Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Neras Suara Institute

Ngopi, Jagong dan Silaturrahmi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Baju Lebaran untuk Nana

10 Mei 2021   17:19 Diperbarui: 10 Mei 2021   17:25 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gemuruh derap Langkah dan riuh tabuh tek tok untuk membangunkan sahur terdengar ramai di malam ke-23 Ramadhan tahun ini. Dingin masih menusuk ke tulang, angin malam rupanya ditangkap oleh daun pisang, suara daun pisang menggesek-gesek di genting rumah. Lamat-lamat kudengar suara cetekan kompor gas yang diputar, panci seperti dilemparkan ke atas kompor sehingga seperti terdengar pukulan keras. Sumber suara itu dari tetanggaku. 

Pak Ponidi Namanya, ia tinggal di rumah sederhana dengan dinding dari anyaman bambu, di teras rumahnya ada dua kursi panjang yang sudah tambal sulam dengan paku dan serpihan bambu. Pintunya terlihat tak terkunci, karena hanya disanggah oleh kayu yang dipalangkan. Di sebelah kursi itu ada sebuah becak tua, berkarat, namun terlihat masih tegas.

Aku segera bangun dari tempat tidur, menuju dapur, mencari makanan, sisa lalapan tadi malam. Setahun ini aku ngekos dekat bantaran kali Ketawang. Aliran sungai yang dibangun oleh Belanda, masih berfungsi untuk sekedar kebutuhan mencuci baju dan mandi, kala PDAM sedang seret.

Pak Ponidi, laki-laki paruh baya yang hanya tinggal berdua dengan cucunya, Nana. Ayah dan ibu Nana lama pergi, sejak kejadian itu, Nana dititipkan kepada kakeknya, Pak Ponidi. Menurut cerita tetangga, ayah dan ibu Nana pergi karena terlilit hutang setelah mengikuti bisnis MLM. Karena setiap hari didatangi oleh penagih yang silih berganti, kemudian mereka pergi entah kemana, sudah lima lebaran mereka tak pulang, sampai Nana sudah berusia delapan tahun.

Setiap hari, Pak Ponidi mengayuh becaknya ke pasar, mengantar penumpang, sayuran, bahan-bahan sembako, kadang juga bekerja sampingan; memulung. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan sekolah Nana. Sehabis shalat subuh, ia membereskan rumahnya, lalu pergi ke pasar. Sedangkan Nana sendirian di rumah, ia sudah terbiasa, kadang ikut Riris, teman ngajinya.

Jika bulan puasa begini, Pak Ponidi bekerja hanya sampai siang, dzuhur biasanya sudah di rumah. Selepas itu ia tak kemana-mana, hanya setiap selepas shalat ashar ia mencari sayur, seperti daun kenikir, luntas, junggulan, kangkong rambat dan lain sebagainya, yang tumbuh di pinggir kali atau di ladang-ladang di dekat rumahnya.

Suatu sore, Ketika aku mengantarkan takjil dan beberapa makanan ke rumahnya, aku melihat Nana sedang tersedu, air matanya menerobos kedua kelopak mata bulat itu, pipinya basah, sesekali diusap dengan lengannya. Sedangkan Pak Ponidi tampak sedang memandang dinding bambu dengan tatapan kosong, buktinya ia terperenjat kaget Ketika aku mengucapkan salam sambil melongokkan kepalaku melewati daun pintu.

"Lho Nak Rudi. Masuk nak!" Perintahnya lembut, sambil menggandeng Nana, lalu mengantarkan ke kamarnya.

"Nana kenapa Pak? Kok kelihatannya sedang menangis?" tanyaku serius

"Oh, biasa Nak, anak kecil, minta nganu, apa namanya... emm, baju baru buat lebaran katanya." Suaranya terbata

"Oalah, enggih-enggih, ini pak, ada sedikit makanan dan takjil untuk bapak dan Nana, sama ada titipan dari Mas Darman," Aku menyerahkan bungkusan kresek hitam berisi makanan dan amplop yang dititipkan Mas Darman.

"Lah..., repot mawon sampean ini Nak, terima kasih nggih, salam sama Darman, sudah lama dia nggak main kesini. Sudah nggak ikut kos lagikah?"

"Dia sudah kerja di kota pak, jadi cari kosan yang dekat dengan tempat kerjanya. Cuma kemarin ketemu lalu memberikan titipan itu, katanya untuk sampean dan Nana."

"Enggih, semoga dilancarkan rejekinya sampean dan Mas Darman nggih, Amin"

"Amin, terima kasih pak, saya pamit nggih,"

"Lho, nggak duduk dulu Nak? Enggih-enggih kalau begitu, terima kasih nggih nak."

"Enggih Bapak, monggo..."

Sepulang dari rumah itu, terbesit dalam pikiranku, "Kasihan Pak Ponidi, begitu juga Nana. Tapi, semoga uang dari Darman tadi cukup untuk beli bajunya Nana." Seperti biasa, setiap sore sebelum buka, aku selalu duduk di depan komputer, melihat beberapa postingan di marketplace, melayani pemesanan, menulis ulasan kaos-kaos yang aku jual secara online.

Sejak itu aku tak pernah melihat Nana menangis dan Pak Ponidi melamun seperti biasanya.
_______________


Dua malam sebelum lebaran, aku berniat berkemas-kemas kemudian pulang ke rumah. Bapak dan ibu juga sudah menghubungi sejak kemarin. Desaku sekitar tiga puluh kilo dari kosan. Di desaku sangat sulit sinyal hp, oleh karena itu aku memilih ngekos di sini, selain dekat dengan tempat belajar, aku juga bisa leluasa untuk berjualan online.

Selepas berkemas, di luar rumah terdengar gemuruh kaki bertaut dengan suara saling saut yang menggema memasuki gang. Kulihat, beberapa warga sekitar lalu lalang dari rumah Pak Ponidi. Tidak terdengar jelas apa yang mereka katakana, Cuma lamat-lamat, "Becak'e ringsek, botol-botol plastike kleleran." Segera aku keluar dan bergabung dengan mereka.

"Ada apa Pak Badrun?" Ketika pak RT tepat melintas di depanku

"Anu..., Nak Rudi, Tabrak lari, Pak Ponidi jadi korban." Wajahnya terlihat panik

"Lho, sekarang di mana?" tanyaku penasaran

"Di Puskesmas, mari ikut kerumahnya Nak, kita bantu warga lain untuk ikut beberes di sana." Ajak Pak RT

"Enggih monggo pak."

Setelah aku mengunci pintu rumah, aku menyusul Pak RT yang sudah lebih dulu jalan ke rumah Pak Ponidi. Di sana sudah ramai orang, terlihat wajah mereka panik, marah dan sedih, di dalam terdengar tangisan yang keras sekali.  Nana, iya..., aku langsung masuk ke rumah itu, dan ternyata benar, Nana menangis, dua kali aku melihatnya menangis, sekarang sangat histeris. Ia dirangkul Bik Sodah, sambil mengelus rambut dan pundaknya. "Sabar nduk, sabar."

Tak lama kemudian, Pak RT mendekatiku, "Nak, Bisa ikut ke puskesmas? Menjemput Pak Ponidi." Aku menganggukkan kepala, masuk ke mobil Hijet milik tetangga. Di sepanjang jalan menuju puskesmas kami terdiam. Hanya suara mesin dan knalpot kendaraan yang lalu lalang mengisi kesepian.

"Nak, sampean punya adik?" tiba-tiba Pak RT mengawali perbincangan.

"Tidak punya pak, saya anak terakhir dari dua bersaudara. Kenapa nggih pak?"

"Jika nanti Nana ikut sampean bagaimana? kata beberapa warga, sampean cukup dekat dengan Pak Ponidi,"

Aku masih tak mengerti maksudnya, memang, kami sering bertegur sapa, mengirimkan makanan, dan sesekali jagongan di kursi reotnya, tapi bukan berati kami dekat.

"Maksud Pak RT bagaimana nggih?"

"Pak Ponidi tak terselamatkan Nak, ia gagar otak, kakinya patah, bahkan becaknya ringsek, hanya sehelai baju baru dan beberapa botol plastik berserakan dekat kejadian kecelakaan itu yang utuh."

"Innalillahi wa inna ilaihi rajiun,"

Aku belum mengiyakan, kemudian terbesit wajah Nana dalam benakku, aku membayangkan bagaiaman kesedihannya. Sanak saudara dan kerabat Pak Ponidi sudah tidak ada, ayah ibunya Nana juga tidak jelas kemana perginya. Jika nanti Nana ikut ke rumahku, apakah ia akan kerasan? Bagaimana jika ia terus-terusan menangis, mengapa tidak dirawat di sini saja? Pertanyaan-pertanyaan itu seperti hujan lebat yang hampir membuat banjir bandang dalam dada.
___________________

Setelah siap penghormatan terakhir kepada Pak Ponidi, lalu memakamkannya di pemakaman umum, aku Kembali di panggil Pak RT dan beberapa warga yang sedang berkumpul di atas tikar, di depan rumah Pak Ponidi.

"Bagaimana tentang permintaan saya nak? Perkara tujuh harian pak Ponidi, akan ditanggung oleh pihak Takmir masjid, Tetapi Nana, semisal ikut Nak Rudi sementara bagaimana?"

"Secara pribadi saya tidak masalah pak, tetapi saya harus musyawarah dengan bapak dan ibu di desa."

"Alhamdulillah kalau begitu, kami sangat berterima kasih Nak."

Hari itu juga aku pulang dan mengatakan kepada bapak dan ibu, aku bersyukur ketika mereka mau menerima Nana. Kemudian aku kembali ke tempat kosku, menemui Pak RT dan mengatakan hasil perbincanganku dengan keluarga. 

Pak RT sangat berterima kasih, ia sangat senang. Ia menepuk pundakku dan menyerahkan amplop tebal kepadaku. "Nak, ini sedikit urunan dari warga untuk  keperluan Nana sementara, untuk rumah Pak Ponidi nanti akan diurus oleh takmir masjid, dan akan diberikan kepada Nana kalau ia sudah dewasa kelak."

Aku hanya terdiam, dan setelah menemui Pak RT aku pergi menemui Nana, ia sedang ditemani beberapa Ibu-ibu, ia masih sesegukan. Aku menghampirinya, aku memanggilnya. "Nana, yang sabar ya nduk!" ia lalu berdiri dan memelukku, Gadis kecil ini tampak lemas, lunglai, ia sandarkan semua badannya di tubuhku, aku merasa kesedihannya. Perutku mulai basah dengan air matanya. "Sudah, jangan nangis lagi, sekarang Nana, ikut Mas Rudi, ketemu sama Bapak Ibu di rumah." Namun ia semakin manangis, semakin menjadi tangisannnya, aku berusaha menenangkannya.

Sejurus kemudian, bapak dan ibuku datang, kemudian mendekati Nana, berkenalan, dan memangkunya. Air mata Nana habis, namun sesegukannya masih terdengar. Sebelum kami pulang Pak RT menyerahkan bungkusan plastik. Baju baru rupanya, setelah aku buka, ternyata  seukuran Nana. Tak terasa air mataku menetes, hatiku seperti diterpa angin yang begitu kencang, kakiku terasa lemas. Aku teringat Pak Ponidi yang kala itu sedang terdiam melihat Nana menangis meminta baju untuk lebaran.

Aku raih Nana, aku peluk, dan aku berbisik padanya, "Nduk, Kakekmu orang yang sangat baik, sehingga Tuhan tak sabar ingin menemuinya. Kita doakan kakekmu bahagia di sana nggih Nduk. Jadi Nana jangan sedih lagi, ada Mas Rudi, Bapak dan Ibu yang menemani Nana."

Nana mengangguk, air matanya yang penuh tumpah di pundakku, ia rekatkan pelukannya. Aku merasa menjadi ayah dalam umur yang semuda ini. Aku melihat Bapak dan ibuku, aku tersenyum, pun mereka. "Sembah nuwun nggih pak, buk..." Aku menangis menatap kedua orang tuaku.
_________________
Rumah Jogo Kali, 1442

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun