Pemecahan Kemendikbudristek menjadi tiga kementerian membawa implikasi mendalam bagi Kurikulum Merdeka, terutama dalam hal metodologi berpikir dan penerapannya di daerah-daerah. Kurikulum Merdeka, yang mengedepankan pendekatan saintifik dan berbasis proyek, membutuhkan sinergi pemikiran lintas sektor.
Metodologi berpikir sistemik yang sebelumnya memadukan pendidikan, riset, dan kebudayaan kini menghadapi tantangan fragmentasi kebijakan akibat pemisahan tugas antar kementerian.
Dalam konteks daerah, pendidikan di Indonesia masih diwarnai kesenjangan infrastruktur dan sumber daya manusia. Implementasi Kurikulum Merdeka yang membutuhkan fleksibilitas sering kali berbenturan dengan realitas di daerah terpencil, di mana akses terhadap teknologi, pelatihan guru, dan bahan ajar masih sangat terbatas.
Dengan adanya pemecahan kementerian, terdapat risiko bahwa perhatian terhadap penguatan pendidikan daerah menjadi terpecah, karena kementerian-kementerian baru cenderung fokus pada prioritas masing-masing.
Metodologi berpikir yang ideal dalam konteks ini adalah pendekatan kolaboratif berbasis data dan realitas lokal. Pendidikan di daerah membutuhkan kebijakan yang mengintegrasikan kearifan lokal sebagai inti dari pembelajaran, yang sebelumnya menjadi bagian dari visi holistik Kemendikbudristek.
Namun, jika sinergi antara Kementerian Kebudayaan dan Kementerian Pendidikan Dasar-Menengah tidak berjalan optimal, nilai-nilai budaya ini hanya menjadi wacana tanpa implementasi konkret.
Lebih jauh, Kurikulum Merdeka dirancang untuk membentuk pelajar yang adaptif, inovatif, dan berkarakter, tetapi pencapaiannya sulit diwujudkan jika pemetaan kebutuhan daerah tidak menjadi prioritas. Misalnya, daerah dengan kendala guru yang tidak siap menghadapi pembelajaran berbasis proyek memerlukan pelatihan intensif, tetapi pelatihan ini membutuhkan koordinasi lintas kementerian yang kini menjadi lebih kompleks.
Pemecahan ini mengharuskan pemerintah menerapkan metodologi berpikir integratif dengan memastikan bahwa pendidikan, kebudayaan, dan teknologi tetap saling terhubung dalam satu visi besar. Jika tidak, langkah ini hanya akan memperburuk ketimpangan pendidikan daerah dan menghambat transformasi pendidikan nasional.
Keselarasan antara kebijakan nasional dan kebutuhan lokal adalah kunci agar reformasi pendidikan dapat dirasakan hingga ke pelosok negeri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H