[caption id="attachment_230484" align="aligncenter" width="560" caption="Lokasi penebangan di hutan Sibayak"][/caption]
Foto dan Teks oleh: Dedy Zulkifli T
Prahara itu tidak jauh kawan. Dia dekat di tempat kita biasa bermain. Bukan dendam, karena seorang adik terjerembab diantara tebangan pohon. Atau juga benci hingga jalan kami terhambat ke puncak. Namun dengan berjalan menyusuri hutan beberapa hari hingga menjadi dekat, tentu saja menjadi sedih karena rumah keriangan beberapa makhluk hidup yang bebas itu tersungkur mencium tanah.
Lokasi tebangan ini ada dibahu Deleng (Gunung dalam bahasa Batak Karo) Pintau 2212 mdpl (meter dari permukaan laut), Kutalimbaru, Kab. Deli Serdang. Deleng Pintau bisa dikatakan satu badan dengan Gunung Sibayak karena puncaknya yang berdekatan. Jika dilihat dari peta topografi jarak udaranya tidak mencapai satu Kilometer. Dan bila di susuri dari Puncak Sibayak lama waktu tempuh sekitar satu jam. Namun kami mendaki dari jalur yang berbeda. Di mulai dari Desa Sigamang, Kab. Langkat, kami berjalan menembus hutan kurang lebih lima hari hingga tiba di puncak Pintau dan Sibayak.
Perjalanan ini adalah kegiatan rutin organisasi kami yang bergerak di dalam bidang kepecintaan alam. Di lakukan sekali setahun untuk meningkatkan kemampuan navigasi darat dan pengenalan medan, khususnya hutan gunung. Namun kali ini kami harus menerima kenyataan bahwa hutan tua yang rapat, dimana biasa kami lalui itu kini sudah terbuka. Meninggalkan banyak borok “kekejian” manusia pada alam. Sebuah dosa yang kelak menghadirkan konsekuensi yang sangat mahal untuk di tanggung, yakni krisis air.
Saat melintasi tebangan, tak terperikan rasa ini, dimana dua ekor elang terbang saling bersahut-sahutan dengan nada tinggi. Makna suara yang susah tertebak itu mengema berkali-kali di sekitar kami. Suara elang itu seperti mimpi buruk yang menghukum. Seolah menuding dan menyudutkan kami yang kewalahan keluar dari runtuhan pepohonan yang di biarkan roboh di sana. Kami pun berkeringat kegerahan. Lokasi penebangan ini benar-benar seperti neraka. Untuk melewatinya kami harus berjibaku dan beberapa kali harus terperosok diantara cabang dan ranting pohon yang tumbang.
[caption id="attachment_230485" align="aligncenter" width="336" caption="Gelondongan kayu yang di biarkan tergeletak"]
Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, pepohonan ini belum lama di tebang dengan menggunakan gergaji mesin. Ini dapat di lihat dari banyaknya daun yang masih hijau. Aroma segar tumbuhan juga masih menyengat tercium. Dan gelondongan kayu yang ada masih segar mengeluarkan getah. Diperkirakan sekitar 3 atau 4 hari yang lalu pepohonan ini di “bantai”.
Kemanakah perginya para penebang itu? Kami tidak melihatnya, hanya yang tertinggal sebuah dangau dan beberapa botol minyak pelumas di sekitar penebangan. Kami lalu mendokumentasikan lokasi yang berada pada 1400an mdpl, kemudian memperkirakan luasnya yang ternyata mencapai belasan hektar. Beberapa pohon tumbang yang di jumpai diameter batangnya ada yang mencapai satu meter bahkan lebih.
Setelah keluar dari wilayah tebangan, kami kembali masuk dalam rimbunan pepohonan. Tapi ternyata, tidak lama berjalan kami berjumpa dengan tebangan pohon lagi. Walaupun tidak lebih luas dari lokasi yang pertama. Namun ini benar-benar perusakan hutan secara perlahan-lahan dan tersembunyi. Saya tidak tahu apakah petugas hutan melihatnya lalu membiarkan atau memang benar-benar tidak tahu.
[caption id="attachment_230487" align="aligncenter" width="336" caption="Pangkal pohon yang telah di tebang."]
Penebangan ini mungkin bukan di lakukan oleh sekelas perusahaan, melihat luas ukuran tebangan yang bisa di golongkan kecil. Di samping itu juga, melihat kayu-kayu itu di biarkan, lahan ini seperti hendak di jadikan perladangan (saya tidak melihat akses keluar untuk kayu). Dalam pikiran saya, jika ini untuk perladangan beberarti ada dua kemungkinan. Dilakukan sekelompok masyarakat atau seorang yang punya modal yang besar. Apapun itu pembalakan ini perlu di selidiki oleh pihak yang berwajib. Karena berdasarkan informasi dari seorang kawan yang bekerja di salah instan negara yang terkait dengan masalah perhutanan. Lokasi penebangan masih berada dalam kawasan yang di lindungi oleh undang-undang.
Melihat sulitnya berjalan diantara robohan pohon kami memutuskan untuk melibir. Namun sayang belum jauh meninggalkan lokasi tebangan kedua kami harus menjumpai lagi lokasi tebangan yang ketiga. Walau tidak lebih besar dari yang kedua namun cukup luas. Kami langsung di sambut gonggongan beberapa anjing. Namun semakin kami mendekat ke arah suara anjing tersebut suara itu secara tiba-tiba menghilang. Dan kami melihat sebuah gubuk yang kosong namun masih terlihat asap bakaran yang berada di dekat gubuk. Tidak ada siapapun di situ. Kecurigaan kami semakin bertambah. Tidak seperti biasanya, saat kami berjalan di hutan dan menjumpai masyarakat di pinggir hutan atau di desa pasti disambut ramah. Namun kali ini kami seperti dihindari seolah tidak ingin di ketahui apa yang di kerjakan.
[caption id="attachment_230488" align="aligncenter" width="336" caption="Melewati lokasi penebangan yang sangat menghambat"]
Hutan sibayak yang berada disisi utara memang terkenal masih lebat dan rapat. Khususnya di punggungan Deleng Pintau. Saya masih ingat sepuluh tahun yang lalu saat latihan navigasi, kami tidak boleh melenceng lebih dari lima derajat. Keterbatasan orientasi bisa membuat para pendaki berputar karena lebatnya pepohonan yang berkontur landai. Di samping itu semaknya pun lumayan lebat yang kerap cukup menghabiskan energi untuk menembusnya. Kami yang di bagi beberapa kelompok yang hanya berjarak dua puluh meter tidak bisa saling melihat. Tapi kini, jangankan dua puluh meter, punggungan jauh yang mengarah kepuncak pun terlihat sangat jelas. Keangkeran dan kelebatan hutan pintau sekarang ini sudah menjadi cerita masa lalu.
Sebenarnya ada hal lain yang lebih mengkhawatirkan, yakni masalah sumber air. Lokasi penebangan tidak jauh dari dua sungai yang mensuplai air ke Sungai Bingei. Yakni Lau (Sungai dalam bahasa Batak Karo) Penusukan dan Lau Mbelin. Kedua sungai ini berada di hulu Sungai Bingei. Sementara itu sungai bingei adalah sumber air irigasi yang mengaliri persawaahan hingga ratusan hektar di dua kabupaten yakni Langkat dan Deli Serdang di Sumatera Utara. Melihat vitalnya sumber air di hulu Sungai Binge maka menjaga kelestariaan hutannya adalah harga mati. Jadi, masikah kita menunggu bencana?
Sigamang - Pintau, 23 - 28 Okt 2011
Tulisan Berikutnya: http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/12/13/prahara-di-hutan-sibayak-dua/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H