Menikmati hidangan tulisan dengan topping gagasan, interpretasi dan berbagai sudut pandang dari Mbah Nun benar-benar memberikan kekenyangan dan kenikmatan tersendiri. Sebenarnya, dengan ruang informasi berupa portal Caknun.com kita dapat menjumpai berbagai gagasan dan ruang intelektual keagamaan Mbah Nun di sana.Â
Mbah Nun kita kenal memang di samping sebagai budayawan, ulama modern, pun juga pejalan sunyi -- yang sejatinya kemelekatan anggapan itu tidak penting-penting amat.
Beberapa waktu lalu, saya mampir ke toko buku di Velodrome, setelah ngalor-ngidul berkendara motor pinjaman istri saya. Kalau dulu bagi warga malang, buku-buku di Velodrome atau wilis sekalipun seakan menjadi rebutan, entah itu bakul, mahasiswa, penikmat buku, mahasiswa yang bakul, atau penikmat buku yang bakul. Â Intinya, saat itu buku dari berbagai jenis bacaan menjadi buruan, tentu dengan pembaca masing-masing.
Tepat di toko buku pertama, sebelah utara dekat tangga dan lorong mau ke mushola dan toilet, bapak-bapak penunggu pemilik toko itu seperti biasa pasti langsung bertanya "cari buku apa?" ini berlaku pada setiap orang yang datang ke toko-toko buku di sana.
Spontan saya melemparkan pertanyaan juga pada bapak yang sudah hampir sepuh dengan handphone yang masih terdengar suara ceramah dari aplikasi medsosnya. "Ada buku-bukunya Mbah Nun pak?"
Tanpa menjawab, bapak penjual buku itu langsung ke bilik yang lain di rukonya, agak lama, lalu keluar dengan membawa dua buku dan penebah untuk menghilangkan debu yang memeluk erat buku itu. Ya, Buku Mbah Nun terbitar 1997 dan 1995; Tuhan pun berpuasa dan Oples. Dua buku tersebut anda pasti bisa membayangkan kondisinya bagaimana, tetapi selusuruh isi masih bisa dibaca dan selamat dari ngengat dan lembabnya ruangan.
Tanpa pikir Panjang, saya langsung merogoh saku dan bersyukur, uangnya pas. Sambil menaiki motor pinjaman istri saya itu, saya membayangkan bagaimana isi tulisan Mbah Nun di dua buku ini, bagi saya yang kelahirang 1991 ke atas, tentu saat itu buku ini menjadi ruang diskusi dan diskursif yang gayeng pastinya.Â
Diskusi yang tidak meninggalkan ampas begitu saja, impact dan dampaknya pasti tampak, pendekatan sosial dan antropologi yang digunakan saat itu, juga bukan sebatas teori di pucuk kertas atau mimbar-mimbar seperti saat ini.
Entah, lingkungan atau kondisi yang berbeda itu justru membuat kekeringan gagasan dan kebijakan yang bijaksana. Yang jelas hari ini dengan ragam informasi yang semakin mudah dan terbuka, kedalaman berpikir menjadi asing bahkan untuk mencarinya harus ke pelosok-pelosok perkumpulan dan komunitas, karena perkumpulanpun juga sedemikian rupa. Memang basis kepentingannya kalau bukan perihal eksistensi, perut, ya kelamin. Itu-tu saja.
Ah, Kembali ke bukunya Mbah Nun. Saya bersyukur karena masih menjumpai karya Mbah Nun di tahun-tahun ini, karena dengan begitu kita bisa melihat bagaimana dialektika dan dinamika sosial, pergerakan, keagamaan dan budaya yang mendedah manusia-manusianya saat itu.Â