Lebaran lagi, semua saling bersilaturrahmi, saling memaafkan satu dan lainnya. Dari yang muda sampai yang kaki-kaki dan neni-neni. Lebaran, momentum pelepasan diri. Untuk kembali kepada fitri.
Pandemi masih menyelimuti. Pemerintah melarang mudik untuk menjaga keluarga dan diri sendiri. Ada yang patuh, pun melanggar dengan alasan kangen orang tua, anak dan istri.
Pandemi, menjadikan idul fitri defisit harmoni. Harmoni kekeluargaan, harmoni berkumpul dan harmoni sungkeman.
Menurut para ahli dan komentator negeri, mall, pasar-pasar, dan wisata dibuka. Tetapi mudik dan berkumpul keluarga di desa dicegah. Katanya alasan ekonomi. Tetapi berapa juta penduduk di-phk sampai hampir mati. Menahan malu, sedih karena tak bisa berkumpul dengan anak dan istri, apalagi sekedar mengirim baju lebaran.
Lebaran datang kembali, setelah pandemi menyerang bertubi-tubi. Hanya doa dan kuota menjadi jaminan bisa bersilaturrahmi. Kalau tak punya kuota, banyak yang nekat menjadi jambret dan pencuri. Alasan utamanya ekonomi.
Bersyukurlah para pegawai negeri. Gaji lancar, bisa berkumpul anak istri, beli kemeja baru dan hidangan untuk idul fitri. Bersyukurlah mereka yang masih punya gaji, pekerjaan dan simpanan, yang mungkin juga dari hasil korupsi.
Negeri ini kian rumit, katanya. Sampai pada idul fitri tahun ini, angka pengangguran bukan lagi berkurang, justru naik dan menjumlah sendiri.
Harapannya, semoga tahun depan pandemi segera pergi. Agar keluarga bisa berkumpul lagi. Paling tidak senyum mulai mengembang lagi. Dari kami yang hidupnya mencari uang sendiri. Bukan jatah gaji, atau bantuan dari negeri.
Minal aidzin wal faizin, mohon maaf lahir bati. Mari disantap ketupat dan kue keringnya. Agar hidup semakin bahagia walau pandemi membuat kita gundah gulana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H