Beberapa hari lalu saya mengunduh aplikasi Digital Books lewat tablet. Tujuan saya awalnya hanya untuk menghabiskan waktu luang sembari membaca beberapa tulisan-tulisan menarik. Namun sayang mayoritas buku yang ada di Digital Books hanyalah jenis komik dan jujur saja saya tidak pernah membaca komik selama hidup saya. Mungkin karena zaman Orba yang ada hanya anekdot-anekdot kale ya ?
Hingga tanpa sengaja saya menemukan buku berjudul ‘Social Argument’ di sana. Saya awalnya mengira buku ini adalah tulisan skripsi gagal sebab cover buku yang berbentuk mirip Cover Skripsi mahasiswa frustasi. Sederhana, namun judul dari buku tersebutlah yang membuat saya penasaran
Saya pun memberanikan diri untuk mengorbankan pulsa yang udah mendekati sakratul maut alias tipis sangat. Rp 13.000 untuk membeli buku yang berharga Rp.10.000 tersebut.
Awalnya saya sangat kecewa sebab ternyata yang ada di sana adalah tulisan yang berasal dari seorang kompasianer sebab tulisan-tulisan yang ada dalam buku tersebut merupakan kumpulan artikel yang disusun berdasarkan topik permasalahan yang dibahas.Pulsa Rp 10.000 saya ludes hanya untuk membeli buku yang bisa saya lihat lewat akun kompasiana yang saya miliki. Saya pun melacak tentang siapa yang menulisnya hingga saya mendapatkan nama Kompasianer sekaligus penulis buku tersebut.
Akun yang tidak terverifikasi dan foto profil yang ‘biasa-biasa saja’ membuat saya semkin penasaran dengan sosok kompasianer tersebut. Beberapa tulisannya tidak begitu banyak mendapat tanggapan dan ada beberapa artikel yang tdak terdapat pada postingan kompasianer tersebut. Saya kemudian coba mencerna tentang pesan apa yang sebenarnya coba disampaikan olehnya.
Hingga membaca semua tulisan dalam buku ‘social Argument’ tersebut saya menemukan bahwa tulisan ini menyuntikan kesan destruktif pada sisi nasionalis dan humanisme kita. Buku tersebut menunjukan sisi kritis namun juga kenaifan dari penulisnya. Artikel yang cukup ‘berbahaya’ terpampang di sana tentang bagaimana pengakuan kita terhadap negara dan sistem politik. Penulis juga menuangkan kata-kata sakartis yang seolah menampar tetapi dengan referensi yang relevan dengan realita, menyerang beberapa elit politik namun menunjukan alasan.
Di topik lain penulis membahas tentang fenomena dunia hiburan dengan menampilkan sinisme berdasarkan referensi esklusif yang berbicara dari sudut pandang esensi seni sejati. Saya kebingungan dalam menentukan spesifikasi disiplin ilmu yang didalami si penulis . Sebab ia seperti menguasai apa yang ia tulis meski dengan topik dan sudut pandang yang jauh berbeda.
Buku tersebut terkesan arogan dan terburu-buru. Saya mendapat point negatif tentang terjerumusnya generasi muda dalam kesesatan berpikir di sana. Namun tidak bisa saya pungkiri bahwa buku tersebut membuat saya ‘berpikir’.
Pertanyaan lain yang timbul dalam pikiran saya adalah tentang cara penulis menerbitkan buku tersebut.
Buku tersebut bisa saja di publikasikan lewat penerbit-penerbit selevel Gramedia namun mengapa penulis memilih digital Books ?
Apa ia takut bukunya mendapat kecaman ?
Mengapa buku tersebut diberi label harga bila penulis tahu bahwa lewat penerbit kecil buku tersebut tak akan dilirik oleh pembaca ?
Mr. Arogan atau sang penulis seperti memiliki tujuan aneh sebab sadar tentang kualitas tulisannya yang lumayan namun di sisi lain ia juga sadar bahwa cara berpikirnya akan mendapat kecaman.
Nilai positif dari buku tersebut hanyalah satu , tentang bagaimana seharusnya kita berpikir bahwa apa yang kini menjadi dinamika sosial yang absurd dan merusak adalah sebuah hasil dari pembiaran terlebih oleh generasi muda bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H