Setelah dilihat ternyata ada hewan melata yang kena injak, seperti cicak, tetapi memiliki sayap dan bulu yang lebat. Semenjak kecil Pak Sarmin belum pernah menjumpai hewan seperti itu. Ia memanggil Paimo, memintanya untuk menguburkan hewan yang terkena injak tadi, sebenarnya belum mati, nafasnya tersengal-sengal, dapat di lihat dari bagian bawah hewan itu, seperti membulat dan kadang kala kempes lalu bulat penuh lagi, begitu seterusnya.
Karena Pak Sarmin tak tega, kemudian ia berniat memenggalnya, tetapi justru mleset, ada angin kencang dan membuat salah satu ranting patah dan mengenai tangan pak Sarmin. Sabetan sabitnya tak mengenai kepala hewan itu, melainkan ujung ekornya yang seperti bulan dan bundu, ada luka namun tak sampai patah, cuil sedikit. Ada bercak darah di sabitnya. Namun setelah membersihkan sabitnya, hewan itu hilang entah kemana. Paimo mencarinya, namun tak melihat tanda keberadaannya.
"Mlayu nandi mau le...." Tanya Pak Sarmin
"Sak elingku rene pak" sambil menunjuk ke belakang pohon mindi.
Setelah lama mencari namun tak menemukannya juga, akhirnya mereka mengumpulkan ranting dan pohon-pohon kering. Kemudian segera pulang. Pak Sarmin menceritakan kejadian tersebut ke istrinya. Namun istrinya yang sudah ngambek karena sebelum Pak Sarmin berangkat tadi tidak mau memakan sarapan yang sudah disiapkan oleh Mbok Sinap. Ia tak tertarik mendengarkan cerita itu.
Cerita itu akhirnya menguap dan, baik Pak Sarmin, Paimo dan Mbok Sinap sudah hampir tak mengingatnya. Bahkan bisa jadi ada di tumpukan paling bawah di almari memori-memorinya.
______________
"Paling kemaluanmu itu dimakan tikus curut Bul, Ketika kamu masih bayi?" Entah dari mana Paiman memiliki pemikiran tersebut,
"Nggak onok tikus ndek omahku, apalagi yang punya crutu kayak katamu itu," kata Kabul
"Curut, Bul, wadah, kupinge budek iki." Paiman jengkel
"Biarin wis, kepala kemaluanku sendiri kok, ia juga tak berubah, air kencingnya juga lancar, bahkan juga tak pernah kecing batu. Jadi biarin, saja." Kata Kabul