Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Neras Suara Institute

Ngopi, Jagong dan Silaturrahmi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Memahami Kesepakatan: Pernikahan, Keluarga dan Keberlangsungan

20 Juni 2023   22:06 Diperbarui: 20 Juni 2023   22:17 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada kebersamaan pun ada kesendirian, ada penyatuan begitu juga ada perceraian, ada perjumpaan juga ada perpisahan. Hal ini menjadi sangat wajar dalam kehidupan. Akan tetapi akan menjadi sangat tidak wajar ketika problem lawan kata itu tidak disikapi atau justru lahir lantaran keputusan yang nihil pertimbangan panjang.

Kasus perceraian misalnya, dampak dari perceraian tentu sangat besar. Tidak hanya bagi kedua pasangan. Tetapi juga keluarga, lebih-lebih anak. Keputusan untuk bercerai akan membawa trauma dan kondisi psikologis yang mengarah kepada cara berpikir singkat, mental yang tidak terkendali dan lain sebagainya.

Dijelaskan dalam sebuah penelitian bahwa dampak dari sebuah perceraian mengakibatkan seorang anak mendapatkan pedoman yang tidak baik dalam kehidupan, sehingga memunculkan beberapa sikap yang dishumanis. Seperti halnya mudah menyendiri, tidak percya diri, mudah marah, emosi yang tidak terkontrol dan lain sebagainya.  Artinya, dampak perceraian ini benar-benar mematahkan pola perkembangan anak.

Problem perceraian biasanya dipicu oleh kesiapan yang kurang matang dalam pernikahan. Sehingga ketika bertemu kondisi yang membenturkan mental pasangan akan mudah bimbang dan singkat dalam berpikir. Pernikahan bukan semata menyatukan dua insan atau dua keluarga. Secara mental juga harus disatukan untuk saling melengkapi masing-masing kekurangan.

Peningkatan jumlah perceraian di Indonesia sejak tahun 2021 sampai 2022 adalah 15,46% dari 447.743 kasus menjadi 516.334. Di mana 75 % lebih kasus perceraian yang terjadi adalah gugat cerai yang diajukan oleh pihak istri. Sedangkan 25%nya adalah gugatan dari suami.

Mengacu kepada kasus di atas, kita dapat meraba-raba problem solving yang terjadi dalam sebuah keluarga. Salah satunya adalah persoalan ekonomi. Walaupun ada juga yang memang kurang konsisten dalam menjaga hubungan keharmonisan di dalam keluaraga. Mengapa ekonomi? Karena pilar kehidupan di dalam keluarga adalah aspek ekonomi. Lalu ditunjang dengan pemahaman untuk saling menguatkan satu sama lain, menyadari tanggung jawab bersama dalam mebina keluarga.

Kantor Urusan Agama (KUA) dengan pendidikan pranikah bagi calon suami istri merupakan program yang dapat menjadi solusi meminimalisir potensi perceraian. Tapi perlu ada penegasan dan pemahaman yang mendalam juga. Karena tidak sedikit juga pasangan yang sudah mengikuti pendidikan pranikah pada akhirnya cerai juga.

Pendidikan pranikah juga harus melibatkan pihak lain seperti pakar psikologi keluarga. Hal ini berguna untuk menegaskan diri bahwa ketika menikah aka nada dua pribadi yang disatukan untuk saling melengkapi satu sama lain (baca:garwa atau sigarane nyawa). Kita tentu kenal dengan istilah belahan jiwa, hal ini harus ditekankan secara matang dalam pendidikan pranikah. Lebih luas lagi ketika pemahamannya adalah penyatuan dua keluarga, tidak ada yang mendominasi atau melemahkan satu di antara lainya.

Akar perceraian menurut Kurdeck dan Amato (1994) dipicu karena persoalan ekonomi, mental, emosional, psikologis, bahkan trauma masa lalu yang menyebabkan depresi dan mengganggu keharmonisan keluarga. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Mayowa (2021) seorang sosiolog dari Ekiti State University yang meneliti bagaimana perceraian terjadi di Nigeria. Dari hasil penelitiannya ada beberapa hal yang menjadikan pasangan itu bercerai, di samping kematian, pertama adalah kesetiaan, di mana persoalan ini menjadi persoalan utama. Artinya tidak sedikit dari pasangan yang melakukan perselingkuhan, sehingga mengakibatkan perceraian.

Di antara yang lain adalah persoalan finansial, pelanggaran, dan tantangan kesehatan. Artinya ketika permasalahan keharmonisan keluarga itu diukur dari hubungan seksual agaknya menjadi paradok. Bukan semata seksualitas, tetapi juga dorongan finansial. Di luar itu yang menjadi dasar adalah keimanan dan kedalaman berpikir. Artinya kedewasaaan secara mental dan spiritual juga menentukan keberlangsungan sebuah keluarga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun