Mohon tunggu...
dedy zulkifli
dedy zulkifli Mohon Tunggu... Wiraswasta - wiraswasta

orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Menembus Belantara Talamau (Satu)

30 Januari 2012   03:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:18 1087
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_159052" align="alignnone" width="600" caption="Siluet Gunung Talamau terlihat dari Desa Pinaga "][/caption] Foto dan Teks: Dedy Zulkifli Di dalam perjalanan, makhluk-makhluk kecil penghisap darah yang dikenal dengan nama pacet menjadi salah satu rintangan perjalanan kami menembus belantara Gunung Talamau di Pasaman Barat, Sumatera Barat. Di hutannya yang masih rapat dengan pepohonan yang sudah tua, para pacet itu berjaya layaknya sang penguasa rimba. Dalam gerakan yang harmonis, tubuhnya melengkung kemudian lurus dengan gesitnya lalu menempel pada sepatu kami. Setelah berbergelayut disekitar tumit kemudian menjalar ke sekujur kaki. Seakan tidak mau ketinggalan pacet hijau yang berada di antara dedaunan ikut berlomba menggapai-gapai tubuh kami di jalur. Tak terhitung sudah berapa gigitan yang membekas. Kami berempat, Saya, Ibid, Sardi dan Dejo baru tiba di Desa Pinaga, Pasaman Barat menjelang magrib. Sesaat masuk menuju titik awal pendakian kami di cegat oleh dua orang pemuda “tanggung” warga setempat. Mereka mengaku sebagi pengelola wisata pendakian Gunung Talamau. Mereka datang untuk meminta kami agar mengurus “administrasi” terlebih dahulu di sebuah kedai (base camp mereka) di pinggir jalan raya. Setelah urusan administrasi selesai, dimana kami harus membayar retribusi sebesar sepuluh ribu per orang. Ditambah parkir dua buah sepeda motor yakni lima belas ribu per hari. Beberapa pemuda itu kemudian melakukan pencatatan terhadap paket makanan kami  yang berpotensi menjadi sampah non organik. Setelah itu mendata kelengkapan perjalanan demi keamanan dan keselamatan selama perjalanan. Mereka disini melarang untuk membawa sabun, sampo dan odol gigi demi mencegah tercemarnya sungai dan lingkungannya. Kami akhirnya bermalam di sebuah bangunan penjaga irigasi air di dekat jalur awal pendakian. Bangunan yang tidak terawat ini menjadi camp pertama kami. Hujan yang tadinya rintik-rintik perlahan melebat hingga tengah malam. Kami semua dengan cepat terlelap dalam tidur. Ini karena kami begitu lelah, hampir enam jam terguncang diatas sepeda motor menuju kemari. Waktu istirahat ini diharapkan menjadi pemulih tubuh yang sudah kecapekan. [caption id="attachment_159053" align="alignright" width="300" caption="Menyebrangi sungai kecil yang berair jernih"]

132787038370990151
132787038370990151
[/caption] Pagi harinya saya dibangunkan oleh bunyi nesting (wadah untuk memasak) yang beradu. Ibid rupanya sudah bangun dan memasak. Sementara hari yang meremang itu masih saja menjatuhkan hujannya. Ingin rasanya sleeping bag ini di tarik lagi dan terbenam dalam buaian mimpi. Namun kami sepakat untuk mendaki lebih pagi lagi yakni pukul tujuh. Tidak lama, Sardi dan Dejo terlihat sudah berkemas-kemas. Saya pun segera melipat sleeping bag dan merapikan perlengkapan lainnya pada carrier. Setelah sarapan, tepat pukul tujuh kami beranjak menuju Gunung Talamau. Udara yang sejuk di tambah hujan yang merintik membawa kesegaran tersendiri. Gunung Talamau yang berada pada ketinggian 2982 meter dari permukaan laut terlihat membayang di balik kabut dan bebukitan yang masih hijau. Kami pun menyusuri jalan yang becek diantara perladangan penduduk yang diisi oleh kebun karet, jagung dan sawit. Dalam catatan dan beberapa literatur disebutkan bahwa gunung ini adalah gunung tertinggi di Sumatera Barat, masuk dalam tipe gunung api yang tidak aktif. Tidak jauh berjalan kami mengalami kebingungan untuk menuju pintu rimbanya. Informasi yang kami dapat dari pengelola menjadi kabur di sini. Ternyata banyak percabangan dan di tambah minimnya rambu-rambu jalur pendakian. Kami coba menunggu warga kampung yang lewat, syukurnya kami berjumpa dengan seorang bapak setengah baya dan menunjukan sebuah punggungan dimana salah satu camp pendakian berada dengan nama  Camp Harimau Campo. Kami kewalahan untuk menuju camp tersebut. Sebuah lahan perladangan yang masih bersemak tebal mengurung kami. Cukup lama untuk menembusnya. Walau akhirnya terbebas namun menguras tenaga. Tiba di Camp Harimau Campo, kami menjumpai sebuah bangun kayu yang berupa gubuk peristirahatan dan tempat datar yang cukup luas di sekitarnya. [caption id="attachment_159055" align="alignleft" width="300" caption="Shelter di Harimau Campo"]
13278704672068317592
13278704672068317592
[/caption] [caption id="attachment_159056" align="alignleft" width="300" caption="Melewati tebangan pohon di dekat hutan"]
13278705981332738280
13278705981332738280
[/caption] [caption id="attachment_159057" align="alignleft" width="300" caption="Melewati semak-semak bekas perladangan"]
1327870834303349647
1327870834303349647
[/caption] Dari beberapa informasi masyarakat, ada sebuah air terjun besar yang konon tingginya mencapai seratusan meter. Air terjun ini namanya Air Terjun Lenggo Geni tidak jauh dari Camp Harimau Campo. Namun karena keterbatasan waktu maka konsentrasi kami tujukan secara penuh untuk pendakian Gunung Talamau saja. Digubuk itu, rupanya seorang pemuda tidur semalam. Kami pun bertanya tentang arah menuju puncak Gunung Talamau padanya. Dengan keramahannya menuntun kami menuju ke arah pintu rimba. Namun tidak bisa terlalu jauh ikut kami karena dia hendak ke ladangnya. Kami pun sungguh berterima kasih. Tapi lagi-lagi kami berhadapan dengan kenyataan saat beberapa puluh meter berjalan. Arah yang di tunjuk sang pemuda itu menjadi kabur lagi. Adanya penebangan untuk perladangan benar-benar membuat semua tidak jelas. Kami berjumpa lagi dengan seorang warga yang sedang mencari burung di hutan. Bertanya kepadanya dan dengan kebaikannya menunjukan kemana arah masuk untuk menuju Gunung Talamau. Akhirnya kami tiba juga di pintu rimbanya. Dari sini jalur pendakian sangat jelas dan hanya satu tanpa bercabang. Kami terus saja berjalan dengan cepat, sesekali kami melewati tebangan pohon yang di jadikan perladangan. Kemudian jalur menurun sedikit melintasi sungai kecil lalu kembali menanjak dan terus menanjak. Langit yang dari pagi gelap kembali menjatuhkan airnya dengan deras. Walau pohon-pohon melebat di jalur tetap saja kami basah kuyup kena hujan. Dan disinilah kami mulai di “serang” para pacet. Awalnya hanya beberapa saja yang menghampiri dan saya yang berada paling belakang justru belum kena. Namun semakin menanjak dan jalur semakin melembab para pacet itu seperti segerombolan pasukan berani mati menjuntai di sepatu kami. Ibid yang saya kenal begitu kalem mengahadapi pacet mulai gregetan dan sedikit emosional. Tidak tanggung-tanggung lima pacet di kaki kiri dan delapan pacet di kaki kanan menari-nari sambil telungkup menghisap darah. Tangannya dengan cepat memungut sang pacet lalu dilemparkannya dengan perasaan geram. Saya, Sardi dan Dejo pun tak ketinggalan dapat “jatah” serbuan pacet. Empat ekor sudah menyelip di balik kaus kaki sebelah kiri saya. Malah ada seekor menempel gembung di punggung. “ Ayok terus jalan, kita jangan lama-lama berhenti disini” Dejo mengingatkan. Kami pun terus berjalan dan mencoba mengabaikan sang pacet. Akhirnya kami tiba di sebuah tempat istirahat (shelter) dengan nama Rindu Alam. Walau agak datar, namun banyak terdapat dedaunan busuk di mana para pacet berada. Disini kami makan siang dengan beberapa potongan roti dan kue lebaran. Tidak lupa juga memasak air dan membuat teh manis hangat. [caption id="attachment_159058" align="alignright" width="300" caption="Makan siang yang terpaksa berdiri demi mencegah keganasan pacet"]
13278709251308735217
13278709251308735217
[/caption] Makan siang di sini memang tidak bisa tenang. Pacet-pacet itu tak henti-hentinya mendekati kami. Dan membuat kami sibuk bergerak dan menghindar. Tidak ada yang berani duduk di tanah apalagi dahan pohon demi menghindari sang pacet. Tapi ternyata saat saya memeriksa badan kedapatan satu buah pacet hijau menempel di sebelah kiri kening dan satu dibetis kaki. Bekas gigitannya sungguh gatal. Selama perjalanan ada banyak jenis pacet yang saya jumpai. Dari ukuran panjangnya yang sangat kecil tidak lebih satu senti hingga yang mencapai empat sentimeter. Belum lagi warnanya yang bervariasi,  ada yang berwarna hitam berlis putih, biru dan hijau. Dan yang paling merepotkan adalah pacet hijau atau pacet daun yang bisa menyerang bagian atas tubuh kita. Pacet inilah yang bergerak diantara dedaunan yang berada pada nyaris sepanjang jalur pendakian. Bersambung.......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun