[caption id="attachment_159641" align="aligncenter" width="616" caption="Beberapa telaga yang terlihat dari puncak Gunung Talamau"][/caption]
Foto dan Teks oleh : Dedy Zulkifli
Tulisan sebelumnya...... Tidak sampai satu jam beristirahat dan makan siang kami melanjutkan lagi perjalanan. Kali ini hujan agak mereda namun sang pacet tetap saja menguntit. Maka sesekali kami berhenti sambil memeriksa kaki yang ternyata memang sudah banyak di kerubungi. [caption id="attachment_159657" align="alignright" width="300" caption="Puncak Gunung Talamau yang membayang di Talago Puti Sangka"]
[/caption] [caption id="attachment_159643" align="alignright" width="300" caption="Padang rumput yang bernama Padang Siranjano"]
[/caption] [caption id="attachment_159648" align="alignright" width="300" caption="Di puncak Gunung Talamau"]
[/caption] Semakin jauh berjalan jalur semakin menanjak saja. Tak adalagi landaian, namun vegetasinya masih saja hutan lebat yang belum menunjukan karakter perdu-perduan. Jadi kami belum bisa melihat panorama alam karena masih di tutupi oleh pohon besar. Setelah dua jam berjalam akhirnya kami tiba di sebuah shelter dengan nama Bumi Sarasah. Shelter ini agak luas dan ada bangunan sederhana namun atapnya di buat dari seng. Tidak ada dinding dan cukup datar. Kami berhenti sebentar saja lalu melanjutkan perjalanan. Hari semakin sore sementara hujan belum juga mereda. Jam di tangan sudah menunjukan pukul lima lewat. Dejo segera mengingatkan untuk mencari tempat datar agar bisa mendirikan tenda. Pukul enam belum juga ada tanda-tanda di jumpai tempat yang datar. Malah semakin menanjak. Vegetasi pun sudah mulai berubah, beberapa perdu dan pandan hutan mulai hadir. Sementara pepohonan yang ada mulai diselimuti oleh lumut. Biasanya, karakter vegetasi seperti ini berada pada ketinggian di sekitar dua ribuan meter dari permukaan laut. Di sini suhu mulai terasa dingin. “Kita harus segera bertenda Kang, hari semakin gelap” ujar Dejo pada saya. Saya menggeleng kepala, karena tempat ini cukup miring dan bersemak. Bersama Sardi, saya mensurvey keatas lagi. Namun setelah diperiksa kondisi sama saja. Kami balik dan langsung mendirikan tenda di tanah yang lumayan miring itu. Usai makan malam kami melakukan evaluasi dan diskusi untuk merencanakan pendakian esok harinya. Awalnya kami berniat untuk ngecamp di Shelter Peninjauan namun karena terhambat di perladangan hingga membuat banyak waktu yang terbuang. Hasilnya terpaksa kami ngecamp di sini. Sardi dan dejo mengusulkan kami untuk summit attack saja ke puncak. Di samping hemat waktu juga tenaga. “Kita membawa roti dan minuman saja ke puncak. Sebagian barang lainnya tinggal di tenda.” Kata sardi menjelaskan. Akhirnya pun kami sepakat untuk summit attach dan bergerak jam tujuh pagi. Pagi harinya kami pun berjalan diantara gerimisnya hujan. Ternyata hanya tinggal setengah jam lagi untuk tiba di Peninjauan. Shelter ini memang tidak luas, namun lumayan datar. Disini di jumpai semacam tempat berteduh yang beratap seng. Cukup terlindung dari hujan namun tidak dari angin karena shelter ini cukup terbuka. Dari sebuah tanda yang kami jumpai, tertulis angka dua kilometer yang berarti jarak ke puncak. Kami tidak lama berhenti di sini, perjalan terus dilanjutkan. Vegetasi pun sekarang berubah lagi. Beberapa perdu dan jenis pakis-pakisan mulai mendominasi. Sudah tidak ada lagi pohon-pohon besar. Jalur pun mulai terbuka. Dan pacet-pacet maut itu sudah jarang di jumpai. Dijalur ini kami menjumpai aliran air seperti sungai kecil. Malah ada yang bentukannya seperti air terjun setinggi lima meteran. Sementara itu kabut masih saja menyelimuti. Sekitar satu jam lebih lima belas menit kami berjalan di tanjakan yang curam akhirnya tiba di sebuah padang rumput. Dataran ini cukup luas. Padang rumput ini bernama Padang Siranjano. Tidak jauh berjalan terlihat sebuah talago (bahasa minang yang berarti telaga) yang yang cukup besar membentang. Diameter terpanjangnya di perkirakan sampai empat puluh meteran. Sebuah pamplet dari bahan kaleng bertuliskan T. Puti Sangka Bulan. Tidak jauh dari situ jumpa lagi telaga dengan nama Talago Biru. Dan satu buah lagi yang tidak kami ketahui namanya. [caption id="attachment_159665" align="alignleft" width="144" caption="Bunga cantik ini salah satu kekayaan hayati di puncak Gunung Talamau"]
[/caption] Puncak Gunung Talamau yang membayang akibat tebalnya kabut yang merepleksi di Talago Puti Sangka Bulan. Dari sini puncaknya terlihat seperti bukit saja. Disaat kami berjalan, ternyata jalur bercabang ke beberapa arah. Kami berpencar mencari jalur terdekat ke puncak. Hingga akhirnya berjumpa jalur di seberang telaga. Dan syukurnya kabut semakin tipis dan arah ke puncak sudah sangat jelas terlihat. Kami bersemangat terus berjalan. Walaupun cukup terjal tanjakannya tapi bias kegembiraan begitu terlihat. Hanya berjalan sekitar satu jam kami akhirnya tiba di puncak
gunung talamau. Sungguh luar biasa indahnya pemandangan dari puncak gunung ini. Dari arah kami datang enam buah telaga yang berisi air terlihat seperti lubang-lubang berkaca. Kemudian di seberangnya, garis pantai pesisir
barat memutih berkelok. Sementara laut yang seperti permadani terhampar di batasi cakrawala. Di arah lainnya beberapa gunung membayang di kejauhan. Kami mencoba mencari dimana kira-kira tujuh telaga lagi. Karena berdasarkan informasi ada tiga belas telaga seharusnya disini. Namun kami melihat beberapa lubang yang tidak berisi air. Bisa jadi ini bagian dari telaga yang di maksud. Puncak Talamau di tandai oleh tiang besi setinggi kira-kira tiga meter, dimana atas tiang terdapat sebuah kubah kecil. Didasar tiang beberapa batu menopang tiang (diameter tiang segenggaman tangan) agar tetap berdiri tegak. Sementara itu kedaan puncak tidak tandus seperti puncak gunung umumnya. Namun banyak di tumbuhi pohonan perdu setinggi pinggang orang dewasa. Kemudian beberapa bongkahan batu besar berdiameter setengah hingga dua meter berserak dirimbuni perdu. Saat kami dipuncak, cuaca semakin baik. Bahkan kabut sudah tidak terlihat lagi. Sehingga cahaya yang ada menjadi sedikit menyilaukan. Tidak jauh dari sini ada sebuah puncak lagi yang tidak lebih tinggi terlihat, hanya di jembatani oleh sebuah sadel (bentukan punggungan yang menurun lalu naik). Perkiraan saya itu mungkin puncak Gunung
Pasaman. [caption id="attachment_159668" align="alignright" width="180" caption="Melewati jalur air yang membentuk terjunan."]
[/caption] Kami nyaris terlena untuk ingin lebih berlama-lama lagi. Lebih dari satu jam sudah kami berada di puncak. Padahal hari ini kami kami harus sudah turun dan kembali ke Bukit Tinggi. Dari informasi pengelola sebelumnya bahwa untuk turun di butuhkan waktu enam sampai delapan jam. Setelah melakukan beberapa pendokumentasian kami kemudian turun pelan-pelan. Sekitar pukul dua belas siang kami kembali tiba di camp. Kemudian berkemas melipat tenda dan perlengkapan lainnya. Saat semua carrier sudah terpanggul, secepatnya kami pun turun ke Desa Pinaga.
TAMAT.
Catatan: Mendaki Gunung Talamau ini dari Desa Pinaga, kami sempat berselisih paham oleh pihak pengelola karena adanya seorang wanita dalam tim. Mereka mengatakan jika ada satu orang perempuan dalam tim, maka wajib membawa guide dari mereka. Alasannya untuk mencegah terjadi perbuatan asusila selama perjalanan. Saya bisa memaklumi ini (walaupun masih perlu di perdebatkan) mengingat budaya masyarakat
pasaman yang sangat kental islamnya. Tapi ada yang janggal, mereka bisa menerima jika komposisi berpasangan. Artinya jika ada dua perempuan dan dua laki-laki itu tidak masalah. Saat di tanya kenapa bisa, mereka menjawab itu sudah peraturan kampung di sini. Namun di kemudian hari saya baru tahu, itu adalah celah yang coba di manfaatkan agar tim memakai guide. Karena seorang kawan dari sebuah mapala yang berdomisili di Sumatera
Barat juga mengatakan saat dia membawa tim dalam komposisi berpasangan tetap juga harus memakai guide. Memberdayakan masyarakat agar menjaga dan mendapat manfaat ekonomi dari
wisata gunung adalah perlu. Namun hendaknya tawaran guide bersifat “opsi” yang artinya bisa di perlukan bisa tidak. Jadi tidak perlu alasan yang di buat-buat agar tetap memakai guide. Kami pun sebenarnya tidak punya pilihan karena keterbatasan dana, dalam hal ini pengelola tetap mengharuskan pakai guide. Namun karena kami hanya bisa menyanggupi nominal 50 ribu rupiah dari 150 ribu rupiah/hari/guide (pendakian biasanya 2-3 hari) dan diantara mereka ternyata tidak ada yang mau jadi guide dengan dana segitu. Akhirnya kami pergi tanpa guide dan hanya di bebankan retribusi dan parkir sepeda motor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya