Jika dikembalikan kepada ayat di atas, tentu akan bermakna banyak. Di satu sisi apa yang dirasakan kebanyakan orang adalah ujian dari Tuhan. Tetapi di sisi lain bermakna ketika ada usaha penyelesaian yang bijak tentu akan menjadi hikmah dan kebahagiaan tersendiri.
Tetapi, akan berbalik dari keduanya ketika kondisi yang dibangun adalah berlarut-larut dalam belenggu kesedihan dan kegundahan. Ketika meyakini bahwa Tuhan memberi ujian pasti dibarengi dengan bekal dan solusinya, maka setiap apa yang dilakukan lalu disandarkan kepada Tuhan akan bernilai lain. Tetapi ketika merasa paling berpengaruh atau berwenang atas penyelesaian suatu permasalahan, maka akan menjadi ujian baru dan justru akan memunculkan kemelut baru.
Dari sini kita perlu menyadari bahwa hari ini adalah puasa yang sesungguhnya. Menahan diri yang sebenarnya. Jika tahun lalu bulan puasa menjadi bulan persiapan untuk menyambut lebaran dengan segala pernak-perniknya, hari ini puasa benar-benar diilhami sebagai ibadah yang mendalam. Dari giat berdoa, berserah diri kepada Tuhan, bahkan tidak henti-hentinya bermunajat siang dan malam. Tidak hanya puasa makan dan minum, puasanya juga menahan diri untuk belanja ini itu, karena benar-benar meluangkan uang hanya untuk kebutuhan pokok saja.
Jika dikembalikan kepada prinsip ekonomi, maka hari ini benar-benar mengatur sedemikian rupa perekonomiannya masing-masing. Pada akhirnya akan kembali kepada pemenuhan kebutuhan pokok, yang benar-benar dibutuhkan.
Kesadaran lain yang terbentuk adalah kembalinya manusia terhadap kesadaran dalam mengolah alam dengan baik. Jika di desa penggunaan lahan produktif hampir hilang karena proyek-proyek kavlingan yang menggiyurkan, hari ini justru menjadi pelajaran bahwa kedaulatan pangan bisa terbangun yakni dengan bekerja sama dengan alam, salah satunya adalah mengolah tanah produktif dengan baik.
Oleh sebab itu, akan banyak kacamata dalam melihat pandemi ini. Dalam konteks agama, kondisi hari ini adalah ujian di satu sisi, pun hikmah di sisi yang lain. Tergantung bagaimana setiap individu meyakinkan diri kepada Tuhan. Dalam konteks sosial, kondisi hari ini adalah bagian dari upaya untuk meningkatkan kualitas sosialnya.
Jika manusia adalah makhluk sosial maka akan berlanjut pola peningkatan kualitas sosialnya. Dari membangun kesadaran dan kepekaan, sampai membangun ketahanan dan kedaulatan, baik dalam bidang pangan maupun keamanan.
Pada akhirnya, begitulah kondisi masyarakat kita, beragam, baik budaya dan pemikirannya. Pandemi akan bermakna lain, ramadhan tetap menjadi ritus bagi umat muslim. Takjil tetap menjadi kebiasaan, apalagi pasarnya. Jika tidak percaya maka turunlah ke bawah, lihatlah, pasar tetap ramai, karena kebutuhan terus berjalan. Jika demikian, kebanyakan orang tidak takut mati karena pandemi, melainkan takut mati karena kelaparan.
Tugas kita adalah saling membangun kesadaran, bukan merobohkan kebiasaan apalagi menyangkut kebutuhan perut. Saling menjaga bukan berarti tanpa bertegur sapa, tidak berkumpul dan bercengkarama. Tetapi lebih dari itu, tugas kita adalah menjalan puasa yang sesungguhnya.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H