana layaknya sebagai seorang ksatria.”
Masih andaikan tersosialisasi dengan baik dan benar, kalimat-kalimat di berbagai media soal yang ditujukan kepada Prabowo, seperti; “Mengurus rumah tangganya aja nggak becus, konon mau ngurus negara...! Bisa bercerai berai bangsa Indonesia”, tentuk tidak akan pernah ada. Demikian pula dengan iklan kematian Jokowi yang sempat beredar di media sosial, tidak akan pernah ada.
Dan, seandainya saja ‘inti’ dari Pilpres 2014 tersosialisasi dengan baik dan benar, maka masih banyak sekali hal-hal lain tak sejalan dengan Deklarasi Bidakara yang dapat diminimalisir, sehingga tidak menjadi konsumsi publik. Misalnya, tak perlu ada pernyataan bahwa Jokowi membawa contekan saat debat, disebabkan ada kertas putih di jas yang dipakainya yang tertangkap kamera wartawan. Atau perusakan baliho pasangan Prabowo-Hatta di Jawa Tengah, dan sebagainya.
Saya juga yakin dan percaya, bila ‘inti’ dari Pilpres 2014 tersosialisasi dengan baik dan benar, maka rekapitulasi perhitungan perolehan suara masing-masing calon menjadi mudah. Tak akan seribet Pemilu Legislatif lalu. Kasus gugatan Pilpres 2014 akan minim, bahkan bisa menjadi zero. Tugas aparat keamanan menjadi lebih ringan. Tak perlu ada hasil survey pesan. Untuk mengetahui pemenangnya dengan cepat pun, tak dibutuhkan hitungan cepat (quick count).
Dan, masih banyak lagi ‘keuntungan’ yang dapat diperoleh. Misalnya, baik pasangan Prabowo-Hatta maupun Jokowi-JK, tidak perlu membuka rekening di bank. Apalagi sampai ada pasangan yang ‘membiarkan’ para pendukung atau relawannya seperti pengemis. Meminta-minta uang kepada masyarakat di jalan-jalan untuk mengisi pundi-pundi rekening tersebut.
Lalu, apa sebenarnya yang menjadi ‘inti’ dari Pilpres 2014 yang harus disosialisasikan untuk meminimalisir atau bahkan meniadakan hal-hal yang tak sejalan dengan Deklarasi Bidakara?
‘Inti’ dari Pilpres 2014 ada pada kata Pemilihan. Kata Pemilihan bermakna proses, cara atau perbuatan memilih. Yaitu, memberikan suara kepada salah satu pasangan kontestan. Jadi yang mesti disosialisasikan secara baik dan benar itu, ya tentang cara memberikan suara. Cara mencoblos agar suara yang diberikan bernilai demokratis (sah).
Untuk pemilihan dimaksud, KPU sudah menetapkan pasangan Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK, sebagai pasangan yang akan dipilih. Prabowo Hatta yang dijagokan Partai Gerindra, Partai Golkar, PKS, PAN, PPP dan PBB dengan nomor urut 1. Sementara Jokowi-JK dengan nomor urut 2. Memberi waktu kepada kedua pasangan untuk melakukan kampanye mulai 4 Juni hingga 5 Juli 2014
Kemudian, dengan persetujuan kedua pasangan, KPU sudah membuat desain dan mencetak surat suara yang akan digunakan pada Pilpres 2014 sebagai media pemilih memberikan suaranya (mencoblos). Selain gambar kedua pasangan, angka yang menunjukkan nomor urut pasangan juga ada dalam surat suara. Angka berwarna hitam tersebut terdapat di atas (di tengah) gambar masing-masing pasangan. Sesuai nomor urut, pasangan Prabowo-Hatta angka 1, Jokowi-JK angka 2.
Tanggal berapa Pemilihan (pemungutan suara) yang menjadi ‘inti’ dari Pilpres 2014 dilaksanakan? Jawabnya pada tanggal 9 Juli 2014. Dimana tempat Pemungutan Suara? Ya di TPS (Tempat Pemungutan Suara). Tepatnya di bilik suara. Kapan waktu Pemungutan Suara? Mulai pukul 07.00 sampai 13.00 waktu setempat. Bagaimana caranya? Caranya dengan mencoblos surat suara dengan menggunakan alat yang sudah disediakan penyelenggara (KPU).
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara mensosialisasikan ‘inti’ Pilpres 2014?
Karena setiap orang yang mempunyai hak pilih hanya boleh mencoblos 1 kali (kalau 2 kali tidak sah), dan dalam surat suara tersebut hanya ada 2 angka pilihan, maka agar suara yang berikan sah, kalimat yang rasanya sangat tepat dipakai untuk mensosialisasikan ‘inti’ Pilpres 2014 tersebut, misalnya; “Sukseskan Pilpres 2014. Agar suara yang anda berikan sah, coblos 1 jangan 2”, atau “Sukseskan Pilpres 2014. Meskipun hak suara kita hanya 1 dan hanya 1 yang dicoblos, namun tetap sangat berarti bagi perjalanan bangsa Indonesia 5 tahun ke depan.”
Mengapa kalimat-kalimat seperti itu yang harus (baca sangat dianjurkan) digunakan? Sebab, siapapun orangnya, jika dihadapkan pada keadaan dimana harus memilih 1 diantara 2, pasti akan akrab dengan kalimat; “Pilih 1 diantara 2”. Dan, karena tidak multi tafsir, kalimat-kalimat itu selain jelas dan tegas, juga sangat dan sangat mudah dimengerti dan dipahami maksudnya, sehingga para pemilih mudah ‘mengeksekusinya’.
Lantas, akankah penyelenggara Pilpres 2014 (KPU Pusat), masing-masing pasangan calon beserta tim kampanye dan para pendukungnya mau menggunakan kalimat-kalimat seperti itu ketika melakukan sosialisasi kepada masyarakat calon pemilih?
Pertama, KPU Pusat. Di tengah munculnya multi tafsir tentang penentuan pemenang Pilpres 2014 yang saat ini menjadi salah perbincangan hangat, boleh jadi kemungkinannya untuk mau ada. Begitu pula bila dikaitkan dengan apa yang menjadi harapan KPU Pusat sebagaimana dikemukakan Arief Budiman dan Hadar Nafis Gumay (keduanya Komisioner KPU Pusat). Kata Arif Budiman; “Yang perlu menjadi perhatian selama (masa) kampanye adalah untuk jangan saling menghina, memfitnah, serta (diharapkan) tidak ada lagi black campaign.”
Sedangkan Hadar Nafis Gumay mengatakan bahwa peserta Peserta Pilpres 2014 dapat mewujudkan isi naskah Deklarasi Bidakara. “Kami berharap semua peserta kampanye mematuhi peraturan yang ada, seperti tema Deklarasi malam ini yaitu menciptakan kampanye yang damai, bersih dan demokratis. Jadi jangan saling mencaci maki, menyalahkan apalagi memaksakan”, kata Hadar Nafis Gumay
Kedua, pasangan Capres dan Cawapres Prabowo-Hatta beserta tim kampanye dan para pendukungnya. Kalau melihat pesan-pesan yang pernah disampaikan Prabowo kepada pendukung di berbagai kesempatan, ada ‘tanda-tanda’ jika Prabowo-Hatta beserta tim kampanye dan para pendukungnya juga akan mau menggunakan kalimat-kalimat seperti itu untuk mensosialisasikan ‘inti’ Pilpres 2014 kepada masyarakat calon pemilih.
Ini salah satu pesan Prabowo yang memberikan ‘sinyal’ dimaksud; “Pemilu adalah kesempatan bagi rakyat untuk memilih pemimpin-pemimpinnya. Oleh karenanya, bersama Hatta Rajasa dan koalisi partai pendukung kami bertekad menciptakan Pilpres yang jujur, bersih dan sejuk. Pendukung saya tidak boleh melakukan hal-hal yang negatif dan tidak menguntungkan bangsa. Saya minta pendukung saya untuk patuh," katanya. Pesan ini disampaikan Prabowo saat menyampaikan pidato dalam acara Deklarasi Bidakara.
Ketiga, pasangan Capres dan Cawapres Jokowi-JK beserta tim kampanye dan para pendukungnya. Melihat pesan yang disampaikan melalui spanduk, baliho atau iklan di televisi dan media lainnya, meskipun tak begitu ‘terang’, juga ada ‘lampu hijau’ dari Jokowi-JK beserta tim kampanye dan para pendukungnya, bakal mau. Apa ‘lampu hijau’ tersebut? Secara tersirat ada pada kata “Kita” dalam kalimat; “Jokowi-JK adalah Kita”. Karena Kita (kalau Kita mau jujur mengakuinya), meskipun berada di tempat yang berbeda, namun selagi masih tercatat sebagai warga negara Indonesia, Kita adalah 1: “1 Nusa, 1 Bangsa, 1 Bahasa, serta hanya 1 Presiden dan Wakil Presiden Kita.”
Apabila kalimat-kalimat seperti contoh di atas digunakan penyelenggara Pilres 2014 bersama masing-masing pasangan calon beserta tim kampanye dan para pendukungnya dalam sosialisasi sampai akhir masa kampanye Pilpres 2014 (5 Juli 2014), maka saya sangat yakin dan percaya, mulai detik ini yang namanya black campaign atau negative campaign, saling hujat dan saling fitnah antar dua kubu, maupun kampanye yang mengandung unsur SARA yang jelas-jelas dilarang dan dijadikan kedua kubu pasangan ‘senjata utama’ untuk saling ‘menjatuhkan’ di berbagai media sebagaimana dilakukan sebelumnya, dapat dipastikan dan otomatis akan hilang atau paling tidak berkurang secara signifikan.
Hasil akhirnya akan sesuai dengan jumlah pasangan peserta Pilpres 2014 dan Deklarasi Bidakara, yaitu hanya ada 2; (1) Menang Bermartabat; dan, (2) Kalah Terhormat.
Jangan Marah, karena Kita adalah 1.
Wassalam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H