Aku dan Ayash merupakan dua pelajar lulusan Madrasah Aliyah di Lampung, yang nekat pergi ke Mesir untuk kuliyah. Bukan karena mendapat beasiswa, melainkan karena selalu gagal seleksi beasiswa di Depertemen Agama, Jakarta. Rasa putus asa itu yang memberi kami jalan. Seseorang di Cairo menyarankan menggunakan visa turis untuk datang ke Mesir. Ia menjanjikan kuliyah di al-Azhar dengan syarat masuk terlebih dahulu kesekolah internasional yang akan membuka pintu sejarah cerita ini. Sekolah yang kamipun tak tau apa namanya. .
Negri Kinanah adalah cita-cita kami sejak bangku Tsanawiyah. Alasan inilah yang membuatku menolak jabatan mandor diperkebunan kelapa sawit dikampung. Ijazah SMA setingkat dengan Menteri, mengingat mayoritas burunhya tidak tahu apa itu sekolah. Aku menolaknya hanya karena yakin bahwa aku bisa lebih baik lagi ketimbang menghabiskan umur dengan berkebun.
Berbeda dengan Ayash yang mendapat beasiswa program sarjana Biologi Universitas Lampung, dengan berbekal nilai ujian nasional terbaik se-Propinsi. Namun ia menolaknya demi menunaikan mimpinya sejak kecil bisa kuliyah dibumi seribu menara. Banyak yang menyayangkan keputusan gilanya. Namun ia bisa lebih gila andaikata mati tanpa pernah meminum air sungai Nil.
“Ting..Tong!” Panggilan terakhir untuk penumpang Jakarta-Cairo.”
Operator bandara memberi peringatan terakhir.
Keadaan semakin panik. Pak Malvin tak kunjung keluar. Kami semakin realistis dengan waktu. Secara matematis sulit terjadi keajaiban yang hanya menyisahkan waktu normal sekitar seratus delapan puluh detik. Kegagalan terbang bertanda kiamat kecil juga kerugian materi yang sangat besar. Tiket ini merupakan hasil sepuluh tahun keringat orangtuaku menyadap getah diperkebunan karet milik PTPN.
Lain cerita dengan Ayash. Sebagai anak tunggal harapan orangtuanya, gagal terbang bertanda sangat pahit. Hidup akan menggariskan takdir baru bahwa ia akan kembali kepasar bersama ayahnya menjajakan kerambil[1]dipasar Gedong Tataan.Semua harta benda habis untuk membeli tiket pesawat.Tak ada sekolah lagi untuknya.
Waktu menunjukan pukul 17:35. Petugas melirik jam tangan bertanda batas terakhir telah tiba. Perlahan-lahan ia menarik papan penutup. Saat itulah aku merasa dunia telah berakhir dengan sangat menyedihkan.
“Pak Malvin!” Teriak Ayash girang. Sosok yang dinanti-nanti itu pontang-panting berlari kearah kami dari pintu check insambil menunjukan paspor. Ia menahan petugas beberapa saat untuk tetap membuka pintu sambil tanganya melambai-lambai kearah kami. Aku dan Ayash sontak berlari bak dikejar macan untuk segera melakukan boarding ke pesawat, meninggalkan dua sosok pria dibelakang sana yang menangis haru belum percaya.
Selamat tinggal Indonesia!
Sekenario Tuhan begitu sempurna