Kalau bukan karena hati yang tulus, bisa jadi moral bangsa ini akan amburadul. Begitulah nilai-nilai maiyah yang selalu diwanti-wantikan oleh Cak Nun. Khusnudzan, sangat menjadi penting bagi kehidupan yang serba bergelimangan pengetahuan dan teknologi ini.Â
Bahwa manusia-manusia Indonesia adalah manusia yang tulus dan ikhlas sebenarnya. Rela untuk meluangkan waktu istirahatnya untuk membagi kebahagian dengan orang lain.Â
Bahkan, makanan yang sebenarnya cukup untuk dua hari, rela dibagi dan dihabiskan saat ini juga. Punya tanah sepetak juga dibagi dua dengan orang papa, cuma-cuma lho.Â
Inilah orang Indonesia. Moderatnya luar biasa, toleransinya tak tertandingi. Prof. Aini pernah menyebutkan bahwa peace in the world itu tergambar dari wajah-wajah bangsa Indonesia. Di mana bangsa lain belum karuan menirunya.Â
Saya bersyukur karena masih banyak saya temukan orang-orang asli Indonesia yang spesifikasinya seperti secuil keterangan di atas.Â
Salah satunya Mbah Edi, pria paruh baya, dengan rambut putih dengan cekat membuka pintu rumahnya saat saya mencoba uluk salam sekitar empat sampai lima kali. Belia melilitkan sarung di perutnya yang tadinya tampak ia gunakan selimut.Â
Malam itu saya sedang mengunjungi Mbah saya di Reco Banteng Pagelaran Kab.Malang. Sepulang dari sana, ban motor bapak saya seperti kehabisan angin. Saya sempat mendorong motor dengan ban sebelah yang pincang.Â
Sampai sekitar hampir dua kilo, saya temukan plakat di pinggir jalan dengan hiasan ban motor bekas bertuliskan "tambal ban 24 jam". Tepat di samping plakat itu nampak rumah yang digembok gerbangnya, bahkan sama sekali tak terlihat tanda-tanda aktifitas manusia.Â
Ternyata, setelah saya salam, seorang paruh baya keluar dan membuka pintu gerbang itu. Sambil menanyakan "Nambah angin, apa nambal mas?" Sekonyong kemudian saya menimpali, "Nambal Mbah, saget to?"