Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Neras Suara Institute

Ngopi, Jagong dan Silaturrahmi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Saya dan Jawa #2

30 Mei 2021   07:00 Diperbarui: 30 Mei 2021   07:18 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Budaya jawa, kepercayaannya, tradisinya, pendekatannya tidak jarang dianggap sebagai klenik. Sedangkan klenik dalam mindset kebanyak orang lebih dekat dengan perdukunan, jin, mitos, mistis dan lain sebagainya.


Sebagai pengetahuan, klenik yang dianggap mewarnai kehidupan orang jawa dinamakan klenikologi. Hal ini pernah disinggung oleh Dr. H. Suwardi, bahwa "Klenikologi adalah ilmu klenik yang mewarnai kehidupan orang Jawa." (2012: 29)


Artinya, klenik adalah sesuatu yang berdiri sendiri, begitu juga dengan jawa. Saya mulai menyangsikan bahwa klenik itu identik dengan jawa, seperti yang ramai-ramai dalam setiap pembahasan. Apalagi ketika jawa itu dilekatkan dengan agama dan kejawen. Jika demikian, saya mencoba untuk menempatkan diri pada satu ruang yang tidak juga di posisi klenik atau di posisi jawa itu sendiri.


Pertama, klenik sering kali bersinggungan dengan pemahaman tentang perdukunan. Di mana ada sebuah upacara yang mengharuskan ada sesembahan, kemenyan, bunga tujuh rupa dan lain sebagainya. Jika di dalami, hal ini dilakukan untuk menghormati sesuatu yang tidak tampak, yang turut menjaga alam sekitar. Di samping, juga masyarakatnya yang tidak sembarangan merusak alam.


Dengan begitu, klenik tidak sama sekali tendensi terhadap sesuatu yang di laur keyakinan pada umumnya (agama). Walaupun, klenik sendiri juga dikaitkan dengan perilaku santet, tenung dan lain sebagainya.


Kedua, jawa adalah sebuah suku. Yang mana memiliki tradisi, budaya dan pola sikap yang unik. Hal ini menandakan bahwa komunikasi yang dijalin dalam komunitas jawa adalah kesepakatan suku jawa itu sendiri. Tidak hanya pada konteks keyakinan semata, tetapi pada pola sosialnya juga.


Di mana konteks kehidupan juga diwarnai oleh budaya atau pola pikir serta pola sikap yang beragam pada setiap suku. Khususnya di Nusantara ini. Terlebih lagi Jawa.


Walaupun tranformasi dari jawa kuno menuju jawa islam (baru) adalah muatan nilai yang terus berkembang dan menemukan kesamaan dan keserasiannya. Ihwal keyakinan terhadap Tuhan misalnya, dalam konteks jawa kuno ada penyebutan Sang Hyang Widi. Dalam Islam Allahu Ahad. Di mana kesemuanya bermakna Tunggal dan Suci.


Islam memberi warna pada Jawa setelah munculnya Para Wali Sanga. Pendekatan tradisional kemasyarakatan, melalui budaya dan kesenian lebih menyentuh hati masyarakat jawa. Sehingga islam diterima dengan hangat.
Terlepas dari itu semua, Islam, Jawa dan Klenik adalah rangkaian perjumpaan yang memberi warna masing-masing. Tidak jarang saya menemukan unsur klenik yang bernuansa Islam, mahabbah misalnya, dalam pendekatan klenik ada ajian semar mesem, yang mana fungsinya sama-sama untuk mengikat lawan jenis.


Dengan kata lain, untuk melihat jawa dari kaca mata klenik sangatlah sempit. Karena bisa jadi jawa adalah muatan nilai yang disepakati dan menjadi budaya yang adi luhung, sedangkan klenik hanya sebatas cara pandang yang mana dalam setiap suku atau agama memiliki unsur-unsur tersebut. Hanya pendekatan dan relasinya saja yang berbeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun