Jika berbicara kampung maka tidak melupakan dusun, pun begitu tidak akan melupakan desa, jika berbicara tentang desa maka ikut kecamatan dan kabupaten, begitu seterusnya, sampai pada titik sebuah wilayah yang dinamakan negara.
Namun cerita ini bukan tentang itu, santai, jangan emosi, boleh saya sulut satu batang rokok? Terima kasih koreknya.
Mbah Joli, pria berusia 50 tahunan yang memiliki tubuh tinggi, kurus, wajahnya tirus, kepalanya yang kecil penuh dengan rambut yang dominan putih dan kumal, kumisnyapun tebal, ia sedikit berjenggot. Kebanyakan orang di kampung Kidul Kali menyebutnya 99 kurang, bisa jadi mendekati gila. Pekerjaan sebagai pemulung mungkin menjadi satu jalan agar ia terbebas dari belenggu hujatan kebanyakan orang.
Sebentar, pisang goreng ini boleh dimakan? Saya ambil satu ya…
“Sankan paraning dumadi” Mbah Joli mengagetkan orang-orang di mushola.
Semua orang terdiam, entah mereka enggan menanggapi atau karena mereka menyempatkan berpikir sejenak tentang ucapannya. Setiap malam jum’at di mushola-mushola terdekat memang sering mengadakan selamatan, ia sering menghadiri acara tersebut, walaupun tidak membawa buah tangan, pun begitu tidak banyak orang yang menyadarinya, kebanyakan mereka menggunjingnya.
***
Di pos kamling RT 46 para penjaga malam yang piket sedang asik ngobrol, ditemani secangkir kopi hangat, api unggun dan televisi yang menanyangkan piala dunia, rupanya Jerman melawan Korsel.
Pak Narimo, salah satu dari penjaga malam tersebut tiba-tiba teringat ucapan Mbah Joli di musholla, isa’ tadi.
“Yang dimaksud Joli tadi apa ya,,, aku tiba-tiba teringat ucapan Batara Krisna kepada Arjuna di cerita pewayangan.” ucap Pak Narimo.
“Halah… Kuwi mung omongan nglantur wae… Wis ngerti Joli koyok ngunu,” ucap Turiman.
“Tapi iku isa diramesi, siapa tahu tembus empat angka,” sergah Suhar.
Obrolan pun semakin hangat, apalagi saat mereka mulai serius memikirkan “ramesan” atau tafsiran