Demokrasi semakin sering terdengar dimana-mana dengan segala macam bentuk dan variannya, tuntutan demokratisasi terjadi hampir disemua ruang publik. Begitu ampunya demokrasi sebagai sebuah sistem politik dan kebudayaan dalam sebuah negara, tidak jarang rezim yang otoriter sekalipun dibanyak negara mengkalim dirinya menganut dan menjunjung demokrasi. Sampai hari ini demokrasi belum bisa terbantahkan sebagai sebuah sistem yang baik dalam menjawab kekangan dan kungkungan kekuasaan yang otoriter maupun dispotik sekalipun, walaupun demokrasi bukanlah sesuatu yang terbaik.
Ketika kita berbicara tentang demokrasi setidaknya ada dual hal yang sangat penting yaitu masyarakat dan negara itu sendiri. Warga negara yang baik adalah warga negara yang ”sadar politik” benarkah demikian? Tentu. Soalnya ”sadar politik” merupakan prasyarat penting untuk mewujudkan masyarakat yang adil, demokratis dan manusiawi. Maka tidak cukup sekedar melakukan upaya revolusi kesadaran terhadap diri sendiri tanpa melakukan transformasi terhadap bangunan kebudayaan dan struktur diluar dirinya, entah itu struktur sosial, politik, ekonomi dan lainnya.
Dari situlah kemudian terjadi relasi segitiga yang tak ada habisnya, yaitu antara individu, masyarakat dan negara (kekuasaan). Dan, pola komunikasi dan relasi yang baik dan sehat adalah yang jujur,setara,egaliter dan demokratis. Masing-masing tidak terjatuh pada upaya memaksakan kehendak (naluri”kehendak berkuasa”) dan merasa diri paling benar dan atau kebal kritik. Artinya, tidak ada apa yang disebut sebagai diktator mayoritas maupun tirani minoritas.
Untuk membentuk pola relasi dan komunikasi yang baik dan sehat, tentu diperlukan wawasan yang memadai tentang dasar manusia ( misalnya, hak asasi, kemerdekaan dll) dan juga tentang wacana sosial, politik, hukum, pembangunan,negara dan sebagainya, baik wacana yang sifatnya lokal, nasional maupun internasional. Disini selalu ada titik temu sentuh, kaitan dan gesekan, antara yang lokal,nasional dan internasional.
Wawasan pengetahuan seperti diurai diatas sangat penting (terutama) bagi warga negara, ketika institusi yang disebut nation-state (negara bangsa) telah ditancapkan di bumi nusantara ini, dan lembaga state (negara,kekuasaan) telah ada dimana-mana. Negara ( lebih tepat disebut : pemerintahan atau kekuasaan). Lantas dikemudikan oleh beberapa elit, entah itu elit politik, elit ekonomi, elit militer dan elit agama. Dan, entah mengapa dimanapun dan oleh siapapun yang namanya kekuasaan/pemerintahan selalu punya kecenderungan korup dan otoriter.
Disinilah diperlukan kontrol dari masyarakat sipil (civil society) agar kekuasaan tidak sewenang-wenang dan tidak menyalagunakan kekuasaannya. Harapannya, lalu kekuasaan/pemerintah bisa menata negara secara demokratis, adil dan mewujudkan kedaulatan rakyat.
Demokrasi sebagi sebuah gagasan atau ide yang digagas oleh banyak orang sebenarnya menekankan kepada dua prinsip utama yaitu Kontestasi dan Partisipasi. Kedua hal tersebut juga mengimplikasikan kepada kebebasan dalam menentukan pilihan, kebebasan berorganisasi, kebebasan bersuara ataupun kebebasan-kebebasan yang lain.Partisipasi politik menurut Samuel P Hutington dan Joan M Nelson adalah ”kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi ini bisa bersifat individual atau kolektif,terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif.”
Dari konsep tersebut menjadi landasan utama adalah bahwa kedaulatan yang tertinggi adalah ditangan rakyat, tetapi kemudian realitas yang ada masih membutuhkan mahasiswa ataupun organisasi non pemerintah (LSM) sebagai sebuah kelas menengah intelektual untuk bersama-sama secara sinergis melakukan kerja penyadaran. Kerja penyadaran membutuhkan pengorbanan bukan saja waktu maupun biaya tetapi sebuah pengorbanan untuk bersama-sama belajar dengan rakyat tentang arti rakyat sebenarnya. Dari sini kemudian konsep ”bunuh diri kelas” (integrasi), kemudian mengemuka sebagai sebuah pilihan gerakan yang harus dilakukan. Seperti sudah diutarakan didepan tadi, ukuran demokrasi bukan hanya kontestasi yang dilakukan oleh partai politik , kelompok oposan vis a vis negara, tetapi juga diukur oleh sekian banyak partisipasi politik rakyat dalam berbagai bentuk. Partisipasi yang bisa diukur dari kecakapan rakyat untuk menyelesaikan persoalan baik ekonomi,sosial,dan politik secara sendiri (mandiri). Penyelesaian yang bisa menimbulkan makna kesadaran bernegara dalam keadaan negara mampu mengakomodasi kebutuhan rakyat. Ataupun keadaan dimana posisi negara dan rakyat sejajar yang merupakan conditio sine quo non bagi terciptanya good governance bukan good government.
Dari posisi negara dan rakyat, kemudian mengemuka tiga konsep besar demokratisasi. Pertama Transformasi, terjadi ketika elite yang berkuasa mempelopori proses demokratisasi tanpa adanya sebuah partisipasi dari elemen lain dalam sebuah negara, kedua Reflacement (pergantian-red) terjadi ketiak rakyat mempelopori proses perwujudan demokrasi dan rezim otoriter tumbang atau di gulingkan. Dan apa yang ketiga diistilahkan dengan Transplacement atau demokrasi yang merupakan hasil tindakan bersama pemerintah dan rakyat (Samuel P Hutington, Gelombang Demokrasi Ketiga 1995)
Berulang kali telah dibuktikan oleh sejarah bahwa semakin tinggi taraf ilmu pengetahuan dan kesadaran warga dalam sebuah negara, maka semakin besar pula peluang masyarakat itu berdiri sejajar atau bahkan mengontrol atas suatu negeri yang diperintah oleh sekelompok orang yang mempertahankan hak istimewah sebagai penguasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H