[caption id="attachment_158293" align="aligncenter" width="630" caption="Pemetik teh di kaki Gunung Kerinci"][/caption] Foto dan Teks: Dedy Zulkifli Saat hendak mendaki Gunung Kerinci saya di kejutkan oleh hamparan kebun teh yang sangat luas dan indah. Dari tempat saya dan kawan-kawan menginap, yakni di Desa Kersik Tuo, Kecamatan Kayu Aro, Provinsi Jambi, terlihat beberapa pemetik teh sedang bekerja. Saya lalu datang agak tergopoh-gopoh ke arah mereka yang berjumlah delapan orang. Demi mendapat moment aktifitas memetik teh saya tidak peduli dengan udara pagi yang masih dingin menusuk. Melihat saya mereka tersenyum sambil tetap sibuk memetik pucuk teh yang basah berembun itu. [caption id="attachment_158294" align="alignright" width="168" caption="Tawa sang pemetik teh"]
[/caption] Saya mencoba untuk memulai percakapan namun salah seorang dari mereka, yakni seorang wanita langsung bertanya kepada saya “ Dari mana mas?” Dengan sedikit perasaan kaget langsung saya jawab dari mana saya datang. Adalah hal yang agak aneh, saat di panggil mas (dengan logat khas jawa) di daerah yang masih berbatasan dengan Sumatera Barat. Karena dalam benak saya paling tidak mereka memanggil saya “Uda” dalam Bahasa Minang atau panggilan lainnya dalam Bahasa Melayu Jambi. Saya pun memberanikan diri untuk memastikan apakah mereka asli orang sini. “ Aslinya tidak tapi kami lahir disini. Kami memang orang Jawa” jawab salah seorang dari mereka dengan tetap mengulas senyum ramah. Setelahnya, saya mencari tahu, ternyata memang umumnya pemetik teh di sini adalah orang-orang yang di datangkan dari Pulau Jawa. Orang tua atau kakek mereka dulunya pertama kali datang awal tahun 1900an. Kini mereka yang sudah beranak cucu kebanyakan tidak pernah kembali lagi kekampungnya di Pulau Jawa. Namun begitu, bahasa jawa dan beberapa kebiasaannya tidak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari mereka. Fakta unik ini mengingatkan saya pada kampung halaman dan juga beberapa novel yang bercerita tentang pekerja kebun tembakau di Tanah Deli (Kota Medan dimasa sekarang), dimana para pekerja ini di datangkan dari tanah jawa juga dengan iming-iming kemakmuran. Hingga kini kantung-kantung pekerja yang hadir di masa “kuli kontrak” masih bisa di lihat di perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara. Dimana tidak sedikit keturunan mereka yang tetap setia melanjutkan pekerjaannya sebagai buruh kebun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya