Sepintas tempat tinggal menjadi tolak ukur kepemilikan seseorang. Dapat kita jumpai di sekitar kita tidak sedikit yang lalu memandang sebelah mata atau sebaliknya kepada seseorang hanya dengan melihat tempat tinggalnya.Â
Tidak jarang yang lalu melengos, bahkan enggan masuk karena kondisi tempat tinggal yang kecil. Menariknya, untuk bertamu ke rumah yang oglang-oglang, luas bak lapangan, krasan dan enggan pulang. Alibi yang digunakan biasanya "gak nymana di rumah orang, enak di rumah sendiri" padahal konotasi ini berbanding terbalik dengan pujian kepada pemilik rumah yang besar tadi.Â
Permasalahan mendasarnya adalah manusia yang enggan memandang manusianya. Pilihan utamanya adalah memanusiakan. Tempat tinggal yang bagaimanapun, utama yang perlu dilihat adalah manusianya.
Sukar memang, tetapi ada ruang untuk mengenali diri sendiri, ada ruang yang luas untuk melihat dan memahami orang lain, sebagai manusia.Â
Ruang yang diberdayakan, dipahamkembangkang, adalah ruang kedap suara; meminjam istilah Sapardi Djoko Damono. Hati menjadi tolak ukur atas kita sendiri terhadap orang lain. Hati seperti tempat tinggal bagi kita.Â
Cara pandang menunjukkan karakter, karakter menunjukkan hatinya. Hal ini kita dan Tuhan yang tahu. Paling tidak untuk memandang sesuatu, hati menjadi filter terbaik atas cara pandang kita tentang sesuatu.
Lingkungan, menjadi pengaruh penunjang. Tabi'at atau karakternya menjadi pengaruh utama. Cara pandang menjadi hasil sekaligus proses dari peraduan antara karakter dan lingkungan.Â
Untuk memandang manusia, maka wilayahnya adalah manusia juga. Sedangkan untuk menilai manusia, wilayahnya adalah wilayah Sang Maha Kuasa.Â
Dari sana dapat kita simpulkan bahwa, manusia lebih baik memahami dan mengenali manusianya saja, tanpa mengambil peran Tuhan untuk menilai manusia yang lain. Apalagi menilai hal yang di luar manusianya: tempat tinggal, kepemilikan, prinsip, golongannya dan lain sebagainya.