Dizaman modern ini, macam-macam terjadi. Uang palsu, sertifikat tanah palsu, hingga menjalar ke Nabi palsu. Maka tidak heran kalau banyak orang berbondong-bondong mencari hidayah kebenaran untuk kembali kepada pemurnian ajaran islam. Sebagian lain menemukan jalan, sebagian lainya justru tersesat dan mengalamai krisis identitas; dimana separuh wajahnya cukup berani menampakan dirinya, namun didalam jiwanya berantakan dan bingung ingin menyebut dirinya bagian dari apa.
Bagi yang terlanjur tersesat maka akan semakin jauh. Tak heran jika akhirnya timbul keyakinan-keyakinan baru seperti Anemisme, bahwa kekuatan hebat menempati benda tertentu. Dan ini terjadi disebagian kampung-kampung. Bagi yang hidup dikota, mungkin karena hasil didikan teknologi, selalu memandang dunia dari sudut yang rasional, sebagian dari mereka telah menemukan tuhan Allah yang sama, namun sudut pandang yang lebih modern. Tak berlebihan kalau saya menyebutnya Tuhan para Filosof. Mereka yakin bahwa rasionalisme mempersembahkan bentuk agama yang paling maju dan telah mengembangkan pandangan yang lebih tinggi tentang tuhan daripada yang diwahyukan dalam Al-Qur’an. Hal ini bertolak belakang dengan kaum fundamentalis yang memadangan filsafat dan sains merupakan dua hal yang sangat bertentangan dengan agama.
Islam awalnya murni, datang dari seorang agung bernama Muhammad, yang bukan hanya mengupayakan sebuah solusi kehidupan baru bagi dunia, melainkan juga menyusun sebuah karya sastra dan spiritual klasik terbesar sepanjang zaman.
Namun semakin berkembangnya zaman, kemurnian itu tidak terjaga sepenuhnya. Hingga datang golongan pemuda yang terang-terangan membajak dalil sesuka hati untuk kepentingan yang kamuflase. Jabatan, kekuasan, atau kepemimpinan yang dibalut dengan label surga. Pada akhirnya, orang yang belum mengerti, atau baru mau mengerti tentang Islam terjebak dalam “zona merah” yang menjadikan mereka krisis identitas. Krisis itu menjalar lebih panjang ketika orang-orang non-muslim lebih suka melihat orang-orang di “zona merah” tersebut. Ketika mereka termakan ideologi orang yang punya kepentingan, kemudian menjelma menjadi radikal, pada akhirnya label teroris tidak datang dari kaum “zona merah”, tapi dari Islam. Sangat miris.
Stigma miring tentang islam semakin dibesar-besarkan media hanya karena sekelompok orang radikal yang membajak dalil secara membabi buta. Statemen palsu bertebaran dimana-mana. Islam digambarkan sebagai agama ambisus yang merekrut pengikut dengan cara militer. Islam yang rahmatan lil alamin mulai bergeser makna menjadi agama kekerasan. Pada akhirnya Islam mengalami krisis identitas. Separuh wajahnya tetap pada komitmen bahwa perdamaian diatas segalanya, sebagian lagi telah dirampok untuk kepentingan tertentu dengan cara sporadis.
Lalu apa sikap kita melihat dunia yang semakin tidak masuk akal ini?
Dany Novery
Penulis adalah Mahasiswa semester akhir universitas Al-azhar Cairo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H