Mohon tunggu...
dedy zulkifli
dedy zulkifli Mohon Tunggu... Wiraswasta - wiraswasta

orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Di Barat Daya Gunung Leuser (Dua)

17 April 2012   06:43 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:31 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_175174" align="aligncenter" width="640" caption="Pepohonan yang diselimuti lumut "]

Tulisan sebelumnya…

Teks dan foto: Dedy Zulkifli

09.40 Wib. Perjalanan di lanjutkan dengan menyusuri jalur yang kami survey kemarin. Ternyata jalan turun dengan carrier dari puncak Leuser tidaklah mudah. Disamping curam, semak-semak perdu tak henti-hentinya menghambat langkah kami. Sesekali kami harus merayapi akar-akaran karena tidak ada pilihan lainnya. Tak ketinggalan beberapa kawanan lebah mencoba menghadang langkah kami. Namun syukurnya tidak terlalu berarti karena kebetulan masih bisa di hindari.

15.30 Wib. Setelah jauh turun, vegetasi tumbuhan mulai berubah. Semak-semak perdu itu kini di gantikan oleh pepohonan yang diselimuti lumut dengan cabang-cabangnya menutupi jalur. Bahkan batang pohon rotan sudah terlihat menyebar menghalangi langkah. Ini menjadi tantangan lainnya karena duri rotan yang sangat tajam.

1334642209968083591
1334642209968083591
[/caption]

17:20 Wib. Kami masih belum menemukan tempat yang datar. Sementara tim mulai kelihatan lelah. Pak wo dan Husen berjalan lebih dulu. Namun semakin jauh mereka jalan tanda-tanda bakalan landai masih jauh dari harapan. Berhubung hari mulai gelap, akhirnya kami memutuskan berbivak (membuat tenda darurat) walau dengan kondisi tanah yang agak miring.

18.30 Wib. Kami kehabisan air untuk di minum. Dan memang sepanjang perjalanan kami tidak menemukan sumber air. Langit pun sama sekali tidak memberikakan gambaran akan turun hujan. Akibatnya, di malam hari kami tidak bisa memasak nasi karena kehabisan air. Untuk mengganjal perut kamihanya makan biskuit dan minum air botol ukuran sedang yang di bagi tujuh. Sebelumnya Mister Jali dan Pak wo sudah berusaha mencari sumber air jauh kebawah, namun karena khawatir kemalaman maka di putuskan besok pagi saja sembari turun bersama.

19.10 Wib. Di camp pertama (Camp I) selepas dari Puncak Leuser ini, suhu udara tidak terlalu dingin. Padahal kami memakai bivak yang agak terbuka. Barangkali lebatnya pepohonan melindungi bivak dari hembusan angin. Sementara itu ketinggian yang tercatat sudah turun hingga 2000 mdpl.

Mie Instan Batang Pisang

21.30 Wib. Mata masih belum bisa terpejam. Saya berjalan keluar dari bivak dan melihat Pak Wo, Bang Udin dan Mister Jali duduk diantara kayu yang masih terbakar. Mereka sedang memasak rupanya. Saya agak bingung dari mana mereka dapat air. Ternyata mereka sedang memasak mie instan dengan batang pisang hutan. Dan sayangnya ternyata tetap saja air perasan batang pisang itu tidak membuat mie instan melembut. “ Ayo,di coba mie nya” ajak Mister Jali pada saya. Saya mengambil sejumput mie yang keras seperti kerupuk itu dan ternyata rasanya minta ampun asinnya karena terlalu banyak bumbu. Di samping itu juga ada rasa kelat yang agak lengket akibat batang pisang muda yang mereka campur.

Saya, entah bagaimana harus menilai keadaan ini. Kami tidak larut dalam keluhan malah justru senang dan tertawa atas sajian malam ini.Lalu entah pikiran dari mana tercetus ide untuk menabur mie asin itu dengan serbuk nutrisari yang asam manis. Tidak ada yang protes, semua setuju. Saya melihat Mister Jali begitu antusias. Memang begitulah wataknya, spontan dan apa adanya. Ajaibnya, setelah itu rasa mie jadi lebih baik. Saya geleng-geleng saja sambil tersenyum menikmati mie yang rasanya seperti “kapal pecah” ini. Mr jali, pak wo dan Bang Udin malah tertawa terbahak-bahak sambil tetap mencomoti mie dari nesting (wadah tempat memasak).

Situasi ini kalau yang saya rasakan adalah semacam pelepasan (relaksasi). Dengan melupakan sejenak masalah sambil mencoba menikmati keadaan. Tidak ada penolakan, saya dan lainnya dimalam itu memang haus dan lapar tapi Mister Jali dan Pak Wo mengajarkan untuk tetap menikmati keadaan sesulit apapun itu. Bagi mereka semua masalah ada solusinya.

Kami akhirnya berbincang-bincang sembari menikmati mie asin yang aneh itu. Dan tanpa terasa mie tersebut tandas juga. Kini giliran rasa haus menyerang, saya mulai terbatuk-batuk karena merasa tenggorokan kering. Langsung saja Bang Udin menyodorkan permen yang sudah disiapkannya. Ternyata lumayan menyegarkan.

Hari ke 11 (Selasa 19 Juli 2011)

[caption id="attachment_175178" align="aligncenter" width="300" caption="Berkemas-kemas di Camp I"]

13346423351511894849
13346423351511894849
[/caption]

07.00 Wib. Kicau suara burung dan pagi yang cerah mengiringi kami melanjutkan perjalanan. Kali ini kami fokus untuk mencari sumber air.

Di sebuah turunan atau lembah kecil terjawab sudah kekhawatiran kami, ternyata punggungan ini memang tidak putus dan terus menyatu jauh. “Mantap!” Kata saya. Walaupun ada kelegaan namun kami masih memiliki masalah untuk menemukan sumber air. Kami lalu istirahat sejenak. Pak Wo dan Mister Jali meletakan carier (ransel besar) dan turun mencari air. Kemudian Husen dan Bang Udin menyusul kearah lainnya. Agak lama kami menunggu baru mereka datang, namun sayang tidak ada air yang terbawa dari jeregen. Hanya beberapa batang pohon (sejenis liana), batang pisang hutan dan batang kincung. Batang pohon yang banyak mengandung air itu di tegakkan, lalu air akan menetes kemudian di tampung pada kantung plastik. Tidak banyak namun lumayan membasahi tenggorokan. Lalu batang pisang dan kincung itu di kunyah seperti makan tebu.

[caption id="attachment_175185" align="alignright" width="144" caption="Menampung air dari batang pohon (sejenis liana)"]

1334642909991500871
1334642909991500871
[/caption]

Mr jali menjelaskan untuk tidak mungkin terus berjalan di punggungan. Karena kesulitan air ini tentu akan membuat tim cepat lelah. “Kita harus turun kesungai. Dan coba menyusuri jalur dari bawah saja” Kata Mr Jali.

Turun gunung dengan menyusuri sungai tentu bukanlah pilihan bijak. Banyak sekali resiko yang bakal di temui, diantaranya ancaman longsor saat hujan, jatuhnya bebatuan dari tebing dan bahaya adanya air bah. Belum lagi bila berjumpa air terjun yang tinggi.

Lama kami mendiskusikan masalah ini. Agi pun sudah memploting jalur kami di atas pungungan dan bukan menyusuri lembah. Saya pribadi juga agak keberatan namun beberapa alasan yang di kemukan Mister Jali membuat saya berpikir dua kali untuk ngotot menyusuri punggungan. Dan memang harus di akui bahwa untuk bertemu sumber air di punggungan peluangnnya sangat kecil.

Turun ke lembah

Pada akhirnya kami sepakat turun ke lembah, tepatnya turun kesisi kanan punggungan. Keputusan ini tidak boleh ragu-ragu. Karena lembah yang bakal di turuni cukup dalam. Dan perjalanan pastinya di lanjutkan dengan menyusuri sungai hingga tiba di ujung punggungan.

Satu hal lainnya, sebelum kami benar-benar turun ke lembah, Saya dan Anton tetap mencoba menampung air dari kantung semar yang kebetulan di jumpaibertebaran di jalur. Namun karena mungkin tidak hujan beberapa hari ini. Air yang di dalam kantung semar tidak terlalu banyak. Kami menampung tidak lebih satu botol minuman ukuran sedang.

11.20 Wib. Kami berjumpa anakan sungai. Dari sela-sela batu kami menampung airnya yang kecil mengalir. Walau harus bersabar menunggu agar air penuh terisi namun ini sudah cukup berkah bagi kami. “Cukup lama sepertinya tidak hujan disini” ujar Pak Wo pada kami. “Biasanya jika ada lembahan saja, kita bisa menjumpai air. Ini bahkan sudah mengikuti alur sungai malah rata-rata kering” lanjut Pak wo masih kerabat dekat Mr Jali.

Bang Udin langsung masak nasi, kami pun bersuka cita dengan ditemukannya sumber air. Sembari rehat kami pun mendiskusikan jalur yang akan di lalui. Berhubung kami memutuskan untuk menyusuri sungai tentulah kami harus waspada terhadap cuaca. Melihat karakter medannya saja, anakan sungai ini akan sangat gampang meluapkan airnya jika hujan. Ini karena sisian sungai di barisi punggungan (dinding) yang nyaris tegak. Di samping itu juga, bebatuan labil baik dari tebing sungai menjadi ancaman lainnya.

[caption id="attachment_175187" align="aligncenter" width="300" caption="makan siang di dasar anak sungai sungai yang kering"]

13346439341614446918
13346439341614446918
[/caption]

12.50 Wib. Mister Jali dan Pak Wo melakukan survey untuk melihat ujung anakan sungai. Di samping itu juga mencari jalan yang mudah di dasar lembah ini.

13.30 Wib. Kami bergerak menyusul Mister Jali dan Pak Wo. Selang satu jam kami sudah berjumpa dengan mereka. Perjalanan di teruskan hingga jauh menuruni lembah.

16.00 Wib. Anakan sungai yang kering dimana kami susuri akhirnya membawa kepada sungai yang betul-betul berair dengan tinggi rata-rata selutut. Sungai ini di perkirakan datang (berhulu) dari Gunung Bivak III.

Berjalan disisi sungai memang mempunyai beberapa konsekuensi. Kami terpaksa menerabas semak-semak yang tebal. Belum lagi tumbuhan jelatang yang membuat gatal. Sementara itu beberapa batu besar yang terconggok di tengah sungai membuat kami harus turun melalui celah-cellah sungai yang pas dengan badan dan carrier.

[caption id="attachment_175188" align="aligncenter" width="300" caption="Bongkahan batu besar di tengah sungai memaksa kami untuk berjalan di antara celah-celahnya."]

1334644063479665442
1334644063479665442
[/caption]

17.05 Wib. Kami lalu memutuskan mencari tempat bermalam. Namun sempitnya pantai sungai yang ada hanya menyisakan sedikit gundukan. Dan terpaksa bermalam tidak jauh dari sungai (kira-kira 10 meter) walaupun agak riskan namun untuk sementara tempat inilah yang terbaik untuk berbivak. Saya dan beberapa lainnya lalu membersihkan lokasi berbivak. Bang Udin dan Husin lalu membuat api untuk memasak. Pak Wo dan Mr jali memeriksa seputar bivak dan mencoba merencanakan jalurkemana kami harus berpindah bila malam hujan. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan mengingat bahayanya sungai ini.

Bersambung….

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun