Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Santri

Alumni Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif (SKK ASM) ke-4 di Solo

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bantaran Kali, Komunitas, dan Personalitas

23 September 2020   07:11 Diperbarui: 23 September 2020   07:14 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi ini pelajaran terpentingnya adalah kita tidak bisa mengontrol apapun yang ada di luar (kehendak) kita. Bagaimanapun sifat spiritualitasnya. Yang jelas, interaksi sosial menjadi hal pokok dalam kehidupan.

Interaksi yang syarat akan saling memahami dan menghormati juga sangat penting. Di daerah saya bantaran kali menjadi sangat penting bagi pola-pola pemenuhan kebutuhan. Baik rutinitas personal seperti mandi, cuci baju, cuci piring dst. Tak terkecuali untuk memasak, kita pakai PDAM.

Bantaran sungai yang agaknya beton dan pembatasnya dibangun sekitar 1973 itu kadang juga menjadi area bermain anak-anak. Apalagi dalam situasi pandemi, di mana mereka jarang bahkan tidak sama sekali masuk sekolah.

Kita tidak bisa mengontrol apa yang di luar (kehendak) kita salah satunya adalah; ketika ada salah seorang yang kemudian BAB di sana. Sedangkan kita juga sedang mencuci baju dan lain sebagainya. Hal itu dianggap wajar. Bahkan ada juga yang kadang telanjang dada mandi di area bantaran kali tanpa ditutupi aling-aling.

Jangan jauh-jauh masalah spiritual. Masalah itu saja kita tidak bisa mengontrol. Apalagi masalah politik hari ini. Tapi itu bukan pembahasan kita sekarang. Yang jelas apapun itu sifatnya. Manusia adalah makhluk interaktif. Makhluk logic-spiritualisme yang menjunjung tinggi olah rasa, olah karsa.

Berita buruknya, kadang ada segelintir manusia yang bahasa kasarnya sok-sokan. Ada juga yang merasa paling benar di antara komunitas masyarakatnya.

Tentu hal ini menjadi penghalang bagi proses interaksi. Tetapi berita baiknya adalah; dari situ kita bisa mengambil ruang balance, ruang keseimbangan. Kesadaran yang terbentuk adalah; sesuai dengan apa yang ada di Wedatama bahwa hidup adalah hitam dan putih, hidup berisi konsekuensi dan kompensasi. Kausalitas menjadi titik tumpunya. Walaupun ada titik tolak yang kuat yaitu perkembangan.

Ada komunitas masyarakat yang berharap bahwa perlu adanya konservasi tradisi. Tapi ada juga yang memaksakan pengembangan dan lain sebagainya. Tentu hal ini penuh dengan pro dan kontra. Seperti apa yang saya singgung di atas. Ketika kita mencuci di kali ternyata di samping kita atau agak jauh ada yang sedang BAB. Lantas apa kita mau menegur, atau membiarkan saja?

Jawabannya, akan sangat beragam. Selamat berdialektika, dan selamat berbahagia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun