Mohon tunggu...
dedy zulkifli
dedy zulkifli Mohon Tunggu... Wiraswasta - wiraswasta

orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Di Barat Daya Gunung Leuser (Empat)

20 April 2012   05:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:23 823
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di Barat Daya Gunung Leuser (satu)

Di Barat Daya Gunung Leuser (dua)

Di Barat Daya Gunung Leuser (tiga)

Hari ke 14 (Jum’at, 22 Juli 2011)

Tak terbayangkan sebelumnya, untuk turun Gunung Leuser bakal menyusuri sungai sejauh ini. Di pagi hari kaki yang selalu basah di hampir perjalanan kemarin mulai tergores lecet dan memberi rasa tidak nyaman. Saya dan lainnya mulai memasang plester dimana sepatu sudah mulai melukai kulit.

07.45 Wib. Hari ini kami berencana untuk jalan di atas punggungan. Perjalanan sungai mulai terasa tidak efektif. Adapun ini di sebabkan oleh dua hal, yang pertama karena alur sungai mulai banyak yang berkelok-kelok. Kedua, karaktertepian sungai yang tidak bisa di prediksi. Keduanya ini berpotensi membuat perjalanan jadi semakin lama.

09.10 Wib. Perjalanan di punggungan ternyata tidak semudah yang kami kira. Jalur yang menanjak begitu semak-semak. Hutan barat daya yang berada di bawah ketinggian 600 mdpl ini benar-benar rapat. Mister Jali dan Pak Wo yang berjalan di depan malah sering tidak terlihat. Ini membuat kami yang di belakang agak sedikit frustasi. Ternyata jejak tebasan Mister Jali dan Pak Wo timbul tenggelam. Pada satu kondisi malah kami terpisah beberapa lama. Hingga terpaksa saling mencari.

Antara Insting dan Teknologi

11.30 Wib. Mister Jali dan Pak Wo terlalu jauh melibir punggungan. Sudah lebih dari 90 derajat dari plotingan yang di buat Agi pada cek point 4. Saya tidak tahu apakah Mister Jali dan Pak Wo sadar tentang keadaan ini. Dan Agi tampak mulai frustasi untuk mengarahkan keduanya. Adalah benar kemampuan Mister Jali dan Pak wo cukup mumpuni untuk mencari jalur. Namun berhari-hari di hutan bisa saja mempengaruhi penilaian mereka. GPS yang di bawa oleh Agi menunjukan sudah jauhnya jalur melenceng agar bisa berpindah punggungan. Akhirnya, saat bertemu dengan Mister Jali dan Pak Wo di depan, ternyata diketahui keduanya hendak mencari jalur yang agak mudah di turuni namun mereka kurang sadar bawah sudah terlalu jauh untuk melibir. Kami memutuskan untuk merubah arah jalur agak tidak jauh dari flotingan. Kemudian di sepakati untuk orang-orang di depan Agi harus ada selaku pemegang GPS. Jadi merintis jalur ini memadukan insting (kemampuan alamiah yang di dukung oleh pengalaman) dan teknologi (GPS).

[caption id="attachment_175790" align="aligncenter" width="194" caption="Tajuk pohon yang tinggi di barat daya Gunung Leuser"]

13348969071729602014
13348969071729602014
[/caption]

Dalam merintis jalur kerap para pendaki gunung ragu untuk turun lembah agar segera berpindah punggungan. Ini bukan karena kurang mengerti keadaan hutan. Namun ketika di hadapkan untuk segera turun para pendaki selalu mencari jalan termudah. Padahal di hutan, khususnya hutan sumatera, lipatan punggungan dan bukit berlapis-lapis dan tipis. Tak jarang kita bakal menuruni atau menaiki punggungan yang curam.Maka tak heran ketika Jalur Selatan Leuser kerap menjadi “labirin” hutan yang tak berkesudahan. Saya mengumpulkan beberapa data jalur selatan leuser seperti mitos saja.Seolah-olah ada sesuatu yang “gaib” disana. Sesuatu yang tidak bisa di jelaskan. Padahal kalau mau jeli melihat peta tofografi akan tahu. Bahwa, baik itu jalur selatan atau barat daya sama-sama memiliki dinding-dinding punggungan (lapisan bukit) tinggi yang mesti dilewati hingga membutuhkan fisik dan mental di atas rata-rata. Disamping itu juga di butuhkan kejelian dalam memilih punggungan. Disini tidak boleh salah kalau tidak ingin menanggung konsekuensi bakal tersesat atau membuat molor waktu perjalanan.

17.30 Wib. Kami berjalan naik dan turun punggungan. Kemudian melibir lalu turun lagi. Terakhir kalinya kami naik punggungan yang lumayan terjal dan kembali lagi melibir. Hari ini adalah hari terberat kami. Saya praktis tidak ada memotret. Perjalanan yang lama dengan medan naik turun benar-benar menguras tenaga. Bukan hanya saya saja mulai keletihan. Bang udin dan Husen juga tak memungkiri beratnya hari ini. Biasanya sebelum pukul lima sore kami sudah mencari loaksi untuk berbivak. Tapi kini sudah pukul lima lewat kami masih menyandang carrier. Keadaan ini memang harus kami terima karena tak ada tempat yang cukup datar dan aman untuk mendirikan bivak.

18.30 Wib. Akhirnya kami menjumpai tempat yang lumayan datar. Walau jauh dari sungai namun kami sempat menampung air dari anakan sungai. Hingga stok minuman cukup untuk makan malam dan minum.

[caption id="attachment_175791" align="aligncenter" width="240" caption="Membongkar bivak "]

13348971371545533125
13348971371545533125
[/caption]

Hari ke 15 (Jum’at, 23 Juli 2011)

Kemelut di Punggungan Terakhir

Tadi malam rupanya Mister Jali dan Pak Wo terjaga. Hal ini disebabkan adanya suara gaduh dari beberapa binatang tidak jauh dari tempat kami berbivak. Mereka memperkirakan bahwa suara itu adalah sejenis kera.

Hutan Leuser barat daya memang masih lebat. Hutannya pun masih terjaga. Hingga hari ini kami masih belum bertemu baik masyarakat perorangan maupun perladangan. Yang ada hanya pohon, pohon dan pohon. Di beberapa tempat malah tinggi pohon memayungi kami hingga hanya serpihan-serpihan cahaya matahari yang sampai ke tanah.

[caption id="attachment_175789" align="aligncenter" width="360" caption="Menyebrangi Krueng (sungai) Pawoh Baro"]

1334896686570512142
1334896686570512142
[/caption]

08.00 Wib. Kami berkemas-kemas untuk kembali menyusuri punggungan. Tidak lama kemudian turun lagi ke Krueng (sungai) Pawoh Baro. Istirahat sejenak lalu menyebrangi sungai dan berpindah punggungan.

12.10 Wib. Keringat mengucur deras. Pendakian terus menanjak tiada ampun. Saya berkali-kali berhenti untuk sekedar menarik nafas dan minum air.

14.00 Wib. Jalur masih menanjak. Stok air didalam botol tinggal setengah. Perut mulai keroncongan. Sementara itu stok biskuit sudah habis.

16.00 Wib. Peluh tak henti-hentinya mengalir. Kini satu botol minuman saya sudah habis tinggal satu botol aqua ukuran sedang. Minuman ini pun terpaksa saya bagi dengan Anton yang rupanya sudah habis airnya.

16.00 Wib. Belum ada tanda-tanda jalur bakal melandai. Setiap saya melihat tajuk pohon yang terbuka berharap akan berjumpa landaian tapi selalu saja pupus dan kembali berjalan menanjak. Bang Udin dan Husen berjalan lebih dahulu untuk menjumpai Mr Jali dan Pak Wo di depan untuk mencari tempat istirahat.

18.15 Wib. Tiba di sebuah tempat yang agak terbuka dan landai. Kini kami semua sudah kehabisan stok air. Saya mengusulkan untuk berbivak disini. Namun beberapa yang lainnya mengusulkan untuk di teruskan. “Kita berbivak di dekat sungai aja. Atau setelah jumpa air” kata Mister Jali.

Dari sini samar-samar terlihat beberapa rumah dan perladangan penduduk. Namun tidak lama sudah tersapu kabut putih pekat. Saya melihat Jam Sunto menunjukan ketinggian 1300 mdpl.

19.05 Wib. Hari mulai gelap. Dan perjalanan tetap di lanjutkan. Kami masing-masing memasang headlamp.

21.00 Wib. Anton terlihat mulai lambat jalannya. Saya terus memotivasi Anton untuk terus berjalan. Kelelahan ini memang sudah di luar batas. Saya secara pribadi sudah mengabaikan kondisi fisik. Rasa haus dan pegal-pegal sudah tidak di hiraukan. Saya tak peduli lagi beratnya ransel atau perihnya kaki yang mulai menyayat-nyayat. Yang ada dalam pikiran saya adalah selangkah kaki berarti kehidupan.

Berkali-kali saya dan Anton jalan terperosok. Dan sesekali Anton minta berhenti untuk sekedar menarik nafas. Namun pada akhirnya dia menyerah juga hingga bergeming tidak mau lagi di ajak jalan. “ Jalan aja duluan, aku istirahat dulu disini “ katanya dengan suara lemah pada saya. “Ayo Ton, kau pasti bisa. Jalanlah pelan-pelan saja. Jangan berhenti di sini” Kata saya mencoba memotivasi lagi. Anton hanya geleng-geleng kepala. Lalu merebahkan badannya di tanah.

Saya memutuskan untuk menyusul lainnya dan meminta Anton untuk bertahan dulu. Tidak lama, saya melihat semuanya terduduk lemas menunggu. Sesaat kami semua duduk terdiam. Dan kemudian Mister jali berjalan kedepan dan membawa beberapa batang (sejenis liana) untuk di tampung airnya. Bersama Bang Udin dan Husen, Mister Jali membawa air dan menjemput Anton di belakang.

22.00 Wib. Kami menjumpai sebuah bivak tepat di jalur. Bivak terbangun dari beberapa batang kayu namun tidak ada atapnya. Diduga bivak ini dulunya di pakai para penebang pohon atau pencari kayu. Dan beruntungnya kami mendapati sebuah jerigen yang berisi air penuh. Langsung saja air tersebut di bagi untuk di minum bersama.

Kondisi Anton mulai agak mendingan. Apalagi setelah mendapat air. Dan kami pun sudah memutus bermalam di sini. Sehingga tenaga tidak perlu terkuras lagi.

Bang Udin dan Husen turun ke bawah untuk mensurvey air sambil membawa tempat penampung air. Prediksi Mister Jali sumber air tidak jauh lagi. Dan benar tidak lama keduanya kembali membawa air. Kami pun bersuka cita. Rasa haus dan lapar itu kini bisa di atasi. Walau dengan menu nasi dan mie instan, ini adalah makan malam ternikmat yang pernah kami alami.

Hari ke 16 (Sabtu, 23 Juli 2011)

09.00 Wib. Kami langsung saja berkemas. Dan menuruni punggungan untuk turun kedesa.Tidak lama kami menjumpai sungai dimana Bang Udin dan Husen mengambil air. Disini kami istirahat dan memasak Nasi untuk sarapan.

Sungai ini ternyata adalah anak sungai dari Krueng Manggeng. Kami mengikuti alur sungai ini hingga menyatu dengan Krueng Manggeng. Hati saya sungguh berbunga-bunga, cepat atau lambat kami akan sampai di desa hari ini.

10.20 Wib. “Akhirnya!!!” Jerit saya dalam hati. Setelah belasan hari saya begitu merindukan untuk bertemu orang lain. Kini terlihat beberapa warga kampung sedang duduk beristirahat di sebuah perladangan dekat sungai. Kami pun datang memperkenalkan diri dan duduk beramah tamah.

[caption id="attachment_175797" align="aligncenter" width="300" caption="Berbincang-bincang dengan warga Desa Manggeng"]

13348988271032358405
13348988271032358405
[/caption]

Evaluasi Jalur

Bisa dikatakan jalur yang kami rintis ini masih banyak yang perlu di perbaiki lagi. Ada beberapa bagian yang memang cukup riskan untuk dilalui. Saya secara pribadi bersyukur bahwa selama pendakian langit selalu cerah. Disamping mudah untuk orientasi juga aman selama berjalan di sungai.

Namun untuk kedepannya berjalan menyusuri sungai perlu di waspadai. Terutama Krueng Pawoh Baro. Sungai ini sangat berbahaya untuk di susuri atau di seberangi jika selama pendakian hujan terus mengguyur. Melihat sungainya yang memiliki tingkat kecuraman yang tinggi dan juga batu-batu di sungai yang membentuk jeram. Tentu akan menghambat perjalanan. Dan bisa juga membuat pendaki tertahan. Padahal sungai ini adalah salah satu “gerbang “ penting yang harus di lalui untuk mencapai Manggeng. #TAMAT.

Tulisan terkait: http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2012/04/21/menikmati-pesona-gunung-leuser/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun